Bianglala di Persimpangan

50 6 0
                                    

Asri tak terkesan. Ia cemberut, menyambut kedatanganku seperti menyambut paceklik di musim hujan. Namun, aku tak heran. Lima belas tahun aku mengembara tanpa ada kabar, sementara ia masih di persimpangan—tempat terakhir kami saling mengucap selamat tinggal dan selamat jalan.

"Sekian lama tak bertemu, kini kau malah menyuruhku pergi?" tanyanya.

"Aku cuma mau kau ikut denganku," balasku.

"Kenapa aku harus?"

"Nanti kuperbaiki semua kekacauan ini. Aku janji."

"Janji?" Ia tersenyum sinis. "Kau bahkan tak ingat janjimu sebelum meninggalkanku sendiri."

Tentu saja aku ingat. Mana mungkin aku lupa saat pertama aku tersesat. Lima belas tahun yang lalu, ketika hutan ini masih lebat. Belum terkurung oleh ladang dan tambang seperti sekarang. Aku hanya seorang anak kecil dengan pikiran polos dan simpel, yang mengira bermain petak umpet di hutan hujan adalah ide paling jenius yang pernah kupikirkan.

Asri yang pertama menemukanku. Ia duduk di rumah pohon sambil melotot, menghardikku agar berhenti menangis. Katanya tangisanku membuat takut keluarga bajing yang mengontrak di tempatnya. Lalu aku memanjat. Bianglala tampak berkilau di ujung senja seperti kenangan pahit-manis yang senantiasa melekat.

"Pasti lucu kalau bisa kupajang di dinding rumah pohon," ucapnya. Kami pun berunding. Sebagai imbalan mengantarku pulang, aku berjanji membantunya berburu bianglala setiap hari cerah dan turun hujan.

Tahun-tahun berlalu, rambut merahnya masih tetap sama. Seperti saat kami menyusuri sungai menuju desa, menangkap kunang-kunang, atau main kejar-kejaran di persimpangan. Atau saat kami bermain kembang api di tahun baru, ketika aku tak sengaja membakar rambutnya. Ia marah, menangis, lalu berhenti berbicara denganku selama seminggu sebelum akhirnya berbaikan.

Masih terekam jelas raut mukanya saat aku harus pergi. Masih tersimpan rapat janji-janji yang belum kupenuhi. Aku ingin lekas kembali. Namun, lagi-lagi aku tersesat di belantara yang penuh beton, dengan segelintir pohon di sana-sini sebagai formalitas sesaat. Kugali lubang demi lubang. Ku bermain petak umpet dengan penagih utang. Kujual jiwaku seraya kukirim video penyiksaan pada psikopat-psikopat pembenci binatang. Semua demi uang. Aku begitu tersesat sampai keluarga bajing langka yang kuselundupkan ikut menyebutku bajingan.

Pernah suatu ketika aku bermimpi Asri menemukanku lagi. Ribuan kunang-kunang dan semut api mengerubungi tubuhku—memenuhi seluruh ceruk, lubang, dan pori-pori. Membakarku dari dalam. Kucoba menangis, kucoba berteriak, tapi percuma. Ia hanya membiarkanku membara hingga ragaku hangus tak bersisa.

Mungkin itu cara Asri menyuruhku berhenti. Mungkin itu cara kerja rindu. Namun, apa ia juga merasa begitu? Kalau iya, tak heran jika rindu yang ia tabung bertahun-tahun menjadi koktail molotov yang siap dilempar ke mukaku sewaktu-waktu. Senyumnya padam. Tinggal api kemarau panjang yang masih menyala di sela-sela kabut asap yang makin mencekik nyawa.

"Ayolah, Sri," bujukku. "Kita bisa pulang setelah kondisi kembali normal."

"Kotamu lebih menyeramkan daripada api."

"Di kota juga ada bianglala. Nanti kita naik sama-sama."

"Kau ingin aku bahagia, sementara kaummu membantai teman-temanku di sini?"

Aku tak menjawab.

"Sudah terlambat untuk menyelamatkanku," lanjutnya. "Jangan pura-pura tidak tahu."

Aku tak menjawab.

"Atau justru kau yang minta diselamatkan? Kau ingin aku selalu menghantuimu, sambil berharap mendapatkan pengampunan suatu saat? Aku tak bisa terus menolongmu. Biarkan aku beristirahat."

Api mulai merembet ke rumah pohon. Membakar kenangan-kenangan kami.

"Apa aku tak layak mendapat kesempatan kedua?"

"Tanyakan pada penghuni hutan yang lain. Mungkin masih ada yang peduli," balas Asri. "Atau kau bisa terus memutar percakapan palsu ini di otakmu sambil menunggu mati."

Tabir asap putih berubah menjadi layar hitam pekat yang dengan cepat melahap dahan. Kemudian, entah berapa waktu yang terpangkas sebelum cahaya kembali memasuki mata. Asri menghilang. Tampak beberapa muda-mudi yang duduk di kiri-kanan dan salah satunya memasang alat bantu napas. Suara bising pesawat agak mengaburkan suara mereka, tetapi aku paham. Relawan lain menemukanku pingsan di dekat puing-puing rumah pohon, dalam posisi mendekap dua bayi orangutan. Keduanya baik-baik saja.

Bahkan saat ingin menolong pun, aku masih perlu diselamatkan.

Seseorang di dekat jendela bersorak. Aku bangkit dan ikut melihat. Benih hujan yang kami semai di atas awan selama beberapa hari akhirnya berbuah. Perlahan tapi pasti, hujan turun rintik-rintik membasahi pepohonan; menyusutkan titik-titik api. Lalu spektrum cahaya berbentuk busur raksasa mulai terlihat di cakrawala.

Kuharap kau juga melihatnya, Sri. Walaupun terlambat, walaupun itu hanya usaha sia-siaku dalam menepati janji yang tak lagi kau hiraukan, bianglala yang kupesan untukmu kini telah tiba di persimpangan.

***

DF Rost (2023), tergabung dalam antologi  cerpen Tak Pudar oleh Era, Ellunar Publisher.

OnomatopoeiaWhere stories live. Discover now