BAB 16: The Truth

18.5K 1.8K 59
                                    

Read well. Enjoy the story.

***
BAB 16: The Truth

.
.
.
.
.

"Hirup saja, saya tahu kamu suka."

Raya mengerjapkan mata, mencoba fokus pada titik merah yang berada di tengah papan target dan tidak mengindahkan bisikan itu. Si pembisik tentu tahu cara membuat Raya dongkol. Karena sekarang ia sedang memegang senjata api, ia tidak ingin bereaksi, takut sekali ia membuat si pembisik—Raskal—itu mati. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam.

Raskal menjauh darinya, kemudian memberi instruksi pada gadis itu untuk menarik pelatuk senjatanya.

Tak ada reaksi apapun dari pistolnya selain bunyi "tuk". Seperti yang Raskal bilang tadi, pelurunya kosong.

"Oke," kata Raskal, setelah melihat gestur tubuh dan kekuatan tangan Raya sudah bagus. Pria itu pun mengambil senjata tersebut dari tangan Raya, dan mengisinya dengan peluru.

"Isinya cuma satu," Raskal memberi tahu, mengangkat pistol itu. "Tembak saja, jangan ragu-ragu," lanjutnya, kemudian meletakkan pistol itu di atas tangan Raya.

Raya pun mengangguk, lantas dengan serius ia kembali menghadap papan target. Sebelum melepas peluru, gadis itu memejamkan matanya, jiwanya kini memasuki suasana tegang yang ia ciptakan sendiri, membayangkan dirinya masuk ke dalam dunia fiksi. Dunia di sekitarnya terasa senyap meski berisiknya bukan main. Terasa menjadi seorang karakter utama di film-film aksi.

Pejamannya sontak terbuka ketika Raskal sedikit mendorong pingganggnya untuk membenarkan posisi tubuhnya. Matanya memincing, dan DOR! Satu ledakan itu terdengar begitu dramatis di telinganya. Buru-buru gadis itu melepas kaca mata pelindungnya, lantas menyipit demi melihat hasil tembakan. Sempurna! Pada percobaan pertama, peluru melesat sempurna di titik merah target. Tentu saja pencapaian ini membuat Raya kegirangan.

Gadis itu melompat senang, berteriak kegirangan, lantas tersenyum sangat lebar.

Rasanya seperti mendapatkan penghargaan editor terbaik di kantornya, ia bangga sekali dengan pencapaian ini.

"High five!" teriak Raya saat menoleh ke arah Raskal, pria itu sedikit bingung, namun tak lama kemudian ia memberikan tangannya untuk Raya, mereka pun melakukan high five.

Namun tak sampai lima detik, rasa gengsi mengembalikan personalitas Raya yang sesungguhnya. Gadis itu terbungkam, merasa bodoh karena sudah mengajak Raskal melakukan tos.

Raya membersihkan tenggorokannya sebelum mengatakan sesuatu.

"Gimana?" tanya Raya pada Raskal.

Raskal mengangguk dan mengacungkan jempol dengan ekspresi wajahnya yang datar, mengakui kerja bagus Raya dalam menembak.

"Nih." Raya mengembalikan pistolnya ke Raskal. "Giliran kamu," katanya.

"Saya sudah, kalau kamu mau lagi, kita bisa belajar isi pe—"

"Nggak. Saya maunya lihat kamu," potong Raya.

Raskal menimbang-nimbang sebentar seolah menuruti permintaan Raya adalah sesuatu yang sulit. Kemudian pria itu kembali ke meja untuk mengisi amunisi. Raya diam di tempatnya dan memperhatikan.

"Kamu belajar menembak sejak kapan?" tanya Raya.

"SMA," jawab Raskal.

"Kamu pernah berpikir untuk jadi atlet menembak?" tanya Raya.

Raskal menggelengkan kepalanya sembari bersiap pada posisi. "Ini hanya sekedar hobi," jawabnya.

"Watch me carefully," kata Raskal.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang