6

358 123 11
                                    

Besoknya. Pukul tujuh kurang lima menit.

Aiden hati-hati membuka pintu klub, celingak-celinguk, mengendap masuk ke dalam. Tak lupa dia menggantungkan mantelnya serta melepaskan earmuff (penutup telinga). Di luar sedang badai salju. Udara jadi makin dingin.

Gadis itu melepas rambut pirang sepunggungnya dan mengenakan bando perak dengan hiasan snowflake berwarna biru. Terlihat manis untuknya.

Begitu tangan Aiden terulur mengambil sapu, dia menatap ke depan karena melihat sebuah siluet, refleks menjerit. Dipukulnya pemilik siluet menggunakan sapu yang dia sambar.

"Sakit, Aiden..." Sosok itu meringis.

"D-Dan?!" Gadis itu melongo. Kok ada Watson di klub? Menilik penampilannya, sepertinya Watson menginap semalam. Tapi bukannya dia pulang bersama Jeremy? Aiden ketinggalan apa.

"Si Watson mencemaskan sesuatu," celetuk seseorang tak lain tak bukan Jeremy. Dia tidur di sofa satunya. Menguap lebar. "Makanya dia batal pulang. Aku sih kemalaman, sudah terlanjur. Ikut dia deh menginap di sekolah."

"Lagian, ngapain kamu nyapu nggak nyalain lampu? Kamu punya indra keenam?" Watson mendengus kesal, menunjuk kepalanya yang benjol karena pukulan berdamage dari Aiden. Tuh gadis tenaganya memang tidak bisa dianggap remeh.

Jeremy terkekeh. Untung bukan dia yang kena.

"Memangnya apa yang kamu khawatirkan, Dan?" Lihat gadis landak itu. Watson dan Jeremy langsung mendecih. Seenak udel menukar topik.

Baiklah, lupakan saja. Bukan saatnya untuk memperpanjang masalah konyol.

Si Genius Pemuram itu beranjak duduk, sementara Jeremy pergi mencuci muka. "Aku menemukan sederet angka aneh dari gambar yang kujepret. Tak sia-sia aku memfoto TKP. Angka-angka itu terletak di batang pohon. Nomor 1871."

Kedua alis Aiden seketika bertemu. "1871? Apa ini riddle kode? Tunggu, pelakunya punya motif?"

Itulah yang mengganggu pikiran Watson. Biasanya dalam pembunuhan berantai, motif pelaku cenderung balas dendam atau sekadar senang membunuh dengan kata lain seorang maniak yang memiliki hobi non manusiawi.

Apakah lawan mereka kali ini juga seorang psikopat sama halnya dengan kembaran King? Mengingat peristiwa di Berlin, di rumah Chalawan, membuat mood Watson turun drastis.

1871. Itu bisa menyangkut banyak hal. Nomor apartemen, alamat jalan, halaman buku, tahun, dan sebagainya. Yang mana satu?

"Lagi pula, Watson..." Jeremy keluar dari toilet, mengambil handuk guna mengelap air di wajahnya. "Kamu tak terusik dengan penyebab kematian Kak Rani? Menurutku ada yang aneh. Dia menghilang selama tiga hari... Kenapa pelaku tidak langsung membunuhnya namun mengurungnya ke kotak es, tempat dingin, atau di mana lah. Lantas kenapa harus di jam 10.18?"

Ah! Aiden teringat salah satu jendela terbuka. "Mungkin dugaanmu ada benarnya, Dan. Pelaku masih ada di TKP. Ibu Hellen bilang, tubuh Kak Rani berada di titik terlemah hingga dia tak bisa sekadar bersuara meminta tolong. Jam 10.18, murid-murid masih berkeliaran di depan lab. Pelaku sulit memasuki labor karena banyak saksi mata. Bagaimana jika rupanya kita keliru soal jam kematian Kak Rani? Bagaimana jika aslinya Kak Rani tewas jam 22.18 bukan 10.18? Pelaku memanipulasi jasad! Dia mempermainkan kita!"

Jeremy mengangguk-angguk setuju. "Pelaku ingin kita salah memvonis jam kematian untuk tujuan tertentu, Watson. Makanya dia mengaburkannya dengan membekukan tubuh Kak Rani."

Karena wajah Aiden dan Jeremy terlalu dekat dengan Watson ditambah pandangan mereka berbinar-binar, Sherlock Pemurung itu jadi kikuk. Dia mengalihkan perhatian. "T-tenanglah..."

Tapi, analisis mereka tak sepenuhnya salah. Terus terang, darah yang terlalu sedikit di lantai TKP menyedot perhatian Watson. Apa benar pelaku ingin mereka salah menghitung jam kematian korban? Bagaimana jika ada hal lain...

Brak! Hellen menerjang masuk menyentakkan mereka bertiga. Dia membawa dokumen dengan cap forensik? Apa itu dari NFS?!

"Ada apa?" tanya Watson.

"Kita salah perkiraan tentang jam kematian Kak Rani! Mamaku melanjutkan autopsi tadi pagi karena merasa janggal dan menemukan fakta bahwa ginjal bagian kanan lah duluan ditikam. Waktu kematian yang asli adalah pukul 22.18!"

Selagi Watson memeriksa dokumen tersebut, Aiden dan Jeremy melompat-lompat bahagia. Untuk pertama kali(?) deduksi mereka benar! Mereka harus mengadakan pesta syukuran 7 hari.

Watson selesai membaca, mendesis pelan. Sebenarnya apa ini? Kenapa firasat Watson mengatakan masih ada yang mengganjal?

"Stern, pukul berapa kita pergi ke lab?"

Aiden dan Jeremy berhenti joget-joget tak jelas, berdeham keras. Suasana klub kembali serius.

Jemari Hellen lincah menari di papan keyboard, memeriksa rekaman cctv. Begitu ketemu, dia segera menarik badan. "Jam 22.10..."

DEG! Ketiganya tertegun.

"Tunggu dulu! Itu berarti pelaku menuntaskan pembunuhan Kak Rani 8 menit sebelum kita sampai? Apa maksudnya?!" Aiden berseru kaget.

Watson mengepalkan tangan. Pelaku membekukan tubuh korban untuk menghentikan sebagian kinerja organ, lantas menikam ginjal kanan. Terakhir, dia meneruskan tikaman hingga sampai ke ginjal kiri. Dia tahu 8 menit sudah cukup untuk Rani mengembuskan napas terakhirnya. Pelaku memperhitungkan semuanya dengan cermat dan teliti. Dia bukannya memanipulasi jasad, melainkan menginginkan Rani mati jam 22.18!

Monster macam apa ini? Apa dia pikir dia Tuhan yang bisa mengendalikan kematian? Brengsek!

Tidak ada yang membuka mulut. Ruang klub hening karena perasaan gelisah, takut, khawatir. Sebab lawan mereka lebih dari seorang psikopat. Dia bukan lagi manusia! Dia iblis!

Tiba-tiba Aiden mengangkat tangan.

"Pertanyaan! Kenapa harus di labor komputer? Kenapa harus menjadikan Madoka sebagai lokasi pembunuhan? Pasti ada alasannya."

Watson mengusap-usap kasar wajahnya, mendesah panjang. Bingung hendak apa. Mereka tidak tahu harus apa setelah ini.

"... Bukankah ini sudah jelas kasus yang sama?"

Lamat-lamat, klub detektif Madoka mendengar percakapan serius di luar ruangan. Mereka saling berdempetan, membuka sedikit celah pintu untuk mengintip lebih tepatnya menguping. Ternyata itu Angra bersama Komisaris Raum.

"Ketika kondisi kematian cocok dengan kasus yang terpisah, maka disimpulkan siswi ini korban dari pelaku yang sama. Si santa pembunuh itu."

"Jangan mempersulit keadaan, Angra. Apa kamu tidak lihat daun garlan yang ada di TKP berbeda dengan warna yang biasa digunakan oleh Santa Claus D-Day? Segera tutup kasus ini! Sekarang sedang masa-masa promosi. Apa kamu tidak ingin naik pangkat? Tutup matamu dan jangan biarkan reporter atau pihak luar mengetahuinya."

"Tapi, Pak, perwira tinggi sudah meletak perhatian pada kasus Pembunuhan Santa. Mereka bahkan membuat satgas nasional dadakan. Bagaimana jika informasi ini bocor atau mungkin sudah didengar oleh seseorang karena sekelompok remaja labil," kata Angra tajam, menatap datar Watson dan yang lain. Waduh! Mereka kepergok.

"Aku tidak mau dengar apa pun. Pokoknya segera tutup dan selesaikan. Lalu bungkam anak-anak detektif nakal itu agar mereka tidak berulah."

Aiden langsung mengunci pintu ketika Raum menoleh ke arah klub.

"Cih! Apa-apaan mereka? Sejelas itu Kak Rani dibunuh oleh pembunuh sama, kenapa dia malah santai menyuruh Angra menutup kasus?"

Watson mengelus dagu. Daripada mengomentari tindakan Raum, detektif muram itu lebih tertarik pada kalimatnya. Warna daun garlan pada pohon berbeda? Lalu, warna apa yang pelaku gunakan untuk membunuh orang-orang di Desa Stupido?

"Dan, haruskah kita minta tolong para Gari? Dia penduduk dari Stupido. Dia pasti tahu betul apa yang terjadi di sana. Kalau terus begini, kita dan para polisi akan mentok! Pelaku masih berkeliaran di luar sana. Bisa jadi akan jatuh korban lagi."

Gari Gariri, heh? Baiklah. Watson mengangguk.























[END] Gari Gariri - Misteri HermesateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang