He knows

208 43 12
                                    

Jerico menyusun buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas, tidak lupa ia menyimpan pulpen ke kotak pensil berbahan kain milik Ralia yang ia jadikan miliknya sejak semester pertama dimulai.

Kakinya baru keluar dari meja saat matanya melihat Shira mengirim kode pada Harris yang duduk di sebelah kanan Jerico. Mereka tidak satu meja, tapi jarak mejanya dengan meja Harris tidak begitu jauh. Pikir Jerico, kode apa yang Shira lempar pada Harris barusan?

"Mereka nggak mungkin..." Jerico menggelengkan kepala. "Inget Jer, cewek secantik Shira nggak mungkin kelakuannya kayak gitu!"

Setelah mengenyahkan segala pemikiran yang tidak-tidak, Jerico kembali melanjutkan langkah. Hari ini Jerico sudah janji untuk mengantar Meisha pulang. Dan Meisha bilang, ada barang yang harus ia ambil di laundry milik orang tua Randu. Jerico iya-iya saja, mampir sebentar tidak akan membuatnya kehilangan banyak waktu.

Sesampainya di laundry tersebut, mereka bertemu Randu yang sedang membantu menerima cucian para pelanggan. Di sebelah Randu berdiri seorang wanita dewasa sedang menimbang pakaian-pakaian di dalam plastik.

"Oii Ran," sapa Jerico, mengikuti langkah Meisha.

Randu mendongak sekilas. "Oii," balasnya. Kemudian melihat Meisha. "Mau ambil gaun yang waktu itu Mei?"

Meisha sekedar mengangguk. "Kata Mama selesai hari ini, mana Ran?" tanyanya.

Randu meminta bantuan pada wanita dewasa lain yang sedang tidak melakukan apa-apa untuk mengambilkan barang Meisha. Sementara dirinya terus berkutat dengan layar monitor guna memastikan seluruh cucian masuk ke dalam struk pembayaran. Kalau salah, bisa-bisa Randu di marahi mama.

"Udah dibayar sama Mama, kan?" tanya Meisha menerima tas plastik besar dari wanita dewasa yang bekerja di laundry tersebut. Randu mengangguk singkat.

"Lo selalu disini kalo pulang sekolah, Ran?" Jerico mengedarkan pandang, laundry keluarga Randu ini besar sekali. Terdiri dari dua bangunan ruko. Karyawannya lebih dari 20 orang yang berlalu lalang kesana-sini.

"Kadang-kadang doang. Biasanya mampir kalo disuruh nganter keranjang," jawab Randu.

Jerico mengangguk paham. "Yaudah kita cabut dulu ya Ran," pamit Jerico, melambaikan tangan pada Randu, sikapnya membuat Meisha ikut melambaikan tangan juga.

Di atas motor, Jerico memang tipe yang tidak terbiasa untuk mengobrol. Jika teman yang ia bonceng mengajaknya bicara, Jerico hanya membalas dengan sepatah dua kata. Pada dasarnya Jerico memang tidak terlalu aktif dalam obrolan macam apapun, seperti Randu yang lebih suka diam, Jerico pun mirip begitu.

Hanya saja, ketika dipertemukan dengan Ralia, Jerico seratus persen berubah. Ia menjadi cerewet dan suka mengomel. Mengomentari setiap sikap Ralia hingga kadang-kadang membuat teman kecilnya tersebut jengkel luar biasa. Sekian lama mengenal Jerico, lambat laun Meisha mulai mengerti bahwa Jerico tidak akan pernah memperlakukannya seperti Jerico memperlakukan Ralia.

Pada Meisha, Jerico adalah sosok gentle yang begitu manis dan perhatian. Suaranya rendah dan lembut setiap kali menanyakan sesuatu yang Meisha butuhkan.

Seperti sekarang, tanpa meminta persetujuan, Jerico memberhentikan laju motornya di penjual es buah kesukaan Meisha. Acap kali mengantar pulang, Jerico memang suka mentraktir Meisha es tersebut. Tidak lupa Jerico juga membungkuskannya untuk orang-orang di rumah Meisha.

Dengan sikapnya yang begitu, terkadang Meisha lupa kalau Jerico ini masihlah laki-laki yang hobinya genit kesana kemari.

"Di rumah ada siapa aja, Mei?" tanya Jerico menaikkan kaca helmnya.

"Ada Mama sama Mbak dua orang," jawab Meisha tanpa turun dari motor.

Jerico mengangguk. "Bang, es buahnya empat ya, es batunya dikurangin aja soalnya mau dibawa pulang," pesan Jerico pada si penjual.

Karena sudah sering membeli es padanya, si penjual pun tanpa basa-basi menuruti permintaan pelanggan tetapnya.

"Jer," panggil Meisha dari atas motor.

Jerico menghampiri gadis itu. "Kenapa? Kamu mau pesen satu lagi?"

Gelengan kecil Meisha beri pada laki-laki yang sepenuhnya berhasil merebut hatinya. "Jerico, kamu...kenapa baik banget sih sama aku?"

Konyol, pertanyaan Meisha menurutnya konyol. Bukannya seseorang yang sedang mendekati orang lain memang harus berlaku baik agar dapat diterima dengan mudah?

"Kan kamu gebetan aku, gimana sih?" Jerico menjawil gemas ujung hidung Meisha membuat gadis itu salah tingkah dengan pipi yang perlahan merona. "Blushing cieee," ledek Jerico.

"Jer," panggil Meisha lagi. "Aku bakalan tetep jadi gebetan kamu doang, ya?"

Jerico terdiam menatap ke dalam mata cantik Meisha. Ia tidak tahu jawaban apa yang cocok untuk diberikan pada Meisha acap kali gadis tersebut bertanya demikian. Tangannya yang bebas terjulur ke depan dan meraih telapak tangan sang gadis, menggenggamnya dengan lembut dan penuh perasaan.

"Kamu pasti tau aku udah sesuka apa sama kamu."

Tidak aja jawaban lagi dari Jerico.

"Walaupun kamu bilang nggak akan bisa kasih aku kepastian, untuk waktu yang lama mungkin aku bakalan tetap sama kamu kayak gini..." Meisha menunduk, menatap persatuan tangannya dengan Jerico. Genggaman besar itu nyaman sekali. "Tapi bisa nggak kamu kasih aku satu alasan yang ngebuat kamu sulit bangun hubungan?"

"Bukannya aku maksa dan nuntut, tapi aku cuma pengen tau, cewek mana yang bikin hati kamu mati rasa kayak sekarang?"

Pandangan Jerico teralih ke jalan raya di sebelahnya, cuaca petang itu masih terik dihiasi sinar mentari dari berbagai penjuru. Hati Jerico terasa berat setiap kali orang-orang mulai mempertanyakan perasaannya. Sebab Jerico tidak ingin orang lain tahu luka macam apa yang harus ia obati sendiri dengan keteguhan hatinya.

"Mei-"

Meisha mengeratkan genggaman yang perlahan mengendur di tangannya. "Aku siap sama apapun yang bakal kamu bilang. Jadi...percaya sama aku, ya?" pintanya lembut dan meyakinkan.

"Aku ini nggak sebaik yang ada di kepala dan penglihatan kamu Meisha," kata Jerico menunduk sesaat sebelum melihat ke dalam mata yang membuatnya candu untuk menatap. "Aku ini..."

"Percaya sama aku, aku nggak akan pernah menghakimi apapun tentang kamu." Meisha mengusap punggung tangan Jerico dengan tangan kirinya yang bebas.

Berat, bagi Jerico ini masih tidak bisa ia hadapi. Apalagi didepan seorang perempuan cantik yang baik seperti Meisha.

Namun, Meisha memang harus tahu agar gadis itu bisa mengambil keputusan untuk tetap bersama Jerico atau pergi meninggalkan.

"Someone lost the most precious crown on his body," lirih Jerico nyaris seperti bisikan. "Because of me. Karena keegoisanku."

Meisha sudah menduga kalau apapun yang dikatakan Jerico akan membuatnya terkejut. Namun, Meisha tidak pernah membayangkan kalau kesalahan Jerico di masa lalu adalah merenggut harta seorang perempuan. Tubuh Meisha rasanya sulit digerakkan.

"Who's?" Tenggorokannya terasa kering. "Cewek itu siapa Jerico?"

Jerico memejamkan mata, lagi-lagi ia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Semua memori tentang kesalahannya terputar begitu saja. Karena ulahnya, ia membuat seorang gadis yang sangat disayanginya pergi meninggalkan negara ini.

"Rihani Ananda," ucap Jerico pelan.

Di ujung tatapan Jerico saat ini, ia menemukan sosok yang begitu dikenalnya. Sosok teman sekelas, sekaligus pacar teman kecilnya, sedang berjalan sambil merangkul bahu kecil perempuan yang sama-sama Jerico kenal pula.

Hilang sudah rasa sedih akibat membahas luka masa lalu, kini Jerico mengepalkan tangan kemudian mengumpat tertahan saat melihat Harris dengan mudahnya mengacak rambut Shira seakan sangat gemas dengan perempuan cantik dalam rangkulannya. Rupanya benar dugaan Jerico di kelas tadi.

"Shit!" Rahang Jerico bergetar, menandakan bahwa emosinya sedang berusaha ia kendalikan.

Meisha mengikuti arah pandang Jerico, dan sama terkejutnya dengan laki-laki yang baru mengakui tentang masa lalu kelam padanya.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Where stories live. Discover now