Waktu Itu Hujan Juga

91 19 6
                                    

Aku suka bernyanyi
di pagi hari
bersama merpati
yang selalu mengantuk
di pundakku;
di ranting-ranting rapuh
melodiku.

"Waktu itu hujan juga," katamu
sambil menutup jendela
yang setengah terbuka.
Lalu kau memasangkan telinga padaku
Membangunkan merpati
yang dari tadi pagi
terlelap di pundakku.

Kau memulai ceritamu
"Bahagia itu sederhana, seperti hujan yang meleleh
Masuk ke celah-celah tanah,"
katamu sambil mendentingkan tuts tuts piano
Meniup jauh pikiranku
ke alam ilusi akustik yang kau rancang untukku.

"Bahagia itu sederhana," katamu.
"Seperti mendapat pacar baru dan setelah move on dari pacar lama."

Kau tertawa. Aku dibuat bingung dengan definisi kebahagiaan yang kau buat.
Begitu pula dengan merpati yang hinggap di pundakku
sejak pagi tadi.
Mungkin merpati tak mengerti arti bahagia
karena mereka tak serapuh hati manusia
yang sering tak berdaya pada ketakutan dan putus asa;
mereka sudah terlahir untuk bahagia.

"Sesederhana itukah?" tanyaku padamu.

Kau tersenyum. "Bukankah hujan ini terasa sunyi?"

Aku tak paham.
Melodi di pianomu terhenti.
Listrik mati.

Seperti katamu, waktu itu hujan juga.
Piano yang kau mainkan waktu itu,
kini telah sirna bersamamu.
Merpati yang dulu tertidur pulas di pundakku,
kini terbang jauh mencari ranting baru.

Hujan ini terasa sunyi,
Hingga aku ingin bernyanyi:
"Bahagia itu sederhana, seperti siulan seekor merpati."
Aku berdendang, bergumam, bersiul,
Menirukan bunyi merpati yang dulu
pernah singgah di pundakku:
di ranting-ranting rapuh melodiku.

"Bahagia itu sederhana, seperti masakan ibu."

Melodi-melodi sempat terhenti.
Aku tertidur pulas di tuts tuts piano yang pernah kau perdengarkan padaku.
Entah kenapa aku ingin mendengarmu lagi,
Seperti saat sebelum listrik mati.

"Bahagia itu sederhana, kawan. Sesederhana kau mencoba memikirkannya."

(Surakarta, 2014)

***

(A/N: For some reason, I want to meet myself from 8 years ago xD.)

OnomatopoeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang