Filokopi Sofi

252 48 6
                                    

Melihat kedai kopi langganannya sepi,
Sofi pun heran,
"Ke mana semua orang?"

Biasanya ponsel Sofi selalu ramai,
Dengan ajakan kencan berhadiah makan-makan.
Tapi tidak sekarang.

Kini tinggal Sofi
Yang bersandar di atas kursi
Dengan secangkir kopi.

Teman yang katanya bakal solid sampai mati,
Tak pernah membalas pesannya lagi.
Cowok-cowok yang tadinya tak sabar mengajak kawin lari,
Telah pergi mengejar mimpinya sendiri-sendiri.

Mereka memblokir semua akun, semua puisi,
Semua kenangan tentang Sofi.
Mereka ada di tempat yang tak bisa ia raih
Meski hanya dalam ilusi.

Sofi menyeruput kopinya sedikit dan menjerit, "Pahit!"
Kopinya pun protes,
"Jangan sembarangan ya, Mbak! Pahit-pahit begini saya ini kopi tubruk paling laku!"

Sofi menangis. Ia pergi
Meninggalkan kopinya menggigil sendirian
Dalam cangkir waktu yang makin membeku.

Kopi bingung. Mana mungkin ia mengerti.
Seandainya kopi punya hati, ia pasti bakal berfilosofi.

Hidup itu hanya mampir ngopi.
Pesan murah atau mahal, rasanya tetap saja pahit.
Kalau tidak kuat, tinggal tambah air mata sebagai pemanis.
Atau cukup bilang selamat tinggal dan jangan bertemu lagi.

(D.F. Rost, November 2019)

OnomatopoeiaWhere stories live. Discover now