27. Buku harian Rafa

6 3 0
                                    

Happy reading ♥

***

Sebuah kebahagiaan yang amat besar untuk Fira karena kemarin ia telah resmi pensiun jadi jomblo. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, sekarang ia sudah menjadi milik Gibran.

"Aaa..." ucap Gibran.

Karena hari ini Kayla sedang tidak sekolah, Fira menghabiskan waktu istirahatnya untuk berpacaran. Lumayan lah, untuk sedikit merasakan kebahagiaan sebentar saja.

"Pinter," ujar lelaki itu saat Fira menerima sesendok bakso di tangannya.

Demi apa darahnya berdesir begitu cepat, bahkan Fira tidak bisa mengendalikan detak jantungnya melihat Gibran. Cowok tampan yang ia kagumi secara diam-diam telah menjadi miliknya, rasanya ini seperti mimpi.

"Cantik," gumam Gibran seakan terpesona akan kecantikan yang dimiliki oleh Fira. Matanya yang indah, kulitnya yang putih bersih, dan tubuhnya yang kecil berhasil membuat lelaki itu seakan terhipnotis dalam keindahan tuhan.

Bukan hanya itu, Gibran juga sangat menyukai sifat Fira yang menunjukkan segala sesuatu apa adanya. Gadisnya itu tidak pernah melebih-lebihkan segala hal.

"Gue bisa sendiri," ucap Fira saat Gibran hendak kembali menyuapinya.

"Apa?"

"Gue bisa sendiri," ulangnya.

Gibran berdecak, "Aku."

"Hah?" Fira mengernyitkan dahinya tidak paham.

"AKU, BISA, SENDIRI." Gibran mengeja setiap kata yang ia ucapkan dengan jelas.

Fira yang baru mengerti mendadak merasakan kecanggungan diantara mereka. Entah kenapa setelah kejadian kemarin, ia sangat tegang saat berhadapan dengan lelaki jangkung itu.

"Gak terbiasa, kita pake Gue-Lo aja." Pinta Fira tak enak.

"Makannya biasain."

"Gak bisa," balas Fira.

"Belum, nanti juga kebiasaan."

Fira menghela nafas panjang dan mengangguk mengiyakan. Ia akan mencoba menuruti apa yang dikatakan Gibran, meskipun sulit.

"Kamu kok jadi pendiem gini, sih? Biasanya kamu banyak ngomong tau," ucap Gibran membuat Fira meringis. Jujur saja, mendengar kata aku-kamu dari mulut lelaki itu sedikit membuatnya tak nyaman.

"A-aku--"

"Gak usah tegang gitu, kita bersikap kayak dulu aja. Gak perlu pikirin kejadian kemarin," potong lelaki itu.

Fira menghela nafas mencoba mengembalikan suasana seperti sebelumnya, "Oh iya, Rafa gak sekolah?"

"Enggak, izin sehari."

"Kenapa bisa barengan sama Kayla, ya?"

"Kayla gak sekolah?" Tanya balik Gibran.

"Iya, katanya sih Kayla sakit. Makannya nanti malam aku mau jenguk dia. Semoga aja sakitnya gak parah."

"Aku anter."

Fira tersentak, "Eh gak usah, aku bisa sendiri kok."

"Gak baik cewek pergi malam-malam sendirian, lagian aku juga mau ikut jenguk Kayla."

"Oke."

***

"Kenapa sih kamu gak di dalam aja? Disini dingin, udah tau masih sakit tetep aja ngeyel."

Kayla tak menanggapi perkataan Rafa. Ia lebih menyukai angin sore dari pada mengurung diri di kamarnya. Apalagi ia ingin menghirup udara segar di luar.

Rafa menempelkan baju hangat di kedua bahu gadis berambut panjang itu. Sedangkan sang empunya hanya diam memandangi langit sore yang indah diatas balkon kamarnya.

"Jadi kenapa kamu gak ngasih tau aku semuanya? Kenapa kamu nyembunyiin keberadaan Rafael?" Tanya Kayla dengan pandangan yang masih enggan untuk beralih.

"Gak semua kebenaran itu mudah buat dikatakan. Apalagi dengan keadaan Rafael saat itu bikin gue gak tega ngasih tau lo."

Kayla menghela nafas menatap Rafa yang berada di sampingnya, "Harusnya kamu gak sembunyiin hal itu. Kalau aja kamu cerita semuanya, aku pasti punya kesempatan buat ketemu dulu sama Rafael sebelum Tuhan ngambil dia."

"Ini semua bukan keinginan aku, Kay. Aku disini cuman jadi perantara diantara kalian, gue cuman jadi kabel listrik yang menyambungkan kamu sama Rafael. Jadi aku gak punya hak apapun buat ikut campur sama masalah kalian." Rafa menatap Kayla teduh seraya mengukir senyumnya.

Kayla tersenyum miris meratapi semua yang terjadi, "Ternyata penantian aku selama sepuluh tahun ini sama sekali gak membuahkan hasil apapun. Keyakinan yang aku pegang selama ini hancur dalam beberapa detik setelah aku tau semuanya."

Hatinya terasa hancur mengingat seluruh harapannya harus pupus dengan kenyataan yang begitu pahit untuknya. Air matanya menetes jatuh bersamaan dengan gugurnya janji yang Kayla percayai.

"Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, banyak ketidak pastian yang harus aku lawan sepanjang penantian ini. Banyak orang yang mencoba meruntuhkan kepercayaan aku dan menyadarkan aku bahwa cowok itu gak akan pernah kembali. Tapi setelah aku berhasil melewati semuanya, Tuhan gak mau aku ketemu sama orang itu."

Rafa tersenyum miring mendengar perkataan Kayla. Dirinya juga sama menderitanya dengan gadis itu, tapi Rafa tak mau memperlihatkan kelemahannya itu.

"Aku gak bakal ceritain semuanya, tapi dengan buku ini kamu bisa tau apa yang terjadi sama Rafael. Aku sengaja nulis ini supaya disaat kamu udah tau kebenarannya, aku gak perlu ceritain semuanya dari awal lagi."

Rafa memberikan buku diary-nya pada Kayla yang segera diterima olehnya. Buku yang sedikit usang itu kini berada di tangan Kayla, satu persatu halaman mulai dibuka olehnya.

Tulisan tangan Rafa yang begitu rapi menghiasi buku itu. Kayla mulai membaca satu persatu kata dan kalimat yang tertulis disana.

Diary Rafa

***

See you!!

GARIS TAK BERUJUNG ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora