BAB 9: Open Agreement

16.5K 1.8K 54
                                    

***

BAB 9: OPEN AGREEMENT

.
.
.
.
.

"Butuh tumpangan?"

Tidak ada bosan-bosannya Raskal membuat jengkel Raya, bisa-bisa mata gadis itu juling karena tiap Raskal ada di hadapannya, bola matanya berotasi.

"Tidak, terima kasih, Pak," tolak Raya, dengan sinis menekan kata Pak di ujung kalimatnya.

Raskal mendecak, melepas seatbelt-nya lantas membuka pintu penumpang yang berada di samping duduk kemudi. Raya menatap tajam pintu mobil yang menganga di hadapannya.

"Masuk, saya tahu kamu butuh tumpangan untuk menemui orang yang tidak perlu diketahui pacar kamu itu," kata Raskal.

Raya mengernyitkan dahi "Pacar?" tanya-nya tak mengerti. Sejak kapan dirinya punya pacar?!

"Cepat naik! Nanti saya kena denda karena berhenti sembarangan, lebih baik kita bahas itu di tempat yang lebih pantas," titah Raskal.

Raya tetap bergeming di tempatnya, tidak berniat untuk menuruti perintah Raskal. Sebab, gadis itu tidak mau berada di satu ruangan—termasuk satu mobil—dengan Raskal. Lagi pula ia hendak pergi ke tempat rahasia, tidak ada boleh yang tahu tujuannya kecuali dirinya sendiri.

Gadis itu hanya memutar bola mata dan menjauh dari mobil mewah Raskal. Namun, Pria itu malah mengendarai mobilnya pelan mengikuti langkah Raya.

"Kamu tidak mau membuat kesepakatan?" tanya Raskal, sedikit berteriak karena deru angin serta kendaraan bermotor terlalu berisik di sekitarnya. Kalimat Raskal berhasil membuat Raya menyetop langkahnya.

"Kesepakatan apa lagi?" tanya gadis itu ketus.

"Tentu saja soal pertunangan dan pernikahan kita," jawab Raskal santai.

"Memangnya apa lagi yang harus disepakati? Hari minggu nanti kita bakal tunangan dan saya sudah nggak punya pilihan lain, bukan?" balas Raya.

"Saya ingin bekerja sama denganmu," kata Raskal.

"Kerja sama untuk membatalkan pertunangan kita?"

Raskal mendengus, "Masuk, kita bahas di tempat yang lebih nyaman." Kali ini, Raya dengan senang hati melakukan perintah itu, bahkan langsung mengenakan seatbelt tanpa disuruh. Dengan semangat yang membakar matanya, gadis itu menoleh ke arah Raskal.

"Jadi, gimana? Kamu juga mau membatalkan perjodohan ini 'kan?" tanya gadis itu.

"Kasih tahu di mana alamatnya, kita bicarakan setelah kamu bertemu dengan orang yang tidak boleh diketahui pacarmu itu," jawab Raskal.

"Kalau pacar saya saja nggak boleh tahu, apalagi kamu!" Raya menyosor, menatap sinis.

"Saya calon suami kamu," balas Raskal.

"Belum pasti!"

"Sudahlah, jangan ribut, cepat beri tahu alamatnya."

Raya menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu! Saya bisa reschedule ketemuannya nanti," katanya. "Terserah kamu mau membahasnya di mana."

Tanpa menanggapi lebih lanjut, Raskal langsung mengemudikan mobilnya, membawa Raya entah kemana.

***

"Saya lapar, bagaimana kalau kita ngobrol sambil makan malam?" Raskal melontarkan pertanyaan itu saat mereka sudah setengah jalan menerjang macetnya Jakarta. Raya hanya mengangguk dan menyetujui apapun usulan Raskal. Sampai akhirnya, mobil Raskal memasuki kawasan sebuah restoran yang tidak begitu besar. Mobil-mobil mewah berjejer di samping bangunan restoran tersebut, terlihat sekali bahwa yang datang untuk makan di sana adalah orang-orang seperti Raskal. Kaum elit.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Where stories live. Discover now