13

206 41 4
                                    

Ralia selalu senang setiap kali liburan keluarga rekan kerja diadakan. Entah setahun sekali, dua kali maupun tiga kali, Ralia selalu senang menyambutnya. Ia adalah anak yang suka ke mana-mana dan bersenang-senang, dalam artian positif. Ia suka berada ditengah orang-orang baik yang perhatian dengannya, mungkin karena sejak kecil Ralia hanya tahu apa yang dinamakan perhatian, disayangi dan dipedulikan.

Maka, ketika tahu bahwa Harris bermain dibelakangnya. Alih-alih marah sampai meronta bahkan sampai memutuskan hubungan, Ralia lebih mengarah kepenasaran.

Penasaran kenapa Harris tidak menyayanginya lagi.

Kenapa Harris masih peduli meski sudah melakukan berulang kali yang namanya kecurangan..

Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Harris saat melakukan itu namun masih saja memberi perhatian walau agak berkurang pada Ralia.

Mungkin karena ini adalah hubungan pertama Ralia, ia jadi tidak terlalu pintar mengatur perasaannya. Kalau sayang, jadi benar-benar. Dan kalau sedih, secepatnya ia lupakan. Karena tekanan satu-satunya yang pernah ia dapatkan, hanyalah fakta kalau ia bukan lagi satu-satunya yang bisa membuat Harris senang.

Buktinya, Harris menemukan gadis baru. Gadis yang mungkin lebih menarik, lebih baik, lebih asik dan lebih bisa membuat Harris sayang.

Ralia selalu berlaku tidak apa-apa meski baru melihat Harris jalan-jalan dengan perempuan lain. Karena faktanya ia memang tidak terlalu terluka, ia hanya sedikit sedih namun masih bisa dihilangkan. Dirinya juga tidak mengerti kenapa bisa setenang itu menghadapi perbuatan Harris.

Padahal ada teman Meisha, baru diselingkuhi pacarnya juga. Dan teman Meisha terlihat sangat menakutkan. Ia marah-marah pada selingkuhan pacarnya kemudian menampar pipi pacarnya sampai merah.

Ralia bertanya-tanya kenapa ia tidak ingin melakukan hal yang sama padahal ia bisa.

Ia tidak ingin ditinggalkan atau memang ia pun sudah tidak terlalu mengalami patah hati?

"Ah nggak ngerti!" teriak Ralia tiba-tiba. Membuat papa yang sedang menyetir mobil agak tersentak karena suaranya. "Eh maaf, Pa. Kelepasan."

Mama dan Jeffrey sudah tertidur pulas, tidak lagi terkejut dengan teriakan Ralia.

"Lagi mikir apa sih, Dek? Papa perhatiin kamu daritadi kayak punya masalah," cetus papa tertawa pelan. "Untung Papa fokus nyetir."

"Iya, Pa, maaf," cicit Ralia tidak enak.

"Iya, Nak." Papa melirik Ralia yang duduk di jok belakang dengan kepala Jeffrey di pahanya. Persaudaraan yang terbalik kalau kata papa. "Kamu udah tau kan kalau anggota kita bertambah lagi tahun ini."

"Maksudnya rekan kerja di divisi Papa?"

Papa mengangguk. "Iya. Satu keluarga dengan dua anak, sepasang. Kayak kamu sama Abang, sepasang juga."

"Jadi makin rame dong?" seru Ralia senang. "Papa kok baru kasih tau sih? Tau gitu Ralia mau beliin banyak cemilan buat dibagi sama anak temen kerja Papa yang baru gabung pertama kali."

Papa tertawa dengan antusiasme anak bungsunya menyambut orang baru. "Kamu mikirnya anak teman Papa ini masih kecil-kecil, ya?"

"Emangnya udah besar?"

"Udah, Nak. Yang bungsu seumuran kamu katanya, seumuran sama Jerico dan Hesta juga. Oh iya, katanya kenal juga sama Helena, si anak bungsu teman Papa ini."

"Kenal sama Helena? Berarti kenal sama aku juga dong Pa harusnya?" Ralia makin tidak sabar untuk bertemu dengan anak teman papanya.

"Papa belum tau kalau itu. Nanti aja kita sama-sama kenalan ya?"

Forbidden relationship (00-01line)✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora