4. AIR MATA LITTA

164 39 0
                                    

4. AIR MATA LITTA

ES sialan! Gara-garanya semalam Litta mengerjakan dokumen yang seharusnya dikerjakan oleh cowok itu. Litta tidur larut malam dan bangun terlambat. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Sangat singkat sekali waktunya untuk bersiap ke sekolah.

Buru-buru perempuan berseragam sekolah itu turun dari kamarnya. Langkahnya melambat ketika melihat Mamanya yang berada di bawah sedang menyiapkan makanan ke dalam sebuah kotak bekal. Mata Litta berbinar, sudut bibirnya terangkat.
Matanya tidak henti memandangi Mamanya dengan sayang. Rasanya air mata ingin ikut turun menjadi saksi kalau hari ini Litta begitu bahagia.

“Mama, kenapa nggak bangunin Litta?” tanya Litta. Suaranya terdengar lembut, senyum masih menghiasi bibirnya.

“Kamu itu udah dewasa Litta, bangun aja sendiri,” jawabnya. “Udah sana makan, nanti telat,”

“Litta makan di sekolah, Ma. Itu Mama udah siapin bekal buat aku,”

Lisa menoleh melihat Litta yang sedang duduk di kursi meja makan. “Ini buat Luna,”

Jleb!

Litta bergetar mendengarnya. Hatinya begitu sakit. Sangat sakit bagaikan ribuan jarum menusuknya. Kenapa hidupnya begitu menyakitkan. Perlahan air mata turun mengenai wajahnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan menangis dalam diam. Sakit, Ma. Batin Litta menjerit. Matanya terasa panas dan perih melihat Mamanya begitu telaten menyiapkan bekal untuk Luna.

“Kamu makan sama mie instan. Ayam nya di bawa Luna,”

Litta berdeham, tidak ingin suaranya diketahui kalau ia sedang menangis.
“Kemarin Mama beli ayam kan banyak, Ma,” lirih Litta. Sambil terus menahan air matanya. Tuhan! Ini begitu menyakitkan.

“Dia mau bagi-bagi sama teman-temannya. Jadi semua ayam sama lauknya dibawa. Kamu udah dewasa ini ngalah aja sama adik sendiri. Sana masak mie nya sendiri,”

Perempuan itu menutup hidung dan mulutnya menggunakan telapak tangan tidak ingin tangisnya sampai bersuara. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin memberitahu dunia kalau ia sangat sakit dan hancur. Ia lelah, ia ingin menyerah! Hati Litta terluka. Mungkin semesta pun sedang tertawa. Menertawakan nasibnya yang malang.

Litta mengusap air matanya dengan kasar. Bangkit dari duduknya. Menyampirkan tas nya di bahu kiri. “Litta gak lapar,” katanya lalu pergi.

Litta pergi diiringi dengan air mata yang tidak henti mengaliri wajahnya. Dadanya semakin terasa sesak. Sangat sakit. Tidak ada yang bisa mengalahkan sakitnya di perlakukan berbeda oleh Mama sendiri. Hidup pun terasa hampa dan tidak berguna. Saat malaikat tanpa sayap, yang kita sebut Mama tidak lagi peduli.

Litta ada di sini, Ma

“Ma, Litta sakit,” lirihnya pelan.

* * *


Bel pulang berdering sekitar lima belas menit yang lalu. Saat seluruh siswa berhamburan keluar kelas untuk pulang. Berbeda dengan Luna, perempuan itu tampak tenang duduk di kursi yang berada di luar kelas nya sambil memainkan ponsel.

Luna Gemintang : Kak, aku mau ikut eskul multimedia. Kamu ada kan?

Luna baru saja mengirimkan sebuah pesan pada kakak kelas nya, ES. Saat pertama masuk ke SMA Priority dan melihat ES, Luna langsung jatuh cinta. Menyimpan harapan lebih pada lelaki berwajah tampan itu. Ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan tujuannya. Semua tentang ES ia cari tahu. Makanan yang dia suka, hobinya, warna favorit, pokoknya semua yang bersangkutan dengan ES, Luna ingin selalu hadir di sana.

“Buruan Lun, ntar keburu banyak orang lagi,” ajak Yara. Teman baru Luna sekaligus teman sebangkunya.

“Iya-iya,” jawab Luna. Lalu bangun dari duduknya mengikuti perempuan berambut sepunggung dengan poni tipis itu. Matanya masih fokus pada ponselnya menunggu balasan dari lelaki pujaannya.

Luna dan Yara memasuki salah satu kelas yang dijadikan tempat sebagai pertemuan ekstrakurikuler multimedia club. Karena ruangan khusus eskul itu belum dibuka, kuncinya ada pada Erland tetapi lelaki itu belum muncul juga. Sebenarnya kedua perempuan itu masuk ekstrakurikuler satu ini bukan karena niatnya atau keinginan tersendiri. Melainkan karena kakak kelas cowok idaman Luna, dan sang kekasih Yara. Mereka berdua duduk di bangku paling depan—ingin menjadi yang paling bersinar diantara yang lain.

“Kak Erland mana ya, kok belum datang sih,” Luna dengan suara manjanya.

Yara menoleh lalu menggelengkan kepalanya. “Pacar gue juga belum datang,”

Luna mendengus kesal. Padahal buru-buru ia dandan dan rapih-rapih sejak tadi. Semenjak mengincar Erland, cewek itu tidak pernah mau berjauhan dengan barang kesayangannya. Setiap hari datang ke sekolah dengan membawa pelembab, bedak, maskara, eyeliner, penjepit bulu mata dan satu lagi yang menjadi andalannya lip tint berwarna merah favorit nya.

Kehadiran Litta yang datang untuk mengambil tas nya membuat kelas berisi dua puluh orang itu berisik. Begitu juga Luna, matanya langsung membulat karena terkejut. Oh, ini kelas Litta.

“Litta makin cantik aja,”

“Eh! Tapi ada adik kelas yang cantik tau, namanya kalau ga salah Lu-Luna deh,”

“Oh cewek yang naksir si ES ya,”

“Yah! Jauh lebih cantik Litta
kemana-mana lah! Cantik natural, bukan badut!”

Luna langsung panas. Mengepalkan tangannya kuat. Mendengarkan perkataan orang-orang yang duduk di belakangnya. Yara yang sadar akan hal itu, menoleh ke arah belakang lalu mendelik tidak peduli kalau itu kakak kelas nya.

“Anjing!” umpat Luna pelan.

Yara memainkan rambutnya dengan jari telunjuk. Melintir rambutnya. “Jangan buang-buang tenaga! Mereka sirik soalnya gak secantik kita berdua,”

“Gue mau keluar dulu,’ kata Luna di angguki Yara.

Luna menatap tajam Litta sambil berjalan sampai ia tidak sadar bertabrakan dengan seorang lelaki. Luna dengan wajah judesnya tidak minta maaf pada Alga lelaki yang baru saja ditabraknya. Alga menoleh pada perempuan yang melewatinya begitu saja. Menggelengkan kepalanya.


* * *


Suara derum motor berhenti di depan rumahnya menarik perhatian Luna yang sedang berlatih dance di kamarnya. Ia mengintip dari balik gorden melihat Litta yang pulang di antarkan oleh lelaki. Sayangnya, ia tidak tahu siapa, karena cowok itu tidak membuka helm nya.

“Gue gak mau terus hidup di bawah lo, Litta,” geram Luna.

Litta memasuki rumah mendapatkan Mamanya yang sudah duduk di sofa. Waktu baru pukul lima sore. Tapi, kenapa Litta merasa tidak enak.

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang,”

Litta menunduk. “ Maaf Ma, kegiatan Litta tadi banyak,”

“Kamu pulang sore pasti keluyuran iya kan? Jawab Mama Litta?!”

Luna keluar dari kamarnya mendengar Mamanya yang sedang memarahi kakak nya. Perempuan dengan celana pendek di atas lutut itu tersenyum miring.

“Maaa!” teriak Luna berlari dari kamarnya. Luna berdiri di samping Litta. Merangkul nya.

“Ma, mama udah dong! Jangan marah-marah gini. Kasihan dia baru pulang,” kata Luna.

Lisa mendelik. Tangannya melipat di depan dada.

“Mama jangan keras-keras sama Kak Litta, nanti kalau dia kenal mental terus dia stres gimana?” Litta menoleh dengan kedua mata membulat, tidak percaya.

“Palingan Kak Litta abis jalan-jalan, makan-makan atau ke club sama cowok-cowok. Aku gatau sih, soalnya aku gak suka nongkrong di tempat begituan. Apalagi sama cowok,” ujarnya.

Deru napas Litta terdengar. Dada nya naik turun, dengan emosi ia melirik Luna yang sok bersikap manis di depan Mamanya. Tega sekali Luna menuduh nya dengan berkata seperti itu.

***

Hai, salam kenal🖐
Terimakasih yang sudah membaca🌈

SHALITTAWhere stories live. Discover now