3. ALGA & HADIAH DARI LUNA

193 41 1
                                    

3. ALGA & HADIAH DARI LUNA

Sebuah mobil sedan mewah berwarna putih memasuki area sekolah. Menyita seluruh mata siswa yang berada di sekitarnya. Sekolah sudah cukup ramai, karena tinggal beberapa menit lagi bel masuk berdering.

Seorang perempuan dengan sneakers putih turun, setelah mobil tersebut terparkir dengan sempurna di tanah lapang yang cukup luas di samping bangunan kelas.

Luna berjalan sambil menenteng sekitar sepuluh paper bag berwarna ungu dengan ukuran kecil. Bibir merahnya yang diberi lip tint tersenyum saat telinganya mendengar bisikan dari para siswa yang mengagumi kecantikan nya. Hal yang paling Luna sukai. Gue mau hidup yang seperti ini, batinnya.

“Kak Erland,” suara manjanya berteriak memanggil lelaki yang sedang berdiri di dekat papan mading bersama beberapa anggota OSIS lainnya. Ia menghampirinya dengan mata berbinar.

“Buat kamu, hadiah dari aku,” Luna memberikan satu paper bag berwarna kuning. Yang sengaja ia bedakan, khusus untuk cowok pujaan nya.

Erland mengerutkan keningnya bingung. Luna yang paham dengan kebingungan kakak kelas nya tersenyum lebar, “Ini hadiah karena kamu udah bimbing aku waktu MPLS,”

“Sama-sama,” Erland menerima pemberiannya.

“Ehem-ehem! Ceritanya yang di kasih hadiah cuman ES aja gitu?” ujar Mika, gadis berambut pirang itu berdiri di samping Erland.

“E-eh, enggak kok. Aku juga bawain buat kalian semua,” kata Luna. Kemudian Luna membagikan satu persatu paper bag di tangannya sampai habis. “Soalnya kalian semua baik banget sama aku,”

“Asyikkk!! Rezeki pagi-pagi anak cantik dan baik kaya gue,” Mika yang heboh menerimanya.

“Padahal gak usah repot-repot, Lun. Itu emang tugas kita,” ujar Dimas.
Sedangkan yang lainnya hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Lumayan kan! Si Dimas berisik mulu!

“Tapi ini semua gak gratis,” kesepuluh anggota OSIS di sana tampak terkejut dengan wajah yang bertanya-tanya.

Perempuan itu terkekeh pelan. “Hehe, biasa aja kali. Aku cuman mau Kak Erland kasih nomor HP nya buat aku,” menyodorkan HP barunya pada lelaki berwajah dingin yang berada di depannya.

Mika menyenggol lengan ES. “Udah ES kasih aja. Luna udah baik sama kita semua,”

Hubungannya sama gue apa?

Erland Mahesta Abrisam, lelaki yang di panggil ES oleh teman-teman satu angkatannya itu tersenyum. Menerima ponsel Luna lalu mengetikkan nomor dan menyimpannya. Luna tidak hentinya tersenyum, mengamati setiap inci wajah cowok itu. Lo ganteng banget Kak!!

“Kita foto yuk! Buat kenang-kenangan,” ajak Luna. Mereka mengangguk setuju. Namun, suara melengking milik Mika terdengar memanggil seseorang.

“Litta sini! Kita foto bareng,” teriaknya. Memanggil Litta yang sedang berjalan dilapangan SMA Priority. Perempuan yang di panggil itu mengangguk.

“Nah! Gini kan enak di fotonya bareng sama Bu Ketos,” kata Mika semangat.

“Tapi-tapi, hadiah buat Litta mana?”

Litta menoleh ke arah Luna, adiknya. Ia juga tidak peduli dengan tatapan sinis yang diberikan ES padanya.

Luna menepuk dahinya cukup keras, “Aduh! Kayanya aku lupa deh. Soalnya kemarin aku sibuk banget bantuin Mama. Bantuin beres-beres rumah, cuci piring, sapuin halaman terus belajar. Jadi, aku gak sempet buat cek ulang list anggota OSIS,”

“Ga pa-pa, lagian waktu MPLS bukan dia kan yang bimbing lo,” ES bersuara. Berdiri di dekat Luna, merangkul nya. Luna terkejut tidak berkutik dan berkata apa-apa. Sekujur tubuhnya terasa menegang di sentuh kakak kelasnya, Erland.

Litta tersenyum miring. Matanya menatap tajam ke arah ES. “Yang di bilang ES bener. Apalagi gue bukan orang yang suka terima pemberian dari orang yang nggak gue kenal,” jawab Litta. Matanya melirik Luna.

Itu kan yang kamu mau, Luna? Bersikap seolah-olah tidak saling mengenal. Berusaha menutupi kalau sebenarnya kita itu adik dan kakak. Dalam tubuh kita mengalir darah yang sama, namun sikap kita sangat jauh berbeda. Padahal kita tinggal di bawah atap yang sama.

Jujur saja, hati Litta sakit saat mengatakannya. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu pada adiknya sendiri. Tapi, ini kan yang di inginkan Luna, untuk tidak saling mengenal. Lalu mengapa Litta yang merasa terluka? Mengapa ia yang merasa ingin menumpahkan air matanya.

“Kita jadi kan di foto nya?” tanya Luna. Pertanyaan Luna di angguki oleh anggota OSIS itu.

“Em, gimana kalau Kak Litta aja yang fotoin. Kak Litta kan belum kebagian hadiah,” katanya.

“Pake HP aku aja soalnya HP aku baru,” Luna menyodorkan ponsel berwarna ungu miliknya kepada Litta.


* * *


Litta menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekarang ia berada di taman belakang sekolah. Menyendiri, seperti biasa ketika menginginkan ketenangan. Kepalanya mendongak membiarkan angin dan cahaya matahari menerpa wajah cantiknya. Sudah sepuluh menit dirinya duduk di tempat yang asri dan sejuk itu.

Tadi ketika Luna meminta untuk memfotonya Litta menolak, dengan alasan banyak tugas yang harus dikerjakan. Dan itu memang benar. Baru saja ia selesai mengisi dokumen yang di kembalikan oleh ES. Namun, belum semuanya selesai karena rasa lelah dan capek hinggap dalam dirinya. Membuatnya malas melakukan apa-apa.

Mungkin kondisi fisik Litta baik-baik saja tapi tidak dengan batinnya. Saat ini hati Litta menangis, mengingat bagaimana Luna memperlakukan dirinya tadi. Apa salahnya sampai membuat adiknya seperti itu, bahkan Mamanya pun selalu memberikan perhatian yang berbeda kepadanya.

Litta lelah dengan semua ini, rasanya ia ingin kabur, lari dari masalahnya. Tapi apa dengan aku kabur bisa mendapatkan kebahagiaan yang aku inginkan? Apa aku mampu?
Bayangan terputar begitu saja dalam pikirannya. Mengenang bagaimana dulu ia menjadi satu-satunya putri Irfan Megantara dan Lisa Nuria yang bahagia. Shalitta yang selalu melewati hari-harinya dengan tawa, yang selalu diperlakukan manja oleh orangtuanya. Merasa menjadi satu-satunya anak yang paling bahagia. Namun, semuanya berubah, semuanya pergi, semuanya menjauh.

Ia tidak lagi merasakan kebahagiaan, tidak lagi melewati hari-harinya dengan tawa, tidak lagi mendapatkan perlakuan manja dari orangtuanya semenjak kehadiran adiknya, Luna gemintang. Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipi nya. Dan Ayahnya yang selalu menjadi pelindungnya, pergi meninggalkan Litta untuk selamanya.

Mata Litta terbuka saat cahaya matahari tidak lagi menyinari wajahnya. Alga, lelaki yang berdiri di hadapannya menghalangi hangatnya matahari yang menyinari wajah sang kekasih itu tersenyum.

“Aku cari kamu kemana-mana, ternyata ada di sini,” ujar Alga. Lelaki itu ikut duduk di samping Litta.

Litta tersenyum, “Ada apa cari aku?” tanyanya.

“Ck,” decak Alga. “Emangnya cari pacar sendiri gak boleh?” menatap Litta dalam. Mengikis jarak yang menghalangi kedekatan mereka. Mata manusia itu saling bertemu, bertatapan untuk sesaat. Sebelum akhirnya Alga menjauh dan terkekeh melihat ekspresi Litta yang tegang.

“Gak usah tegang gitu mukanya,” Litta memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa malu. Sudah dipastikan kalau pipinya merah merona. Alga terkekeh melihat Litta yang malu-malu seperti itu.
Di matanya Litta terlihat mengemaskan.

Kemudian cowok itu menarik sebelah tangan Litta membawa nya naik dan menciumnya hangat membuat cewek berseragam sekolah itu panas dingin dan jantungnya berdebar-berdebar melihatnya. Cowok itu menurunkan tangan Litta dan menggenggam nya erat.

“Yang kuat ya, Ta. Aku yakin kamu bisa lewatin semua ini, aku selalu di samping kamu,” ujar Alga lembut pada Litta.

***

Hai, salam kenal🖐
Terimakasih yang sudah membaca🌈

SHALITTAWhere stories live. Discover now