6. Khawatir

59 28 10
                                    

       "Zal, gawat Zal gawat!!!" seru Alfin menghampiri dengan napas yang terengah-engah. Rizal yang tengah santai memainkan gamenya hanya menoleh sekilas.

"Apaan?" tanyanya tanpa ekspresi. Alfin meneguk minumnya sejenak dan menghela napas.

"Si Rudi! Nyerang markas Batrex," jawab Alfin kelewat ngegas membuat Rizal refleksi berdiri dan menatapnya penuh tanya.

"Buruan elah kasihan anggota lo anjir!"

"Tau dari mana lo?"

"Anggi gak ngabarin lo? Cepet sana!"

"Reza ke mana?"

"Bucin sama rentenir."

"Shitt," Rizal segera meraih kunci motornya dan segera menaiki motor meninggalkan base camp Nature Squad. Ia segera memacu dengan kecepatan tinggi, ingin segera sampai di markasnya.

"Rudi sialan, gue hajar lo!" gumamnya dengan kesal dan segera menghentikan motornya melihat keadaan yang kacau membuat Rizal marah. Jendela Markas sudah hancur kaca berserakan di mana-mana.

Beberapa tetes darah di lantai dan dinding. Anggota Rudi membawa senjata pukul, dapat Rizal lihat beberapa anggotanya kabur karena terluka tak sempat menyelamatkan Markas. Rizal sungguh geram dan melihat sekeliling. Tampak Rudi dan dua temannya berjalan menjauh segera saja ia menyusul mereka, dan menerjang punggung Rudi dengan kakinya membuat Rudi tersungkur ke rumput

"Sialan!" ucap Rudi dengan tajam menatap Rizal yang kini tengah menakis serangan dari dua temannya itu.

Beberapa menit kedua temannya sudah di buat babak belur. Ia menatap Rudi dengan tajam. Si rambut landak itu tampak tersulut emosi dan menghajar Rizal dengan brutal, Rizal pun tak ingin kalah dan membalasnya.

Keduanya terjadi aksi pembelaan. Saling mengirimkan bogeman dan tendangan keduanya sangat kuat, luka-luka sudah didapati di wajah masing-masing. Rizal muak dan mengahajarnya habis-habisan, tak ada ampun lagi untuk Rudi yang terus memancingnya hingga Rudi terjatuh dan tak berdaya. Rizal menarik kerahnya dan meninju kembali pipi lebam itu.

"Suruh anggota lo berhenti, Bangsat! Jangan ngerusuh ditempat gue!" ucap Rizal dengan tajam dan mendorong Rudi ke tanah, lalu ia menyeret kakinya untuk mengikuti dirinya menuju Markas. Rudi tampak memberontak, tapi seluruh badannya terasa sakit. Saat ini Rizal sudah tampak seperti seorang psikopat yang telah membunuh dan menyeretnya dengan santai tanpa peduli orang diseret kesakitan.

"Lepasin gue, Setan!" seru Rudi dengan kesal, tapi Rizal tak mendengarkannya. Ia tetap menyeret kaki Rudi hingga sampai di depan Markas yang sudah kacau, kemudian menghempaskan kaki Rudi dengan kasar.

"Suruh mereka berhenti atau lo gue habisin di depan anggota lo kalau ketuanya lemah!" Rudi mendegus dan memaksakan berdiri dengan tubuh yang kotor dan luka tinjuan dari Rizal.

"Berhenti-berhenti, woy, Bangsat!!" teriak Rudi dengan susah payah membuat mereka terdiam dan menoleh. Terkejut saat melihat ketuanya tak berdaya mereka segera menghampiri Rudi.

"Lo gak papa, Di?" tanya salah satunya merasa khawatir.

"Udah cukup. Ayo, cabut!" jawab Rudi dan diangguki semuanya. Mereka segera membopong Rudi keluar dari kawasan Batrex. Rizal mendengus menatap markas yang hancur darah di mana-mana tampak kotor dan tak berwujud bersih lagi.

"Ada yang luka parah?" tanya Rizal dengan napas yang masih tersenggal menatap Anggi yang juga sama capeknya menghampiri Rizal.

"Marta...tulang tangannya..." jawab Anggi tak bisa melanjutkan karena terlalu marah dan sedih. Rizal menepuk bahunya dan segera menghampiri anggotanya yang terluka. Ia mengambil kotak P3K dan mengobati mereka yang terluka parah beberapa orang yang cedera ringan ikut membantu.

Beberapa di antaranya mengaduh dan berteriak karena sakit dan perih. Namun, Rizal dengan kuat melilit lukanya dengan perban.

"Wajah lo juga perlu diobati," kata Marta yang sudah merasa baikan karena lengannya sudah terobati oleh Rizal.

"Gue gak papa. Sorry karena gue datengnya lama," ucap Rizal tak sanggup menatap wajah anggotanya yang kesakitan.

"Bukan salah lo," kata Jian membenarkan diangguki yang lainnya.

"Lo nyelamatin kita!" seru Samsul dengan terkekeh dalam sakit.

"Gue harap kejadian ini gak ke ulang. Gue harus ngomong apaan kalau ortu kalian semua tanya?" ucap Rizal sembari membereskan kotak P3K.

"Santai aja. Kita datang ke sini karena keinginan masing-masing, soal ortu tangani masing-masing gak ada sangkut pautnya sama lo," kata Marta diangguki yang lainnya setuju.

"Kalian masuk aja istirahat biar gue yang beresin," seru Rizal akhirnya membuat mereka menatap tak percaya.

"Bukannya lo paling males kalau bersih-bersih?" tanya Anggi membuat Rizal memutar bola mata.

"Sana masuk, sebelum gue berubah pikiran," jawab Rizal membuat semuanya mengangguk dan tersenyum, lalu memasuki Markas diikuti Anggi. Rizal mendengus dan mengambil tempat sampah membereskan kekacauan.

****

Rizal menepikan motornya saat melihat Fabia tengah berdiri di pinggir jalan dengan wajah khawatir. Gadis itu langsung menghampirinya saat ia berada di depannya.

"Kok kamu di sini?" tanya Rizal dengan terkejut dan heran tak biasanya gadis itu datang tiba-tiba tanpa memberitahunya.

"Muka kamu kenapa? Abis berantem ya?" tanya balik Fabia dengan khawatir. Ia menyentuh rahanya dan melihat bolak-balik.

"Apa sih? Biasa aja kali," jawab Rizal menjauhkan wajahnya Fabia menghela napas berat.

"Aku obatin, ayo!" kata Fabia dan memasuki pekarangan rumah Rizal terlebih dahulu. Rizal menggeleng dan memarkirkan motornya. Ia lalu turun dan masuk diikuti Fabia yang setia membuntutinya, di dalam rumah tampak sepi tak ada siapa pun manusia di dalamnya selain mereka berdua.

"Pada ke mana? Kok sepi?" tanya Fabia celingukan Rizal tak menjawab. Ia duduk di sofa dan menyerahkan kotak P3Knya, Fabia ikut duduk dan mulai membuka kotak P3K, lalu mengobati luka di wajah Rizal.

"Sakit gak? Pasti sakit," kata Fabia dengan nada sedih sementara Rizal hanya tersenyum kecil mendengarnya bertanya dan menjawab sendiri.

"Jangan berantem lagi, aku tau kamu jago, tapi gak gitu juga," seru Fabia masih dengan telaten mengobatinya.

"Kamu nangis?" tanya Rizal memajukan wajahnya mendekati wajah Fabia yang menunduk.

"Enggak kok," jawab Fabia tersenyum kecil membuat Rizal menahan tawanya dan terus menatap wajah itu.

"Apaan? Sana ih malu," kata Fabia mendorong Rizal menjauh. Rizal terkekeh dan menariknya ke dalam dekapan.

"Aku udah bilang, aku gak papa selama ada kamu. Inget ‘kan?" tanyanya dengan senyum yang tak pernah ia tunjukan pada siapa pun selain pada gadis ini. Fabia mengangguk mengingatnya, ia mengelus kepalanya dan mengecupnya sebentar membuat Fabia tak keruan ingin berteriak karena bahagia bisa terus berada di samping cowok itu. Rizal melepaskan pelukannya dan tersenyum.

"Ke sini sama siapa?" tanya Rizal mengalihkan pembicaraan.

"Sendiri, Reza bilang kamu lagi berantem jadi aku dateng aja."

"Alasan apaan sih? Gak usah ke sini kalau gak sama aku."

"Kenapa?"

"Banyak geng motor."

"Yang aku mau temui juga anak geng motor ketuanya lagi" Rizal menghela napas dan mengambil alih kapas di tangan Fabia. Ia mengambil ponselnya dan digunakan sebagai cermin.

⁝⁞⁝⁝⁞⁝⁝⁞⁝⁝⁞⁝


Next...

Kulkas Aktif《Completed》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang