Bab 8:

2 0 0
                                    

Mega merah membentang sepanjang mata memandang. Angin sore bertiup sepoi-sepoi, sesekali membawa debu yang menghantamku. Aku mengucir sedikit rambukku, karena tidak mungkin menyatukan semuanya bersamaan, rambutki kurang panjang untuk melakukannya. Sedari tadi kami, aku dan Ryan duduk di ayunan depan TK. Dia benar-benar membuatku bernostalgia dengan membawaku ke sini.

"Selamat kau bisa masuk ke SMA 1," ujarku, itu SMA yang Ryan impikan sejak SMP. Selain anak orang kaya, pejabat, dan pintar, tidak mungkin bisa masuk ke sana. Di saat yang lain berangkat menggunakan motor atau angkot, rata-rata di sana menggunakan mobil atau di antar jemput. "Bagaimana rasanya masuk sekolah elit?" ada sentuhan humor dalam nafa bicaraku. Aku berharap dia menyengir atau tertawaan, walau kenyataannya selera humor Ryan berbeda dengan orang normal. Ingat cerita tentang teman SMP-ku yang psyco, itulah dia. Dia melirik dengan ekpresi bersalah, padahal aku tidak melakukan apapun selain mengajaknya bercanda.

Mega merah membentang sepanjang mata memandang. Angin sore bertiup sepoi-sepoi, sesekali membawa debu yang menghantamku. Aku mengucir sedikit rambukku, karena tidak mungkin menyatukan semuanya bersamaan, rambutki kurang panjang untuk melakukannya. Sedari tadi kami, aku dan Ryan duduk di ayunan depan TK. Dia benar-benar membuatku bernostalgia dengan membawaku ke sini. Kami duduk di dua ayunan yang saling bersebelahan dan menatap jalanan kosong di depan.

"Selamat kau bisa masuk ke SMA 1," ujarku, itu SMA yang Ryan impikan sejak SMP. Selain anak orang kaya, pejabat, dan pintar, tidak mungkin bisa masuk ke sana. Di saat yang lain berangkat menggunakan motor atau angkot, rata-rata di sana menggunakan mobil atau di antar jemput. "Bagaimana rasanya masuk sekolah elit?" ada sentuhan humor dalam nafa bicaraku. Aku berharap dia menyengir atau tertawaan, walau kenyataannya selera humor Ryan berbeda dengan orang normal. Ingat cerita tentang teman SMP-ku yang psyco, itulah dia. Dia melirik dengan ekpresi bersalah, padahal aku tidak melakukan apapun selain mengajaknya bercanda. "Apa aku membuat salah? jika kau hanya diam aku akan pergi," lanjutku.

Aku baru saja setengah berdiri, tapi Ryan langsung menarikkku kembali. Aku menenepis tanganya, membalik badan dan menatap Ryan dengan datar. Kali ini aku akan menunggunya berbicara. Dia yang membawaku ke sini, tapi aku seperti berbicara pada tembok. Dia hanya diam, kepalanya tertunduk dengan mata memelas.

"Iya kau membuat salah," gumamnya dengan suara kecil. Lagi-lagi dia memalingkan wajah dariku. "Saat itu kau pergi tanpa pamit. Lalu kau juga tidak bisa dihubungi."

Dia mengatakan ini seperti kami dulu punya hubungan khusus yang dekat. Memang pernah, kami bisa dibilang sahabat, tapi saat BA memindahkanku, hubungan kami sudah berakhir. Memang saat itu Ryan berusaha mendekatiku, namun aku terus menghindarinya. Lalu seiring waktu secara natural kami tidak lagi bersama. Jangan Ryan, tidak akan ada yang bisa menghubungiku. Aku membuang HP ku beberapa saat setelah surat pindahku turun.

"Menurutku itu bhukan hal yang perlu dibahas."

"Kukira kau juga akan masuk ke SMA 1."

Ohh soal itu, dari awal aku sudah ditetapkan akan masuk ke BA. Tapi orang biasa tidak akan pernah masuk ke sana. Lalu dengan lugu dan polosnya aku berbohong, bahwa aku akan ikut dengan Ryan masuk ke SMA 1. Bahkan andai aku anak normal, otakku tidak akan bisa membawaku ke sana. Berbeda dengan Ryan, dia sangat pintar, sebenarnya aku bersamnya juga agar mendapat contekan saat ujian.

"Aku masuk ke Bhagawanta Academy," jawabku singkat.

Dia menatpku bingung, nama itu pasti asing ditelinganya. "Pasti itu bukan  di kota ini."

"Benar, itu hanya SMA biasa berbasis private School. Kau bisa mencarinya di internet." Walaupun isinya penuh tipu muslihat dari revisi Intel. "Keren bukan, hehehe."

Dia menghela nafas panjang, dan tersenyum padaku, bukan senyum tulus tentunya. "Pasti menyenangkan bisa satu sekolah lagi denganmu." Tentu, kau pasti suka melihatku kesakitan. Entah intel sudah menghapus ingatannya saat itu atau tidak. "Apakah kau akan lama di sini?" akhirnya dia mulai banyak bicara.

"Kurasa aku akan segera kem,-"

Bunyi nyaring memotong ucapanku. Aku buru-buru merogoh tas, dan menggapai benda pipih di dalamnya. Kelap kelip lampu kecil menyala di ujungnya. Ada dua kemungkinan, pertama pesan dari Nabil, walau hanya kemungkinan kecil. Yang terbesar adalah pesan dari BA, dan yang benar adalah kemungkinan terakhir.

BhagawantaAcademy@email.com
[Terdapat laporan tentang aktivitas the Others di Distrik 13. 'Lampiran detail misi']

Aku hampir lupa cara mengendalikan emosi, hampir saja aku membuang HP yang belum sehari ku beli karena kesal. Distrik 13 adalah nama lain dari kota ini. Masalahnya, ini masih hari minggu, dan kenapa harsu di tempat yang kebetulan ku datangi. Segabut itukah Intel sampai harus mengawasi murod BA, bahkan di hari libur.

"Nixie ada misi," bisikku pelan. Kupu-kupu yang hinggap dari tadi di pundakku mengepakkan sayap dan pergi mencari majikannya. "Sepertinya aku akan datang ke sini untuk beberapa hari," ujarku.

Dia meluruskan bibirnya. "Jadi kita bisa bertemu lagi besok."

"Jangan terlalu berharap. Kota ini cukup besar untuk kita berdua." Bau manis tercium, aku membalikan badan. Nixie sudah berdiri di sana dengan ekpresi tak senang. Rambut pink panjangnya berkibar di terba angin, dan lebih mencolok karena sorotan lampu jalan. "Temanku sudah datang, aku harus pergi," lanjutku.

Tanpa memperdulikan Ryan, aku langsung berlari mendekati Nixie. Dia langsung melangkah dan tidak menungguku sampai. Aku sempat melirik ke belakang, Ryan berdiri di sana sambil melihat kepergianku. Rasa tidak aman berkecamuk di hatiku setiap melihat sorot mata hanzel miliknya. Aku mempercepat langkahku, karena Nixie benar-benar tidak berbelas kasih untuk mau menungguku, atau minimal menyamakan lamgkah kakinya denganku. Semakin aku berjalan ke depan, jumlah kupu-kupu Nixie semkain bertambah.

Aku mengikuti langkah Nixie, setiap kupu-kupu miliknya adalah mata dan telinga kedua Nixie, dia pasti sudah tahu isi misi yang akan kami jalankan. Dia berbelok ke gang sempit yang terhimpit gedung pertokoan, berjalan sedikit ke dalam, sebelum melompat hingga sampai ke atas gedung. Mudah untuknya untuk naik keatas dengan bantuan peliharannya, sedangkan aku harus mengeluarkan tenaga agar bisa mengejarnya.

Begitu sampai di atas gedung, Nixie tidak membuang-buang waktu. Dia langsung mengeluarkan ratusan kupu-kupu yang muncul dari dalam jaketnya. Mereka yang bisa melihat pasti akan langsung takjub melihat kupu-kupu menutupi langit. Apalagi setiap kupu-kupu memiliki corak yang berbeda, wallau tidakm jauh dari warna ungu, merah muda, merah, kuning, dan hitam. Mereka juga punya ukuran beragam, paling besar yang pernah kulihat seukuran telapak tangan orang dewasa.

"Aku penasaran, dari mana kau mendapat kupu-kupu ini?" ujarku, dengan mata memperhatiakn kupu-kupu yang menyebar kesuluh kota.

Akhirnya dia memperhatikanku. "Mereka datang karena butuh,"jawabnya.

"Dilihat dari bentuknya, peliharamu bukan kupu-kupu biasa yang terbang di taman."

"Mereka bahkan bukan dari dimensi ini."

Aku terkejut mendengarnya. "Ayolah, katakan sebenarnya mereka datang dari mana.  Jangan berbelit-belit."

Dia mendengus keras, dan menekuk dahinya. "Land of Magical Hell, kau puas?"

Seingatku itu nama dimensi, BA terdapat di dimensi Purwa, perbatasan neraka dan dunia manusia. Sedangkan Land of Magical Hell, tempat untuk sejenis mahkluk seperti peri. "Merek peri?"

Dia memberi dengusan yang sama sambil mengangguk. "Anggap saja seperti itu, walau setengah dari mereka terbuat dari the others."

"Aku masih tidak mengerti."

"Kau tidak perlu paham, aku pun masih tidak mengerti mereka." Tatapan Nixie mendadak sedih. "Sudah kukatakan, mereka datang karena butuh, dalam tanda kutip makanan. Mereka sangat rakus, dan memakan setengah dari jenisnya sendiri. Saat ini mereka semua akan melakukan apapaun yang kusuruh." Suaranya makin berat di akhir kalimat, Nixie terdiam, membuat suasana mendadak sunyi. "Tapi saat tidak mendapatkan makanan, mereka akan memakan majikannya sampai tidak ada tulang yang tersisa. Dan jika majikan mereka lebih lemah, mereka akan langsung menyantapnya dan mencari inang baru." Nixie menyengir dengan tatapan suram. "Aku hanya menunda-nunda kematian, lucu."

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) EndWhere stories live. Discover now