31

223 47 5
                                    

"Harris!"

Lengkingan suara Shira mengejutkan Harris yang baru tersadar dari lamunannya. Segera Harris melihat sang kekasih yang duduk di boncengan belakang dengan memutar sedikit tubuh besarnya.

"Kamu nggak perlu sampe teriak gitu Shiraaa," kata Harris gemas.

"Abisnya kamu empat kali aku panggil suruh jalan bukannya jalan malah diem aja!" Shira tidak menyembunyikan ekspresi kesalnya. "Kamu kenapa sih? Ada masalah?"

"Enggak kok," jawab Harris seraya menggeleng pelan. "Agak nggak fokus doang."

Shira membuang nafas. "Yaudah ayo jalan sekarang, panas nih mataharinya." Shira mendongakkan kepala menatap langit cerah dengan matahari yang cukup terik. Ketika Harris mulai menghidupkan mesin, Shira langsung menatap jalanan yang terbentang lengah.

"Ris," panggil Shira menepuk pelan punggung Harris yang belum juga melajukan motor untuk segera bergabung bersama pengendara lain di jalan raya. "Ada apa lagi?" Melihat kejanggalan, Shira segera menoleh dan mengikuti ke arah mana tatapan Harris tertuju.

Sebuah mobil hitam terpakir di supermarket besar. Dari masing-masing pintu, keluar beberapa orang yang sangat Shira kenali. Salah satunya ada Jevan, disusul Ralia, Jerico, Hesta, Helena, Meisha dan Saira.

Jevan tampak membicarakan sesuatu di sebelah Ralia, dari tempatnya Shira bisa melihat kalau Ralia sedikit geli dengan apa yang baru Jevan katakan.

Pemandangan normal yang entah kenapa masih begitu mampu melukai perasaannya. Dan Shira tidak sendiri sebab Harris, dengan luka yang sama sedang menatap iri pada Jevan yang tengah menikmati tawa renyah Ralia.

Dulu Harris bisa mendapatkan tawa terbaik yang Ralia miliki. Kini, posisi tersebut sudah terganti.

"So, that girl is Ralia?" tanya Shira entah pada siapa.

Harris berdeham canggung. "Kita pulang sekarang."

Sebab, Harris sedang tidak bisa menghibur siapa-siapa. Mengetahui gadis di belakangnya tengah terluka, Harris tidak mau dan tidak ingin melakukan apapun untuk meringankan lukanya. Sebab ia merasakan yang sama.

***

Helena tersenyum kecil tatkala matanya melihat Jevan berusaha untuk terus berada di sebelah Ralia. Mulai dari tempat menunggu hingga kini mereka semua berjalan masuk ke dalam pesawat.

"Dek, tasnya dipegang baik-baik," peringat mama sambil melihat kedekatan antar anak perempuannya bersama anak laki-laki mantan pacar pertamanya. "Jevan, kamu duduknya sama Jerico, kan?"

"Enggak Tante, Jevan sama Ralia, udah tukeran sama Jerico tadi," jawab Jevan.

"Ralia nggak di sebelah Helena?" Mama melihat anak perempuannya yang hanya diam.

"Sahara, sini." Belum lagi mama mendapati jawaban sang anak, suaminya terlebih dahulu memanggil.

"Yaudah kalau gitu kalian duduk sebelahan deh terserah, yang penting tasnya dijaga baik-baik, oke?" peringat Sahara sekali lagi.

Jevan mengangguk semangat, sementara Ralia menatap kepergian mama.

"Gue tukang tidur," cetus Ralia.

"Terusss?"

"Kalo mau ngobrol gue nggak bisa, di pesawat kerjaan gue cuma tidur."

"Gue tinggal ikut tidur aja, gampang."

Setelahnya, tidak ada lagi jawaban dari Ralia karena gadis tersebut memang sedikit berbeda bila tahu bahwa dirinya akan melakukan penerbangan dengan pesawat. Ia banyak diam, berpikir dan tampak tidak bersemangat. Ralia akan kembali normal jika sudah tiba di tempat tujuan. Kebiasaan aneh yang sudah dianggap biasa oleh orang-orang terdekat. Bagi Jevan yang baru pertama kali terbang di pesawat yang sama, tentu ia berusaha untuk memahami gadis itu.

Keduanya duduk bersebelahan dengan barisan kursi untuk lima orang. Ralia berada dibagian paling dalam, sebelah kanannya adalah Jevan, di sebelah Jevan ada Hesta, Saira lalu di paling pinggir adalah tempat Helena.

Hesta tersenyum sejak tiba di bandara karena untuk pertama kali, ia berlibur bersama kekasihnya. "Gue nggak nyangka akhirnya bisa juga liburan sama Ayanggg!" bisik Hesta yang didengar oleh setiap telinga dalam satu barisan tersebut. "Gue kira, liburan sama Ayang tuh bisa gue lakuin nanti pas kuliah. Eh nggak taunya Ayang gue yang ini ortunya asik bener dan main kasih izin gitu aja pas tau anaknya diajak liburan bareng ke Bali!"

"Iye-iye, gue tau lo seneng mampus," kata Helena menanggapi setengah jengah.

Saira tertawa, ia memeluk lengan Helena. "Makasih ke Helena juga karena dia yang bantu izin ke Mama gue."

Hesta mengangguk patuh. "Makasih Nanakuuuuu!" kata Hesta dengan nada dibuat-buat.

Helena memutar kedua bola matanya malas. "Perasaan gue mulu dah yang jadi saksi perasaan temen-temen gue...kapan ya gue bisa ajak pasangan buat liburan bareng juga?"

"Tinggal ajak aja Mark nya, lo sih nggak tanggap," celetuk Jevan yang mendapat lirikan dari Ralia. Entah untuk alasan apa, Jevan menjelaskan, "Helena nge-crushin Mark dari kelas 10," papar Jevan sambil tertawa kecil.

Helena tidak menyangkal, yang mana membuat Ralia langsung percaya.

"Pantes aja betah banget di ekskul itu." Ralia ingin ikut tertawa, tetapi suasana hatinya belum membaik.

Jevan melihat wajahnya dari samping. "Akhirnya gue tau fakta baru lagi tentang lo."

"Apaan?" Ralia menaikkan sebelah alis.

"Ini." Jevan menunjuk udara. "Dari masuk gate, lo udah beda."

"Iya emang gitu Ralia mah. Dia jadi kayak orang lain, kan? Cemberut, diem, loyo. Padahal nanti pas udah nyampe, beuhhhhh semangatnya ngalahin suporter bola!" Hesta bercerita dengan senang. Sesekali ia memajukan tubuh agar dapat melihat wajah masam Ralia.

Sedangkan Ralia hanya mengulas senyum tipis untuk memberi tanggapan.

"Jev," panggilnya pelan.

Jevan mendekatkan telinga. "Hm?"

"Pas take off-"

"Biasanya dia kalo take off pasti nangis dikit, lo nggak usah panik, dia nggak kenapa-kenapa." Hesta melanjutkan ucapan Ralia yang sengaja ia potong.

Saira menoleh pada Helena. "Beneran kayak gitu? Ralia punya trauma?" tanyanya.

"Nggak. Emang dari dulu udah begitu kok, tenang aja dia aman," jawab Helena tersenyum tipis mengingat kebiasaan temannya satu itu.

Hesta mengangguk untuk menyakinkan pacarnya. "Dari umur kita 6 tahun, kebiasaannya emang nggak pernah ilang. Tiap tau bakal naik pesawat, pasti jadi nggak semangat, tapi setelah landing, percaya deh dia balik lagi ke aslinya." Saira hanya mengangguk paham.

Mendengar semua perkataan Hesta, Jevan menaruh sebelah tangannya ke batas tempat duduk. "Pas take off, lo boleh taruh tangan lo disini," katanya lembut sembari menunjuk tangan dengan dagu. "Tapi kalo bisa dari take off sampe landing juga nggakpapa." Jevan menyengir lebar.

"Dih." Ralia tidak dapat menahan rasa geli akibat tingkah-tingkah Jevan ini. "Itu mah kesempatan buat lo."

"Kalo lo mau, gue nggak nolak loh?"

"Jevannn, udah diem!" Ralia dengan heboh menaruh tangannya di atas tangan Jevan. Dalam sepersekian detik, genggaman Jevan langsung teras erat dan lembut bersamaan.

Membuat Ralia merasa tenang sekaligus aman dalam genggaman yang Jevan balut dengan penuh perasaan. Ah omong-omong, di antara mereka belum ada peresmian apapun. Ralia masih ingin menikmati momen tanpa harus ada embel-embel pacaran di atasnya.

Sementara Jevan, sejak awal memang tidak peduli pada status yang seharusnya ia dapatkan.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang