Bab 17:

2 0 0
                                    

Wing mansion Area, wilayah bangunan BA salah satunya terdapat Greenhouse, aku sedang di sana mengotak atik baut, mur dan lainnya. Nixie duduk di sampingku, membaca buku untuk persiapan ujian akhir semester yang sebentar lagi berlangsung, walau kuyakin dia tidak terlalu serius menghafal semua yang ada di buku itu. Dibandingkan belajar, aku saat ini sedang mereview ulang materi Ekskul weapon Research sabtu kemarin. Aku harus bisa menciptakan senjata terkuat untuk misi ke besar yang sudah kusiapkan.

"Kau akan membuka portal lagi?" tanya Nixie, sudah kubilang dia tidak serius belajar.

"Tentu, kau tidak mengunjungi Nabil lagi?"

"Nanti, menyenangkan bisa mengejeknya yang hampir mati karena Komodo," dia tersengir.

Sejak misi terakhir dan kami kena boikot juga kondisi Nixie yang semakin parah, aku tidak lagi melihat kupu-kupu nya lebih dari 5 ekor. Nixie juga tidak lagi menggunakan jaket, sehingga aku bisa melihat jelaa bekas goresan luka yang mulai mumudar. Dibandingkan sebelumnya, dia nampak lebih baik, dan kedekatannya dengan Nagil sekarang juga sangat berpengaruh. Setidaknya tidak seperti aku.

"Sampai kapan kau akan memanfaatkan anak itu?" tanyannya.

"Siapa?"

Dia menghela nafas. "Pacarmu, kau bolak balik membuka portal sekarang untuk bertemu dengannya kan?"

Aku menyengir, dan memalingkan pandangan. "Kau tahu aku mendekatinya untuk mencari Pangeran neraka, kan?"

"Pangeran neraka? Maksudmu Astaroth, salah satu 4 penjaga neraka? Akhirnya kau memberi nama pengganti yang bagus, tidak seburuk komodo."

"Ayolah, itu kan sebutan lainnya di buku."

Saat pertemuan terakhirku dengan Zero, ah tidak, Rashya, dia mengirim seekor kupu-kupu untuk memata-mataiku. Nixie tahu apa yang kami bahas sore itu, dan tentang keberadaan Astaroth yang berada di sekitar Ryan. Aku tidak bisa berfikir bersih saat itu bahkan saat ini, aku langsung memutuskan untuk memanfaatkan Ryan, dan mendekatinya.

"Lagipula kami tidak pacaran," tepisku. "Kau mungkin dengan Nabil?" aku tertawa keras.

"Jangan berfikir omong kosong, itu tidak mungkin." Nixie murung, walau kondisinya semakin membaik, dia masih berfikir sebentar lagi waktunya hidup akan habis. Menjadi santapan terakhir peliharaannya adalah takdir yang tidak bisa diubah untuknya. "Kau harus memikirkan obsesi baru saat aku tidak ada, jangan mengejar pangeran neraka terus." Dia menatapku dengan tersenyum.

"Jangan khawatir, aku sudah memutuskan masa depan yang pas untuk orang sepertiku."

"Ehhh ... apa itu?"

"Rahasia," aku membersihkan semua mainan kecilku, dan memasukannya ke dalam kotak organizer. "Aku harus pergi sekarang. Titip salam untuk Nabil." aku menjulurkan kalung berbadul pedang yang belum kukembalikan, Nabil masih menggunakan satu tongkat untuk berjalan sehingga dia tidak bisa mengambil misi.

"Baiklah, dia bilang bawa saja asal tidak hancur."

"Ahahahah, akan kuusahkan."

###

Ryan membersihkan lensa kamera, lalu memfokuskannya ke arah seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA tertutup jaket hitam di depannya. Aku baru sampai, tapi dia langsung memfotoku. Dan ketika aku merengut, dia malah tertawa.

"Punya obsesi baru sekarang?"

"Memfotomu lebih baik bukan dari pada hewan mati." Andai dia tau, aku hampir sama seperti mayat hidup yang tidak bisa mati. Aku tersenyum menanggapi ucapan Ryan.

"Katanya ada hal menarik yang ingin kau tunjukkan, mana?"

"Kemarilah!" dia merogoh isi tasnya.

Pesisir pantai tenang di sore hari, kami duduk di teras cafe menikmati ombak dan angin kencang dari laut. Tidak banyak orang di sini, kebanyakan masih terjebak macet di jalan atau duduk di kursi sambil menghadap tumpukan kertas. Ada beberapa anak kecil yang belum mengenal beban hidup berlari di atas pasir putih beramai-ramai. Dan seorang nenek yang mengajak anjingnya jalan-jalan di temeni cucu perempuannya.

Ryan memberliku selembar foto ukuran 2r dengan senyum tipis. Ada aku di sana, mengejar Nixie yang berjalan mendahuluiku, jepretan yang pas ketika kepala Nixie melinguk ke belakang. Dia memfoto kami hari itu, walau aku bersikap dingin padanya, kurasa obsesinya berubah jauh sebelum ku sadari.

"Foto yang bagus," decakku. Akan ku simpan, karena aku tidak banyak memiliki foto dengan Nixie. Beberpa saat lalu kami sempat foto bersama, dengan Nabil juga, tapi itu untuk bahan laporan setelah melawan Komodo.

Aku tersentak ketika Ryan tiba-tiba menepuk kepalaku, dia dulu juga sering melakukan ini. Namun sekarang, bukan jantungku yang berdebar, tapi aku merinding. Orang di depanku sekarang, dia berada sangat dekat dengan pangeran neraka. Jika aku menusukkanya dengan pisau, apa Astaroth akan langsung muncul sekarang? Aku muak bertingkah manis dan tersenyum di depan Ryan seperti ini.

"Aku juga punya banyak fotomu, di waktu SMP juga ada."

"Bukankah itu terlalu fanatik, untuk apa kau menyimpan fotoku?" itu membuaku merinding.

"Guru ku bilang simpanlah foto yang memiliki banyak kenangan."

"Guru mu di SMA 1?"

"Iya, dia guru pembimbingku. Berkat dia aku bisa memenangkan lomba fotografi nasional."

"Waah, dia pasti orang yang hebat."

"Tentu, ah iya." Ryan kembali merogoh isi taanya, kali ini 2 tiket ke taman hiburan kota yang baru buka tahun ini. "Guruku juga memberiku ini ketika aku menceritakan tentangmu. Dia ingin kita pergi bermain ke sana."

Aku tersenyum lebar. "Waah nampaknya menyengakan. Dia seperti mengundangku secara khusus."

"Aku tidak paham maksudmu, mungkin dia suka kita dekat." Wajah Ryan memerah, dia nampak salah tingkah.

Tidak Ryan, sebaliknya, dia ingin menjauhkanmu dariku. Dia sudah jelas mengundangku, ke pengadilan abadi yang akan aku dan dia jalani. Aku tahu, guru mu adalah sang pangeran neraka, Astaroth, orang yang telah membunuh keluargaku. Dan dia sejak awal memang berniat memanfaatkanmu untuk menangkapku, begitupun aku yang memanfaatkanmu untuk bertemu dia.

Hari itu, saat aku masih kelas 2 SMP, tidak sengaja sebuah mobil menabrakku di gang sepi. Pengemudi mobil itu langsung kabur ketika melihat tubuh anak SMP yang berlumuran darah. Satu-satunya saksi yang ada di sana adalah Ryan, tapi Ryan hanya diam saja dan mengarahkan kameraku lalu pergi. Monster tetaplah monster, dan monster itu adalah aku. Dia mungkin tidak ingat, karena intel biasanya akan langsung memghapus ingatan mengerikan itu.

Ketika aku bangun dengan tulang remuk, di ujung jalan, sebuah mobil terbakar setelah menabrak tiang listrik. Mobil itu yang telah menabrakku beberapa saat lalu. Dan pelakunya masih ada di sana, berdiri di balik kobaran api, menyengir lebar dengan menampakan jejeran gigi runcing dengan tubuh pria pengemudi. Saat itu aku sadar, Astaroth baru saja mengirim hadiah kecil untukku, dan sekarang dia baru saja mengundangku.

"Aku tidak sabar ke sana," gumamku. Aku akan membalaskan dendam keluargaku walau harus melakukan pertarungan abadi dengannya.

"Aku juga, pasti menyengakan."

"Tentu, pasti." Aku Menyengir.

Saat ini beberapa the Others datang ketika memcium bau energi negatif dari amarah dan kebencanaan yang aku keluarkan. Pasti energi ini juga yang diinginkan Astaroth, penjaga neraka memiliki nafsu makan lebih besar dari yang lain. Jiwaku tidak bisa di ambil, tapi mendapat energi kebencian dan amarah yang besar dalam jangka lama milikku, pasti akan sangat memuaskannya.

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) EndWhere stories live. Discover now