BAB 6: Succession was One of The Excuses

15.2K 1.7K 33
                                    

sorry if y'all found any typos!

happy reading!

***

BAB 6: Succession was One of The Excuses.

.
.
.
.

Harris Prayoga tidak akan pernah menelponnya secara langsung jika tidak ada hal genting yang perlu dibicarakan. Dan hari ini, ayahnya itu menelpon ditengah-tengah kesibukannya mencermati laporan perusahaan dan memintanya untuk segera datang ke Surabaya. Ia tidak diberi tahu apa alasan kongkritnya. Namun, sebagai anak berbakti yang mudah khawatir terhadap keadaan kedua orang tuanya, Raskal memutuskan untuk terbang ke Surabaya hari itu juga.

Sesampainya di wastu mewah milik kedua orang tuanya, pria itu langsung disambut oleh para asisten rumah tangga, pintu mobilnya dibukakan oleh mereka dan dengan sopan mereka mengantarnya masuk ke dalam.

Senyumnya merekah begitu mendapati seorang perempuan paruh baya berdiri di depan pintu. Ringkih dan pucat hingga. Perempuan itu tersenyum lebar, merentangkan tangan dan menyambut putranya dengan pelukan hangat.

"Mama," ucap Raskal disela-sela pelukannya.

"Kamu kok kurusan sih, Nak?" tanya Hera, mengelus punggung putranya dan merasakan bahwa tubuh anaknya terasa berbeda dari beberapa bulan yang lalu.

Raskal melepas pelukannya sambil tersenyum simpul.

"Biasa Ma, diet," jawab Raskal asal, karena ia memang tidak merasakan penurunan berat badan. Justru sekarang sang mama yang terlihat sangat kurus.

"Diet omong-kosong, kamu itu stress 'kan gara-gara sibuk mengurus perusahaan?" tuding Hera.

Raskal tertawa singkat, ia tidak bisa berkelit, karena tudingan Hera tidak salah dan juga tidak benar. Mereka berdua kemudian melangkah masuk lebih dalam, menuju ruang tengah.

Siapa sangka, Raskal kira ayahnya sedang sibuk di ruang kerja, namun ternyata pria itu sedang sibuk dengan hobinya. Harris Prayoga menyapa sang putra dengan mengangkat senjata api laras panjangnya sambil tersenyum lebar. Lalu tanpa basa-basi, pria itu menghampiri Raskal.

"Kita tidak punya waktu, Nak. Mari bicara," kata Harris, hendak menarik Raskal ke ruang tengah, namun berhasil dicegah oleh Hera.

"Tunggu, Mas," ucap Hera, mencekal lengan Harris. "Anakmu ini belum makan, biarkanlah ia bernapas sebentar dan makan malam terlebih dahulu," katanya.

Raskal tersenyum, "Tidak usah Ma, Raskal sudah makan malam," tolaknya halus.

"Benarkah?" tanya Hera, tak percaya.

Raskal mengangguk dan Harris kembali menariknya ke ruang tengah setelah bercanda singkat dengan Hera. Pria itu mendudukkan Raskal di hadapannya, sementara ia mencondongkan tubuh dan menatap putranya lamat-lamat.

"Kamu tahu apa tujuan Papa menyuruhmu pulang?" tanya Harris.

"Entah, Papa bilang ada yang ingin dibicarakan," jawab Raskal, mengangkat bahu.

"Kalau tentang kepulanganmu dari Amerika. Kamu tahu apa tujuan Papa?"

Raskal menghela napas, "Apalagi kalau bukan untuk kepentingan suksesi?" tanya Raskal.

Harris menggerakkan jari telunjuknya ke arah Raskal begitu menganggap jawaban anaknya tepat. "Papa sengaja memberikanmu kursi di jajaran direksi karena Papa ingin semua orang melihat kinerjamu. Tapi, kenapa kamu malah membuat kehebohan di anak perusahaan yang cenderung masih kecil itu?" tanya Harris.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang