9. PERMINTAAN MAMA

100 29 1
                                    

9. PERMINTAAN MAMA

“Aduh! Pengeluaran makin hari makin besar aja,” keluh wanita yang sedang duduk di kursi meja makan sambil menikmati sepotong bolu cokelat. Lisa—ia sedang memegang sebuah benda pipih dengan ukuran cukup besar.

"Belanja Luna di bulan ini banyak sekali," Layar iPad berwarna putih tersebut memperlihatkan pengeluaran dan pemasukan uangnya pada bulan ini. Ia memijat keningnya pelan, merasa pusing.

Seorang dari arah pintu depan masuk mengucapkan salam yang terdengar samar-samar oleh telinganya. Litta baru saja sampai di rumahnya setelah beradu mulut dengan ES di sekolahan tadi.

“Tangan lo kenapa?”

Litta mendongak terkejut dengan pertanyaan lelaki itu. Apakah ini benar ES?

Sejenak Litta berfikir, apa ES sudah memiliki rasa kasihan kepadanya? Namun, secepat mungkin ia menggelengkan kepalanya kalau pikirannya mengenai ES adalah salah. Ia mengenal ES sudah cukup lama. Lelaki yang berdiri di depannya tidak pernah memiliki hati kepadanya. Tidak ada gunanya berharap pada cowok berhati batu seperti ES.

Litta menarik tangannya tidak mau di sentuh oleh orang seperti ES yang bermuka dua.

“Apa peduli lo?” tanya Litta sinis.

ES memasukkan tangan ke dalam saku celana abu-abunya. Mendekati Litta.

“Peduli gue? Lo berharap gue peduli? Jangan harap lo!” sembur ES. “Gue cuman nanya siapa tahu lo butuh bantuan buat bunuh diri!" kedua alis Litta tersentak bersamaan bagimana ES bisa tahu, kalau dirinya baru saja mencoba bunuh diri, apa karena luka yang berada di pergelangan tangannya?

“Memangnya siapa yang mau bunuh diri?” tanya Litta kembali. Berpura-pura tidak mengerti dengan ucapan ES.

“Litta-Litta! Lo pikir gue bodoh?!”

“LITTA,"

ES dan Litta menoleh ke sumber suara. Alga, lelaki yang memakai jaket berwarna biru dongker itu menghampiri keduanya.

Kedatangan Alga berhasil membuat sebelah sudut bibir ES terangkat sambil geleng-geleng kepala.

“Ayo pulang,” ajak Alga lelaki itu hendak menarik tangan Litta. Namun, ES menahannya lebih dulu.

“Litta pulang bareng gue!” jelas ES. Seakan Litta adalah miliknya.

Jawaban ES tidak hanya membuat lelaki yang notabene-nya pacar Litta terkejut tapi begitu juga Litta. Cewek itu melirik ES.

Alga menatap tajam ES saat lelaki itu menarik tangan Litta darinya. “Lo pikir lo siapa?”

ES terkekeh, "Apa omongan gue gak lo mengerti?” ejek ES. Kepalanya manggut-manggut paham. “Gue baru inget orang bodoh kaya lo gak mungkin ngerti omongan orang pinter!”

Alga merasa tangannya gatal ingin menghajar ES, emosinya tidak dapat lagi diredam. Tangannya melayang hendak memukul wajah sialan di depannya. Namun, ES berhasil mundur—menghindar dari pukulan Alga.

“Santai, man!” decak ES. Lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana abu-abunya. Membuka sebuah aplikasi wahtasap dan memperlihatkan isi percakapannya pada Alga.

Bu Nia : Erland, saya minta tolong sama kamu. Tolong kamu awasi dan ajak Litta buat latihan... Sebenarnya saya merasa sayang kalau Litta sampai tidak ikut olimpiade. Terimakasih.

Alga membaca pesan yang di tunjukkan oleh ES. Raut wajahnya berubah datar. Diam seribu bahasa, mau menolak tapi ini adalah perintah dari gurunya. Cowok itu memalingkan wajahnya. ES juga menunjukkannya pada Litta.

SHALITTAWhere stories live. Discover now