BAB 8: The Ruined Plan

16K 1.9K 47
                                    

sorry if you found any typos.

***

BAB 8: The Ruined Plan

.
.
.
.
.

Lama kelamaan, senyum tipis Raskal Prayoga yang entah mengapa menempel terus di kepalanya bisa memutus jaringan otaknya.

Sejak tiba di Jakarta kemarin, Raya kehabisan energi untuk melakukan hal yang lebih penting, kecuali mengulang-ulang film kesukaannya. Pikirnya, melihat aksi Spiderman melawan penjahat lebih menarik dari pada mengingat fakta bahwa ia telah dijodohkan dengan pria yang sudah melecehkannya di gudang waktu itu. Ia tidak bisa berpura-pura bahagia hanya karena pria itu tampan dan kaya ketika prinsipnya dipreteli seperti ini. Jadi, ia memilih untuk menjauh dari semua orang dan berlagak mengerjakan naskah dengan giat di apartemennya. Beralasan palsu bahwa tiba-tiba ia terserang demam dan flu. Kendati kenyataannya ia hanya berbaring di ranjang dan merasa seperti seorang nenek emosian.

Gadis itu sesekali mengecek ponselnya, beberapa pesan-pesan dari Najwa yang memintanya untuk bersikap kooperatif terhadap perjodohan pun ia abaikan.

Cih, kooperatif? Memangnya ia tahanan pihak berwajib?

Raya mengerti jika keluarganya kecewa dengan perilakunya kemarin. Menjelek-jelekkan Raskal di hadapan orang tua pria itu tentu bukanlah sikap yang mereka harapan. Namun, mereka tidak pernah mau mempelajari Raya. Mempelajari betapa teguhnya perempuan itu. Perubahan pikiran yang terlalu tiba-tiba adalah sesuatu yang seharusnya mereka waspadai. Mereka terlalu senang dengan keputusan itu sehingga lupa kalau masih banyak celah yang bisa diterobos Raya untuk melarikan diri.

Mereka pasti saat ini sedang memikirkan cara bagaimana bisa kembali mengambil hati keluarga Prayoga. Bisa jadi keputusan terakhir mereka adalah menyerahkan Arleen pada Raskal. Menikahkan sang putri dengan sang pangeran setelah tumbalnya lepas. Lagi pula, bisa jadi Arleen adalah perempuan yang selama ini Raskal inginkan. Setidaknya untuk menutupi fakta bahwa pria itu gay tanpa merusak citra seleranya yang tinggi. Dengan begitu, semua kebutuhan terpenuhi tanpa harus melukai prinsipnya lagi.

Baru saja ia ingin mematikan televisinya dan tidur siang, bel apartemennya tiba-tiba berbunyi. Dengan kasar, gadis itu bangkit dari ranjang dan membukakan pintu untuk siapapun yang memijat bel serta menganggu kesendiriannya.

"Selamat siang."

Si pengganggu itu bukan hanya merecoki tidur siangnya! Tetapi juga hidupnya. Tebak, siapa yang mengganggunya siang-siang begini? Biar Raya beri klu. Tubuhnya tinggi menjulang, hampir setara dengan ambang atas pintu. Matanya yang gelap menatap lurus ke arahnya, membuat kelam suasana hati. Rambut tebalnya kali ini dibiarkan seperti gorden, menghiasi dahinya yang sempurna. Alis tebalnya naik satu, membuat Raya ingin mencabutinya satu per satu.

Tanpa menjawab, Raya kembali menutup pintunya kencang-kencang sampai pria di hadapannya mundur ke belakang. Gadis itu berbalik, ia sedang enggan meladeni siapapun, termasuk Raskal Prayoga.

Namun, setiap langkah yang ia ambil saat menuju kamar mengingatkannya pada fakta bahwa ia baru saja membanting pintu di depan wajah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Secara teknis, perlakuan itu dapat membuatnya kehilangan pekerjaan! Karena ia tidak mau kembali luntang-lantung mencari pekerjaan yang cocok, ia pun kembali membukakan pintu untuk pria itu.

"Maaf, Pak," ucap Raya. "Tadi nggak sengaja, saya kaget," alibinya.

Raskal hanya mengangguk. Pria itu melirik bagian dalam apartemen Raya yang berukuran kecil, lalu bertanya, "Boleh saya masuk? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Where stories live. Discover now