Disuruh berhenti

210 45 0
                                    

Randu sudah sering melihat ekspresi muram Ralia belakangan ini, dan di pagi hari yang cerah saat Randu baru memijakkan kaki di lantai dingin ruang kelas mereka, ia mendapati Ralia menjadikan tas sebagai bantal kepala. Punggung gadis itu bergetar, sesekali terdengar tarikan nafas dengan bunyi-bunyi tarikan ingus.

Randu tahu Ralia sedang menangis. Mata jernihnya mengecek jam di pergelengan tangan kiri, masih ada 20 menit lagi sebelum bel berbunyi. Alih-alih menyapa, Randu segera saja duduk di sebelah gadis itu.

Setelah cukup puas menangisi hari buruk, Ralia mengangkat pandangan dan terkejut saat sadar bukan Hesta yang duduk di sebelah, melainkan Randu yang sedang membaca sesuatu di layar ponselnya.

"E-eh Ran, gue kira Hesta," cicitnya malu, cepat-cepat ia membersihkan wajah dari air mata yang menganggu.

Randu mematikan layar ponsel dan sedikit menggeser duduk untuk berhadapan dengan Ralia. "Jevan, Julio, Hesta sama Felix belum dateng...kalo masih mau dilanjut, lanjut aja," kata Randu. "Nanti kalo pun mereka dateng, gue suruh diem deh."

Mendengar ucapannya, Ralia mengulas senyum tipis. Sudah berusaha menghilangkan air mata, nyatanya memang hatinya masih ingin menangisi hari buruk ini.

Tadi pagi, Jeffrey kembali mengingatkan kalau ia harus segera putus dari Harris. Jeffrey tidak ingin mendengar pembelaan macam apapun dari Ralia, yang terpenting adiknya harus segera meninggalkan orang yang tidak setia seperti Harris sebelum Jeffrey sendiri yang akhirnya ikut campur.

Ralia kira...Jeffrey akan memakluminya seperti papa atau mama setelah mengetahui fakta bahwa Harris berlaku curang pada perasaannya. Tapi ternyata Jeffrey jauh lebih keras kepala dari yang biasanya ia lakukan.

"Ran," panggil Ralia pelan, air mata terus mengalir membasahi pipi putihnya.

Randu memusatkan perhatian. "Iya, Ralia?"

"Keluarga gue udah tau kalo Harris-"

Randu tahu ini pasti hari yang sangat berat untuk Ralia. Selama ini mungkin Ralia bisa bersikap biasa-biasa saja di antara teman-temannya, tapi jika sudah menyangkut keluarga, pasti cerita tersebut akan berbeda.

"Nggak harus ditahan terus kalo emang udah nggak bisa, Ra."

"Gue masih sayang sama Harris, Ran..."

"Rasa sayang sama orang nggak harus selalu bikin diri ngerasa sakit, Ralia. Kita masih muda, masa harus patah hati di orang yang sama terus? Kedepannya, banyak banget hal yang bisa lo dapetin, banyak pengalaman yang bisa kita cobain. Harri-"

"Lo bener, omongan lo emang bener." Ralia mengangguk dalam tangisnya, membuat beberapa tetes jatuh begitu saja dan mengenai rok sekolahnya. "Mungkin udah saatnya gue lepasin Harris sama pilihannya, ya? Selama ini bisa aja Harris nunggu gue yang mutusin dia."

Randu tidak ingin menyetujui ini karena bagaimanapun Harris juga teman baiknya. Tapi melihat Ralia yang selama ini menahan perasaannya sendiri membuat Randu mau tidak mau mendukung gadis itu.

"Iya. Lo bisa omongin semuanya sama dia setelah ini," papar Randu memberi tepukan-tepukan ringan di bahu Ralia. Sesekali Randu mengusap lembut bahu tersebut tanpa peduli bahwa mungkin saja sikapnya membuat Ralia tidak nyaman.

Ia hanya berusaha menjadi seorang teman yang baik. Memberi dukungan dan kata-kata semangat. Sebab dulu di ceritanya sendiri, Randu tidak memiliki siapapun untuk ia jadikan tempat mengaduh kisah. Kini biarlah Randu menjadi tempat 'itu' bagi Ralia.

"Kalo lo nggak bisa lepasin dia, minimal minta dia berubah," tandas Randu setelah lama membiarkan keadaan menjadi diam di antara mereka. "Kalo dia juga nggak bisa berubah. Lo tau harus ngapain, kan?" Lalu Randu teringat sesuatu. "Di sekitar lo banyak gue liat orang-orang yang peduli dan beneran sayang sama lo tanpa lo perlu ngemis ke mereka. Jadi...jangan kecewain orang-orang itu cuma karena perasaan yang dikorbanin buat Harris. Oke?"

Forbidden relationship (00-01line)✔️Où les histoires vivent. Découvrez maintenant