Rindu, Monyet, dan Saku Celanaku

167 33 10
                                    

Rindu itu manis.

Saat Rindu tersenyum, kurasakan hangat di saku celanaku. Rasanya seperti mimpi basah yang singgah sebentar. Begitu kuraba sakuku, mimpi itu buyar. Tak ada apa pun selain selembar uang lima ribu.

Rindu itu berkelas. Ia hanya suka cowok tampan, keren, dan berduit. Mana mungkin ia menyukaiku. Jangankan mendapatkan hatinya, membeli bedaknya saja aku tak mampu.

Akan tetapi, siapa bilang aku harus jadi pacarnya untuk mencintainya? Cinta tak harus dimiliki, begitu pun Rindu. Di sekolah, tempat duduk kami hanya terpaut satu bangku. Bisa meliriknya setiap saat saja cukup buatku. Bila Rindu ingin menyontek, kuberi tanpa ragu. Terlihat pintar di depan gadis yang kausuka itu perlu. Kau jadi punya alasan untuk bertukar nomor, walaupun ia hanya membutuhkanmu ketika ada tugas dan melupakanmu setelah semua itu berlalu.

Suatu hari, aku tak sengaja menabrak Rindu di koridor sekolah. Tak ada adegan romantis di sini, hanya kekacauan. Setumpuk buku yang kubawa jatuh berserakan. Padahal, buku-buku itu kupinjam atas perintah Pak Guru untuk keperluan pembelajaran.

Alih-alih membantu, Rindu marah dan berkata, "Kalau jalan lihat-lihat, dong! Dasar culun!"

Aku pun minta maaf. Aku memang ceroboh. Aku kesulitan melihat apa yang ada di depanku karena tumpukan buku yang kubawa jauh-jauh dari perpustakaan. Akulah yang salah, meskipun Rindu berjalan tanpa membawa apa-apa dan seharusnya bisa melihatku. Namun, Rindu selalu benar. Kalau aku balik memarahinya, aku hanya semakin terlihat salah. Aku juga tak keberatan dipanggil culun. Toh harga diriku sudah rendah sebelum orang-orang mengatakan apa pun.

Kesalahan keduaku adalah menulis puisi tentang Rindu. Bodohnya lagi, kutulis sajak itu di halaman belakang buku tugas yang Rindu pinjam. Rindu menatapku jijik, sementara seorang cowok merebut dan menirukan sajakku.

"Saat Rindu tersenyum, kurasakan hangat di saku celanaku," ucapnya. "Anjir, geli cuy!"

Seisi kelas menertawakanku. Yang lain ikut berceloteh seolah tak mau kalah lucu.

"Tuh, Rin! Jangan senyam-senyum mulu nanti si Paijo ngompol!"

"Jo, udah abis berapa sabun setiap lo mikirin Rindu?"

"Jijik banget, sih. Udah jelek, mesum lagi."

Hari-hari berikutnya, insiden puisiku menjadi salah satu topik terhangat di sekolah. Baguslah. Aku pantas mendapatkannya karena sudah "mesum" dan ceroboh. Berkat hal itu, Rindu jadi membenciku. Ia menganggapku sebagai pelaku pelecehan seksual dan semua orang mendukung pendapatnya. Ia memang tak pernah salah. Kini setiap aku lewat di depannya, ia dan teman-temannya selalu memasang tampang jijik dan menyindirku. Padahal, sebelumnya ia sama sekali tak melirik kecuali saat membutuhkan tugasku. Aku jadi ingin tertawa. Ternyata begini rasanya diperhatikan oleh orang yang kusuka.

Rindu itu berat. Aku baru sadar saat membawanya ke ruang UKS. Dengan tandu, tentunya. Mana mungkin aku menggendongnya bak tuan putri. Keistimewaan semacam itu hanya dimiliki oleh cowok ganteng. Kalau aku yang melakukannya, bisa-bisa aku digampar, ditendang, atau dituduh hendak memerkosa.

Rindu baru saja dilabrak oleh seorang kakak kelas cewek beserta rekan-rekannya. Ia dianggap mengganggu pacar sang senior, seorang cowok ganteng dan ketua OSIS SMA-ku. Mereka berkelahi di depan kelasku, tetapi Rindu kalah jumlah. Rindu pun jatuh terjengkang membentur tong sampah sehingga kepalanya berdarah.

Aku keluar UKS begitu teman-teman Rindu masuk. Dari luar, percakapan mereka masih bisa kudengar.

"Aku tuh cuma bercanda," ujar Rindu sambil terisak. "Aku juga punya otak. Mana mungkin aku bakal nabrak cowoknya beneran."

"Kamu enggak salah, Rin. Mereka aja yang kelewatan. Orang bercanda malah dianggap serius," hibur temannya.

"Lagian cowoknya juga kepedean. Belum ditabrak aja udah koar-koar jijik kayak dia yang paling cakep aja," timpal yang lain.

Hal yang mereka anggap "cuma bercanda" adalah beberapa komentar Rindu di Facebook terhadap foto Mas Ketos yang bertelanjang dada. Postingan itu sudah dihapus, tetapi aku masih menyimpan screenshot komentarnya. Polanya tak jauh-jauh dari bucin, nabrak cogan, roti sobek, dan rahimku anget. Sungguh berkelas. Rindu jijik terhadap sajak yang tak pernah ingin kutunjukkan pada siapa pun, tetapi berani mengetikkan kata-kata itu di media sosial dan masih punya nyali untuk menyebutnya candaan.

Pada saat itu, aku pun sadar. Kesalahan terbesarku hingga detik ini adalah mencintai Rindu.

Terima kasih, Rindu. Terima kasih sudah membantu menghapusmu dari daftar orang yang kurindu. Selama ini, aku sudah terjebak dalam cinta monyet. Namun, leluconmu berhasil mengusir cinta dan monyet itu pergi dari otakku.

Kini kau bisa tenang, Rindu. Senyummu tak lagi terasa hangat karena monyet itu sekarang hinggap di wajahmu. Orang-orang jijik dan tertawa akan tingkahmu seperti halnya kau dan teman-temanmu lakukan terhadapku. Menurutmu leluconmu lucu, bukan? Aku mengerti perasaanmu sebagai sesama monyet. Karena itu, takkan kubiarkan jejak digitalmu lenyap agar kau bisa bercanda selamanya dengan warganet. 


(D.F. Rost, Agustus 2020)

OnomatopoeiaWhere stories live. Discover now