Komikus yang Bersolilokui di Malam Hari

550 88 8
                                    

Malam makin kelam. Kepak gagak menyinggung muram. Gigi-gigi gemeretak menebar geram. Mata masih temaram. Di sini, di ruang kerjaku, di dalam rongga dadaku, di dalam sesak nafasku, di dalam sakitku, aku hanya ditemani dirimu, kipas angin, kipas sate, pisang kipas, dan detak detik jarum jam.

"Kau cocok jadi asistenku," ujarku menampar sepi.

Sepi lantas mengelus-elus pipi.

"Demi apa aku jadi asistenmu? Menggambar koreng saja aku tak bisa."

Palsu. Tak ada yang bisa menggambar luka di hatiku sebagus dirimu.

"Cukup duduk tenang di sampingku sambil membantuku mewarnai hari-hari. Kalau perlu buatkan aku secangkir kopi."

"Jangankan secangkir kopi," katamu, "selimut, bantal, kasur, segalanya pun bisa kuberi. Masalahnya aku masih terlalu bodoh untuk mengerti apa arti bahagia bagimu. Tapi yang pasti, aku akan tetap di sini—di dalam memori saat kau bangun tidur nanti."

Hanya dalam mimpi.

"Seandainya kata-kata punya pita suara dan punya mulut sendiri-sendiri, kira-kira semerdu apa ya kalimat, 'Aku cinta padamu,' jika bersenandung di hatiku dan hatimu?" ucapku beretorika, mencoba menggombali diri sendiri.

"Seandainya lidah tak perlu bergerak dan kening kita hanya perlu saling menempel untuk tahu isi pikiran masing-masing, kau akan tahu rasa ini lebih dari yang lidah kelu ini bisa lantunkan."

Aku tersenyum. Sariawan di bibirku kembali terbuka. "Terima kasih telah kausangatkan perihku."

Kau balas menampakkan gigi-gigi. "Sama-sama, Sayangku yang tak pernah bisa kumiliki."

Aku tertawa renyah laksana tepi gorengan yang baru diangkat dari wajan. "Dasar hantu!"

"Kok hantu?"

"Ya, kau itu hantu. Kalau bukan hantu, mana mungkin kau bisa bergentayangan dan bersemayam di hatiku yang sudah seperti kuburan tua ini."

Hatiku memang kuburan tua. Kuburan tua seorang komikus gila berdarah dingin yang pandai menoreh luka namun tak pandai melukis cinta. Komikus yang mati karena racun rindu yang ia oplos sendiri bersama dengan ekstrak darah, keringat, dan air mata. Rindu yang tak bisa ia sesali sebab kini ia hanyalah seonggok sampah kata-kata yang bergelantungan di sudut halaman kertas draft yang dibubuhi bertetes-tetes tinta—di balik komedi dan tragedi sebuah senandika.

(D.F. Rost, Desember 2015)



OnomatopoeiaWhere stories live. Discover now