0

966 158 31
                                    

Jingle bells, jingle bells jingle all the way
Oh what fun it is to ride
In a one-horse open sleigh ~

Lantunan lagu natal tidak menyurutkan gerutuan gadis itu. Dia masih saja menggelembungkan pipi, marah-marah tak jelas seperti menghentakkan kaki ke tanah yang dilapisi salju.

Hari ini pembagian rapor, dan dia mendapatkan peringkat tiga terakhir dari 36 siswa. Astaga! Apa yang akan dia katakan pada orangtuanya? Mereka pasti memblokir ATM, menyita ponsel, dan membakar semua novelnya. Ini bencana.

"Aku juga sudah bilang sebelum ujian... Jangan terlalu banyak baca novel. Bebal sih." Temannya mendesah, memperbaiki syalnya yang terjuntai.

"Mau bagaimana lagi? Seru tahu. Andai aku sedikit pintar sepertimu, Rona. Mama dan Papa akan bangga dan membebaskanku bermain."

Tidak seperti dirinya yang bodoh, temannya yang bernama Rona itu rangking satu di kelas. Seperti biasa, dia mempertahankan posisinya.

"Kalau kamu belajar, kamu bakal pintar kok."

"Aku sudah melakukannya! Tapi tidak ada satu pun yang menangkap! Pasti banyak di luar sana yang relate denganku," katanya mencebik sebal.

Tidak mau temannya itu terus-terusan bersusah hati, Rona merangkul bahunya. "Hei, jangan murung begitu dong. Bagaimana kalau besok kita buat pohon natal di rumahku? Ibuku sudah membelikan pohonnya, tapi aku tidak bisa menghiasinya sendirian. Mau kan membantuku? Sekalian kita main perang salju atau masak kue."

"Tapi nilaiku bagaimana? Mama pasti marah dan tidak membiarkanku keluar dari rumah."

"Ayolah, kawan! Ini sepekan sebelum menyambut hari natal, minggu-minggu liburan musim dingin. Ibumu takkan sekejam itu melarangmu bermain. Apalagi kalau cuman sekadar ke rumahku."

"Baiklah. Perang salju, kan? Yang menang traktir seminggu. Tak menerima keluhan!"

Rona melongo. Secepat itu dia buat tantangan dan secepat itu juga dia mengesahkannya tanpa meminta konklusi atau persetujuan dari Rona dulu. Tapi bagus kalau mood-nya membaik.

"Jam 9 pagi. Deal?"

"Jam 8 pagi. Deal!"

Benar kata Rona. Ibunya memang marah sejenak demi melihat nilai rapornya, namun saat minta izin ke rumah Rona, emosi ibunya itu perlahan melunak. Lalu beberapa jam kemudian, beliau pun mengizinkannya pergi ke luar dengan syarat pulang jam 2 siang. Tidak boleh telat.

Jaket sudah. Mantel bulu sudah. Syal sudah. Cemilan sudah beres. Waktunya berangkat.

Sebenarnya ada novel baru yang hendak gadis itu beli, tetapi karena jera, dia memutuskan menahan hasrat supaya tidak membaca novel dulu beberapa hari ke depan. Setidaknya dia ingin menghabiskan waktu di luar selama masa natal daripada mengurung diri di kamar.

Salju turun dalam tempo lamban. Udara dingin dan lebih dingin lagi jika salju menjamah pori-pori. Sebagian warga yang lalu lalang memakai mantel ganda. Tak mau kedinginan.

Setibanya di kediaman Rona, senyumnya terbit melihat boneka salju berdiri di halaman rumah. Dia langsung saja menekan tombol bel.

"Rona! Aku datang nih! Mama menitipkan kue cokelat untuk ibumu!" serunya riang.

Akan tetapi, tidak ada jawaban. Hening.

Alisnya bertemu. Sekali lagi menekan bel, namun empunya rumah tidak menjawab. Apa Rona masih tidur? Ah, tidak mungkin. Dia itu anak yang teratur dan disiplin. Bahkan di sekolah, dia jarang absen kecuali jika sakit.

"Rona? Kamu ada di dalam kan--"

Kriet! Pintu rumah terbuka, menimbulkan suara decit pelan. Eh? Dia tersentak bingung. Tidak dikunci? Apa ada yang keluar membeli sesuatu?

"Permisi..." Gadis itu perlahan masuk.

Hal pertama yang dia lihat adalah pencahayaan di ruang tamu nan gelap, hanya diterangi lampu natal yang mati-hidup, tergantung di dinding. Mau tak mau dia menyalakan senter ponsel.

Apa yang terjadi? Mungkinkah mati lampu? Tapi di luar masih terang benderang kok. Lalu ukh, kenapa suasananya lumayan menakutkan?

"Ah, Rona pasti membuat kejutan untukku nih. Apa pun itu, dia takkan bisa membuatku kaget!"

Tes! Tes! Tes! Merasa menginjak sesuatu, gadis itu pun menatap ke lantai. Terdapat suatu genangan air berwarna merah. Apa itu--dia tersentak menyadari sebuah bayangan besar berdiri tegak di depan sana.

Dengan tangan gemetar dan adrenalin yang terpacu, dia pun mengarahkan cahaya senter ke siluet bayangan itu, refleks membulatkan mata.

Adalah Rona, terpancang kaku di kayu yang dibaluti dekorasi garland, miniatur khas natal, dan ornamen santa. Posisi tubuhnya dibuat seperti bentuk bintang pada mainan bagian paling ujung pohon natal. Lalu seluruh tubuhnya dililit lampu kaca warna-warni yang redup.

Gadis itu terduduk lemas. "RONAAA!!!"

Sebuah gramophone di sebelah pohon natal versi manusia itu menyala sendiri, menyanyikan lagu natal dengan lirik yang berbeda. Menemani teriakan seorang gadis yang menangisi kematian temannya secara mengenaskan.

We wish you a merry Christmas.
We wish you a merry Christmas.
We wish you a merry Christmas.
And a Happy Death Day! ♪

***

Areee?? Baru beberapa hari lalu King selesai, langsung tiba ke cerita Gari??

No, no, no. Ini tuh baru coming soon. Aku takut ide+niatnya ngilang dan langsung aja kutulis. Lagi pula, otakku sudah terkuras membuat King kemarin. Jadi belum bisa berpikir ribet.

/lalu kenapa kau memakai tema 'pembunuhan berantai' kali ini, hmm??/

*buang muka* Mana kutahu! Aku hanya melakukan apa yang instingku katakan! Ia bilang, aku harus memakai tema itu utk Gari.

/jadi kau menulis menggunakan insting?! lalu setelah itu kau menyiksaku habis-habisan!/

Tunggu dulu, Otak-chan! Aku bisa jelaskan!

Dan aku pun dikunci di luar Istana Pikiran.

Fuh, lupakan drama di atas. Entah akan bagaimana Arc ini nantinya, lihat aja lah. Aku pasrah. Sama seperti King yang sering mentok, atau Jeremy, Hellen, Aiden, atau AC, toh pada akhirnya aku menyelesaikannya.








[END] Gari Gariri - Misteri HermesateWhere stories live. Discover now