28

335 129 38
                                    

"Kamu menebak semuanya dengan benar, Watson Dan monster! Tidak hanya itu, kamu berhasil membuatku seperti orang bodoh dan mempermainkan bos. Kamu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Waktunya karma!"

Polly mendorong Jeremy, lantas menarik pelatuk pistol. Ingil dan yang lain terlambat mencegah, itu gerakan yang cepat sekali. Aiden dan Hellen membulatkan mata. Kecuali Watson nan justru tersenyum miring. Lagi-lagi seakan tahu apa yang akan Polly lakukan.

"SETIDAKNYA KAMU HARUS HIDUP SENGSARA KARENA MENGORBANKAN TEMANMU, WATSON!"

Dor! Tembakan yang memekakkan telinga. Asap mengepul dari moncong pistol. Peluru yang ditembakkan tepat mengenai punggung Jeremy.

"JEREMY!" pekik Hellen nanar. "BRENGSEK!"

Polly tertawa tak peduli terhadap Aiden dan Hellen yang geram hendak membunuhnya detik itu juga. "Inilah akibat kamu bermain-main denganku. Kenapa? Kamu marah temanmu tewas di depan matamu? Cepat panggil Inspektur di TKP dan bilang padanya bawahan Santa Maut ada di sini," cemoohnya sengaja benar meniru kalimat Watson beberapa menit lalu.

Masih dengan ketenangan seperti suara danau, Watson menurunkan tasnya, mengeluarkan dua buah walkie-talkie. Meletakkan salah satu benda tersebut ke tanah. "Memangnya..." Dia terkekeh sinis pada Polly. "Siapa yang mati?"

"Huh?" Dua kali Polly dibuat bingung.

Polly menatap ke Jeremy yang masih berdiri dengan kaki ditekuk, tidak jatuh ataupun kesakitan. Bahkan tidak ada darah yang keluar. 

Apa yang terjadi? Padahal sejelas itu Polly menembak punggungnya. Lihat, bajunya bolong kok karena peluru... Tunggu. Polly memicing. Baju hitam apa yang dia kenakan? Terbelalak.

"BEDEBAH BANGSAT! KAMU PAKAI ROMPI--"

Enggan mendengar celotehan tak berfaedah wanita itu, Jeremy memukul tangan Polly yang memegang pistol agar menjatuhkan senjata api tersebut. Kemudian dia mencengkeram lengan Polly dan membantingnya ke depan. Tidak ada kesempatan bagi Polly untuk melindungi diri.

"CEPAT RINGKUS DIA!" perintah Ingil pada Nalan dan Marc yang terbengong-bengong mencerna situasi yang sedang terjadi di depan mereka--Watson hanya menyuruh, bukan berarti menyampaikan semua isi analisisnya.

"LEPASKAN AKU, BRENGSEK! KENAPA KAMU MENGENAKAN ROMPI? AKU YAKIN KAMU TAK PAKAI APA PUN DI HARI-HARI SEBELUMNYA! JANGAN BILANG... WATSON DAN SIALAN! APA KAMU JUGA MEMPREDIKSI TINDAKANKU?! LEPASKAN! AKU AKAN MEMBUNUH ANAK ITU!"

Hellen tergesa-gesa menghampiri Jeremy yang mengeluh akan bajunya nan berlubang. "K-kamu baik-baik saja? Bagaimana punggungmu?"

"Aku tidak baik-baik saja, Hellen. Harga baju ini sangat mahal. Apa yang akan kukatakan pada Mamaku? Beliau pasti mengamuk."

"Yak!" Hellen menggeplak kepala Jeremy, jengkel. Bisa-bisanya di saat seperti ini dia malah mengkhawatirkan kausnya. Apa dia lupa hampir saja bertemu maut? Jeremy ah!

"Aku baik-baik saja, Hellen," jawabnya lebih baik. Ditunjukkannya rompi di badan. "Lihat? Pelurunya hanya menggores kulitku. Rompi ini melindungiku. Aku salut padamu, Watson. Tak kusangka kamu menghadiahiku rompi karena tahu ini akan terjadi... Lho?" Jeremy menoleh ke sekeliling, mengernyit. "Di mana dia?"

"Polly Kanchana."

Aiden, Hellen, dan Jeremy menoleh. Akhirnya Angra bergabung ke TKP bersama... Marconasa Nabendu. Seperti yang dikatakan Watson, dia tidak tewas. Dia hanya dibuat tidur oleh Dextra. Itulah tugas Dextra dari Watson.

"Kenapa... kamu masih hidup? Kamu sudah mati. Harusnya kamu sudah mati oleh Hermesate!"

"Oh, ya?" Nasa tertawa remeh. "Tadinya aku juga berpikir aku akan mati. Aku sudah pasrah kala diikat ke pohon keramat itu--selamat, Hermesate membuatku membenci natal. Tapi, sepertinya belum saatnya aku berpulang. Bantuan dari Tuhan tiba menyelamatkanku. Anak bernama Dextra datang di timing pas ketika Hermesate meninggalkan ruangan."

[END] Gari Gariri - Misteri HermesateWhere stories live. Discover now