4

241 46 1
                                    

Mama sengaja masuk ke kamar saat Ralia bilang mau pergi bersama Harris. Hesta sudah pulang 20 menit yang lalu, laki-laki itu datang hanya untuk mengantar makanan buatan ibunya untuk mama Ralia. Sudah biasa dua keluarga itu berbagi rezeki lebih.

"Bang, aku pergi dulu, ya?" Akhirnya Ralia pamit pada sang kakak tertua yang sedang duduk di ruang tengah, mengemil kue coklat buatan mama kemarin.

Jeffrey melihat adiknya. "Mau ke mana? Pamit ke Mama aja sana," kata Jeffrey menaruh toples kue dan berdiri mengikuti  Ralia yang hendak pergi ke kamar mama. "Kamu sama Mama lagi dieman?"

Ralia tidak mau menjawab, karena kalau Ralia bilang ia sedang perang dingin, Jeffrey akan bertanya alasannya. Ralia tidak mau memberitahu Jeffrey soal ojek online yang membuat mama jadi bungkam seperti sekarang.

Gadis itu tiba-tiba berhenti didepan pintu kamar mama. "Bang," panggil Ralia.

"Ada masalah apa sih?" tanya Jeffrey penasaran, padahal biasanya mama dan Ralia itu seperti sohib seumuran. Dekat sekali.

"Pokoknya aku pergi ya sama Harris? Nanti kalau Mama nanya, Abang aja yang jawab."

"Terus kalau Mama nggak suka? Kamu disuruh pulang, gimana?" Jeffrey mengarahkan tangannya ke arah knop pintu. Tapi ditahan oleh Ralia lebih dulu. "Belum lagi nanti Papa ngomelin kamu. Males ah, meja makan hening karena saling ambekkan." Jeffrey menggelengkan kepalanya.

"Ish Abang!" Ralia menarik tangan Jeffrey untuk pergi dari depan kamar mama. "Bantuin dulu dong Adeknya ih!"

"Males. Orang kamu nggak ngasih tau masalahnya apa."

"Iya nanti pulang sama Harris aku ceritain, sekarang bantuin dulu."

Sebenarnya Jeffrey ingin menolak. Namun wajah memohon Ralia membuatnya tidak tega. "Awas kalau pulangnya kemaleman ya. Abang sidang pacar kamu," ancam Jeffrey akhirnya, kembali ke ruang tengah.

Ralia menarik nafas lega lalu keluar dari pintu depan. Menunggu Harris datang.

***

Sudah lebih dari satu jam Ralia duduk di teras menunggu kedatangan Harris. Berkali-kali gadis itu mengirim pesan dan menelepon ke nomor Harris. Sama sekali tidak ada balasan. Ralia sudah mengira kalau Harris membatalkan janjinya, jadi ia memilih kembali ke dalam rumah.

"Lah?" Jeffrey terkejut, ia kira Ralia sudah pergi sedari tadi. "Heh kamu nggak jadi jalan-jalan?"

Rali tidak menggubris, ia sibuk menetralkan rasa kecewa yang hatinya dapat kali ini.

"Ralia, kenapa sih?" Jeffrey mengejar, memastikan adik perempuannya dalam kondisi baik-baik saja. "Berantem sama Harris apa gimana? Sini cerita jangan diem gitu. Apa Abang suruh Hesta ke sini biar kamu cerita sama dia?"

Gelengan kecil Ralia berikan untuk menolak kebaikan Jeffrey. "Aku tiba-tiba nggak enak badan makanya batalin janji sama Harris. Hesta lagi pdkt-an ah, jangan gangguin dia mulu."

"Serius kamu nggak enak badan? Perasaan tadi sehat-sehat aja." Jeffrey tidak ingin percaya begitu mudahnya. "Kamu sama Harris itu kenapa sih? Berantem? Cerita sama Abang, jangan dipendem, nggak baik," celoteh Jeffrey masih mengikuti Ralia, bahkan ke dalam kamar.

"Abang!" Agak risih saat Jeffrey terus menerus menanyai sesuatu yang enggan ia jawab. "Keluar sana...aku mau bobo."

Jeffrey terdiam, yakin seribu persen kalau Harris pasti mengecewakan adiknya. Karena kalau tidak, mana mungkin segelap itu aura wajah yang biasa cerah dan ceria.

Harris, dua kali dalam sehari kamu mengecewakan gadis yang masih tulus menyayangi kamu.

"Jahat banget sih, Harris..." Ralia tidak menangis, ia hanya mengasihani dirinya yang entah kapan bisa beranjak dari lubang yang dinamakan kekecewaan. "Kalau akhirnya kamu bakal memperlakukan aku kayak gini, dari awal kamu jangan pernah mengajak aku mengukir kenangan."

"Aku yang kesulitan buat pergi sekarang. Kamu mah enak aja, cewek tinggal dipilih," lanjut Ralia sebelum akhirnya tertidur untuk meringankan beban perasaannya.

***

Langkah lemasnya mencuri perhatian beberapa teman yang kebetulan juga baru sampai di halaman sekolah. Ada Julio, Randu dan Felix. Berjalan dibelakang Ralia memperhatikan gadis ceria yang tumben-tumbenan tampak lemas hari ini.

Sejak dari gerbang tadi, Ralia kebanyakan menunduk.

"Kenapa lagi tuh," celetuk Felix melihat ke arah parkiran. Di sana ada Harris yang baru saja datang dan buru-buru berlari menghampiri Ralia.

Ketiga laki-laki itu mendengar Harris berteriak memanggil Ralia, tapi Ralia seolah tuli dan tidak peduli.

"Ra! Ralia!"

Julio memberhentikan Randu dan Felix saat didepan sana Harris dan Ralia pun berhenti jalan. Mereka ingin tahu apakah Ralia kali ini akan tetap diam saja atau sebaliknya, melayangkan protes atas banyaknya hubungan yang diam-diam Harris jalani dibelakang Ralia.

"Berhenti dulu," tahan Harris.

Ralia pun akhirnya berhenti, pandangannya tidak ke arah mata Harris. Ia tidak mau melihat mata laki-laki itu untuk saat ini.

"Jangan marah..." lirih Harris membuat Ralia memejamkan matanya seketika.

Ralia merasa lelah, ia kira dengan tidur maka beban kekecewaannya akan menjadi lebih ringan sedikit. Tapi, rupanya tidak. Masih utuh dan tak berkurang secuil pun.

"Kamu bilang jangan marah?" Ralia meminta Harris melepas tangannya. "Kamu mikir dong..." Ralia melipat bibirnya ke dalam.

Dari jauh, Randu bisa tahu kalau bibir itu tampak bergetar. Sama seperti yang terakhir kali Randu lihat di warung pinggir jalan. "Ditahan lagi sama dia," gumam Randu.

Ralia menarik nafas dan membuangnya dalam hitungan beberapa detik. "Udahlah aku males bahas yang gini-gini mulu, capek. Sana ke kelas aja, nggak usah tahan-tahan aku."

Setidaknya Ralia hanya butuh dikabari kalau memang Harris tidak bisa memenuhi janji. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengirimi pesan satu pun, bahkan melewatkan semua panggilan yang Ralia lakukan.

Tapi Harris tidak menurut, ia menarik Ralia untuk berdiri lebih dekat dengannya. "Dengerin penjelasan aku dulu, Ra."

"Yaudah apa? Apa lagi?! Kak Erina lagi? Atau Bunda kamu lagi? Basi Harris, basi!" teriak Ralia tiba-tiba membuat Harris dan beberapa orang di sekitar menoleh terkejut. "Muak aku dengernya! Udah kamu nggak perlu jelasin apa-apa. Biarin aja aku kayak gini, nanti juga sembuh sendiri suasana hati aku."

"Ralia, maaf. Kamu semarah ini, aku minta maaf. Aku nggak mau acuh gitu aja, jelas ini salah aku karena nggak nepatin janji, lagi." Harris pun tidak tahu harus mengelak dengan alasan apa, tampaknya Ralia sama sekali tidak mau mendengarnya. "Harus apa aku supaya kamu nggak marah?"

"Kata siapa aku marah, hah? Jangan sok tau makanya. Udah, aku mau ke kelas," kata Ralia dengan nafasnya yang memburu tidak menentu. Lalu ia berjalan cepat ke arah kelas meninggalkan Harris tanpa melihat wajah bimbang laki-laki itu.

"Asli, Ralia nggak minta putus juga," cetus Felix tidak percaya.

"Cewek tuh hatinya terbuat dari apa sih?" tambah Julio tidak habis pikir. Padahal bukan baru sekali terjadi cekcok seperti yang baru ia lihat barusan.

Randu memilih diam, ia ingin menjadi seseorang yang menyaksikan bagaimana hubungan Ralia dan Harris akan berakhir. Daripada ikut mengutuk tingkah teman baiknya, lebih baik Randu menunggu sampai waktu itu tiba.

Waktu di mana Ralia akhirnya bisa beranjak.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Where stories live. Discover now