BAB 10: The Engagement

17.9K 1.8K 89
                                    

sorry for any typos and grammar error.

***

BAB 10: Engagement

.
.
.
.
.

Sekarang, Raya paham mengapa waktu bersifat relatif. Sebab, ia merasa waktu berjalan seperti sebuah asteroid yang tertarik oleh gravitasi bumi. Begitu cepat sampai ia tidak menyadari kalau sekarang sudah hari minggu. Iya! HARI MINGGU! Pertama kali dalam 25 tahun hidupnya, ia tidak merindukan hari Minggu.

Minggu ini, ketika kedua sahabatnya mungkin sedang berleha-leha dan teman-temannya yang lain berkumpul bersama keluarga dan menikmati weekend, dia lagi-lagi harus terbang ke Surabaya untuk bertemu keluarga Raskal. Bahkan sekarang lebih parah, tujuannya bukan lagi untuk perkenalan, tapi pertunangan! Acara itu mungkin bisa dihitung sebagai "kumpul keluarga" tetapi tidak bisa dihitung sebagai "leha-leha." Mana ada kegiatan "leha-leha" membuatnya tertekan seperti sekarang ini?

Sebab, sejak kemarin, ia merasa lemah karena tidak bisa melindungi prinsipnya dari kepentingan orang lain. Ia merasa seperti pengecut dan pecundang sekaligus!

Tak habis-habisnya perempuan itu menghela napas dan mendengus, terlebih lagi saat penata rias yang disewa Najwa memujinya dan meminta tips and trick bagaimana cara mempunyai calon suami seperti Raskal.

"Nggak tahu, Mbak, dia datang sendiri," jawab Raya seadanya.

"Masa sih Mbak? Nggak mungkin, ah! Pasti Mbaknya ini baik dan menarik banget sampai-sampai bisa dapat calon suami ganteng, kaya, dan baik hati kayak si Masnya," balas penata rias itu sambil menata rambut pendek Raya. "Jodoh 'kan cerminan diri sendiri, Mbak," tambahnya.

Raya mengangguk, kemudian menimpali, "Tapi bayangan cermin 'kan terbalik, Mbak."

"Oh ya? Waduh, saya baru tahu, tuh, Mbak. Maklum, kanan sama kiri saja saya sering tertukar," balas penata rias itu.

Raya tidak menanggapi lagi si penata rias itu sampai Najwa kembali ke kamarnya. Perempuan berjilbab itu menghampiri Raya dan menatapnya melalui pantulan cermin.

"Kamu kok cantik ya, Ray?" tanya Najwa.

Raya mengerling ke arah Najwa lalu berdecak. "Kalau aku ganteng, nanti Mbak Najwa kaget ...," balasnya, membuat Najwa terkikik.

"Mbak, saya mau bicara sama adik saya sebentar, boleh?" tanya Najwa pada penata rias yang sudah menyelesaikan pekerjaannya. Mengerti isyarat Najwa, penata rias itu pun akhirnya hengkang dari kamar Raya setelah mengemasi barang-barangnya. Anak buah yang mendampinginya juga ikut keluar.

"Duh, cepet banget ya, tiba-tiba kamu udah tunangan aja, padahal dulu masih pakai seragam SMA setiap ketemu Mbak," komentar Najwa, perempuan itu berdiri di belakang Raya yang masih duduk di depan meja rias dan meletakkan kedua tangannya di pundak gadis itu.

Bahkan terlalu cepat, Raya menjawab lewat batin, yang tentu saja tidak bisa ditangkap oleh Najwa.

"Maaf ya, Ray," ucap Najwa tiba-tiba. "Mbak nggak bisa menolongmu di saat-saat seperti ini," lanjutnya sedih, mentransfer kehangatan ke pundak Raya yang terbuka dengan mengusapnya. "Seharusnya kam—"

"Sudah lah, Mbak," sela Raya. "Mbak Najwa nggak perlu merasa bersalah. Toh, bukan Mbak Najwa yang bikin perusahaan keluarga hampir bangkrut. Raya nggak masalah kok dengan ini semua. Santai saja," lanjutnya, berbohong dibagian yang terakhir.

"Beneran kamu nggak papa?" tanya Najwa.

Raya mengangguk, kemudian meraih tangan Najwa, menggenggamnya dengan penuh keyakinan. "Nggak apa-apa, Mbak. Demi keluarga, demi Eyang, demi ...." Ucapannya menggantung sejenak. "Demi papa," lanjutnya.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Where stories live. Discover now