Dunia kedua 11

7.4K 1.2K 138
                                    


Di malam hari, tidak ada lagi warga desa yang berkeliaran. Semua warga desa itu sudah kembali ke rumah masing-masing.  Tetapi bisa dilihat, jalan yang seharusnya sepi itu terdapat sepasang anak muda berjalan dengan pelan.

"Hissss" suara mendesis terdengar

"Apa sakit? Tunggu sebentar kita akan sampai"

Arin menggeleng tidak mengatakan iya atau tidak tapi hanya mengatakan "Tidak apa-apa" sebagai jawaban.

Kevan tidak mengatakan sesuatu atau bertanya lagi, hanya menggerakkan kakinya lebih cepat agar bisa sampai lebih cepat.

Sesampainya di rumah Arin, Sudah ada ibu Arin yang menunggu dengan cemas di pintu. Arin sudah gelisah dia berkata "kamu bisa turunkan aku di sini, tidak apa-apa aku bisa berjalan sendiri" Arin berbicara dengan suara kecil walaupun begitu kevan masih bisa mendengarnya. Tapi bahkan jika kevan mendengar itu tidak langsung menurunkan Arin seperti yang diminta tetapi malah tetap menggendong Arin mendekati ibunya.

Ibu Arin yang melihat Arin digendong, merasa khawatir dengan apa yang terjadi pada anaknya.

"Apa kamu terluka sayang, dimana kamu terluka? beritahu ibu" Ibu Arin memeriksa dengan matanya dan bertanya dengan khawatir. Dia bahkan mengabaikan bahwa sekarang anaknya masih berada di tangan orang asing.

"Ibu tidak apa, hanya luka kecil" Arin segera menenangkan ibunya dengan lembut.

Setelah melihat bahwa ibunya sedikit tenang dia berbicara lagi "Em... Bisakah kita masuk dulu? Tidak enak dilihat orang seperti ini"

Mendengar itu barulah ibunya sadar, dia segera menatap kevan yang masih menggendong anaknya. "Oh, ayo masuk. Masuk" dia membuka pintu untuk keduanya masuk.

Kevan tanpa sungkan melangkah ke dalam rumah, dia meletakkan Arin di kursi kayu yang ada di rumah lalu berjongkok melihat luka kaki Arin.

Kaki Arin sudah sangat bengkak, ada memar yang mengerikan di sana.

Ibunya Arin yang melihat luka itu bahkan menjadi lebih khawatir, "Ini, Arin ayo pergi ke rumah sakit"

"Tidak ibu, Arin baik-baik saja"

Arin menolak untuk pergi, rumah sakit berada di kabupaten, untuk kesana membutuhkan biaya pulang pergi dan belum lagi biaya berobat. Melihat kondisi ekonomi keluarga tubuh asli mereka tidak memiliki uang untuk itu.

"Akh..."

Arin terkejut karena rasa sakit di kakinya tiba-tiba menjadi lebih menyakitkan, melihat ke bawah, Kevan sedang meluruskan dan menekan pergelangan kaki Arin. Dia menoleh ke arah ibu Arin dan berkata dengan wajah serius "Bibi apa kamu memiliki kain panjang?"

Ibu Arin menanggapi kevan "ada, Aku akan segera mengambilkannya" setelah berbicara dia pergi dan kembali membawa kain putih kasar yang usang namun bersih lalu memberikannya pada kevan. Kevan menerima kain itu dengan ekspresi biasa, tidak ada ekspresi jijik di wajahnya.

Arin dan ibunya melihat kevan yang mulai membalut kaki Arin dengan kain. Setelah beberapa saat kevan akhirnya selesai membalut kaki Arin dan berdiri kembali.

"Hindari luka dari air, setelah seminggu atau lebih baru boleh dibuka jika sudah tidak ada rasa sakit yang terasakan."Kevan berbicara dengan serius, untungnya dia telah belajar menangani luka-luka kecil seperti ini, dan keahliannya akhirnya berguna.

"Ya, aku akan mengingatnya, Pemuda ini terimakasih banyak" Ibu Arin berterima dengan tulus

"Sama-sama, Kalau begitu aku pulang dulu" dia berpamitan dengan ibu Arin lalu menatap Arin kembali "Istirahat dengan baik" dia menepuk pucuk kepalanya Arin sambil tersenyum penuh kasih membuat arin merona malu, dia hanya bisa mengangguk pelan sebagai tanggapan.

Rebut pahlawan itu!Where stories live. Discover now