6. TIDAK ADA AKHIRNYA

124 30 23
                                    

6. TIDAK ADA AKHIRNYA

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Namun, matanya masih enggan untuk terpejam. Litta—perempuan yang mengenakan pakaian tidurnya duduk di balkon kamar tidurnya di temani angin malam. Memandang gelapnya langit malam yang dihiasi taburan bintang.

Perempuan itu beranjak saat mendengar suara motor berhenti tepat di rumahnya. Keningnya mengerut saat tahu seseorang turun dari atas motor. Luna, batinnya. Ia pikir Luna sudah pulang. Saat tadi pulang sekolah, setelah selesai makan Litta tidak lagi turun dan berkumpul bersama Mamanya. Litta menggelengkan kepalanya, ini tidak benar.

Litta turun dari kamarnya menuju ruang depan. Membuka pintu yang sudah terdapat Luna berdiri di sana.

“Luna?” Baju lusuh dan rambut berantakan. Kondisi Luna yang Litta tangkap dengan kedua matanya. “Kamu sadar enggak sih ini jam berapa?”

“Ah! Berisik banget lo!” Luna memaksa masuk. Menabrak bahu Litta keras. Meninggalkan kakaknya. Litta tidak membiarkan Luna pergi begitu saja. Ini sudah lewat, anak sekolah jam sepuluh malam baru pulang dan masih menggunakan seragam. Ia yakin hari ini Luna pasti kena marah Mamanya.

“Luna kamu mau ke mana?” Litta menarik tangannya. Namun, dengan cepat Luna menghempaskan kasar.

“Mau tidur!!”

“LUNA!” teriak Litta. Kemudian suara teriakan kembali terdengar membuat kedua kakak adik itu diam.

“LITTA,”

Litta tersenyum tipis lalu menghampiri Mamanya. Luna memutar kedua bola matanya malas melihat tingkah sang kakak. Mau carmuk ya lo, Ta.

“Ma, aku barusan tegur Luna. Karena dia baru pulang,”

Lisa menatap putri sulungnya dari atas sampai ke bawah. “Kamu yang harusnya di tegur!” bentak Lisa.

Litta mengedipkan matanya berkali-kali, “Hah?” menatap Mamanya bingung. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya mencerna perkataan Mamanya.

“Kamu yang gak sadar, Litta! Udah tau ini malam malah teriak-teriak. Berisik!”

“Ta-tapi, Ma. Luna baru pulang,”

Lisa tak menghiraukan Litta. Ia menarik Luna—membawanya duduk di sofa. “Sayang, kamu baru pulang? Capek enggak? Pasti anak cantik Mama habis kerja kelompok ya?”

Luna tersenyum—memamerkan gigi putihnya. “Iya, Ma,”

Litta menggelengkan kepalanya. “Ma, mana ada kerja kelompok sam—,”

“MASUK KAMAR LITTA! OMONGAN KAMU BIKIN MAMA PUSING!”

Air mata kembali membasahi wajahnya. Kenapa? Kenapa harus dirinya lagi yang terkena marah Mama. Kenapa harus ia lagi yang tersakiti. Apa yang ia lakukan salah? Menegur sang adik karena pulang larut malam, yang katanya selesai mengerjakan tugas kelompok.

Litta berlari memasuki kamarnya. Menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Menutupi wajah dengan bantal tidak ingin tangisnya yang sudah akan pecah itu terdengar.

Ma,

Andai Mama tahu, hari ini, malam ini Litta menangis lagi

Hati Litta kembali terluka

Rasanya begitu perih, Ma, sakit sekali

Ma,

Kapan waktu yang Litta tunggu hadir?

Apa itu hanya harapan kosong Litta?

Ma, Litta rindu di peluk Mama,

Litta rindu di cium kening sama Mama

SHALITTAWhere stories live. Discover now