38. Dendam Adalah Racun

56.5K 9.8K 1K
                                    

"Mas, mau ya?"

"Gak, Sayang. Jangan, ya? Kita gak usah pergi, aku gak mau hati kamu nanti sakit," tolak Wylan untuk kesekian kalinya.

Namun, Riona sama sekali tak kehilangan akal. Ia memeluk tubuh Wylan dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak pria itu.

"Sayang ... yuk kita coba aja. Kalau pun nanti di sana Mama atau Kakak kamu buat sesuatu yang menyakiti hati aku atau anak-anak, aku janji buat langsung ajak kamu pulang," bujuk Riona lagi.

Wylan menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih? Kenapa mau banget ke datang ke rumah mereka?" Tangannya mengelus punggung tangan Riona lembut.

"Aku cuma mau menjalin kembali silaturahmi kita, Mas. Dari kecil aku anak yatim piatu, hanya tinggal dengan bibi aku aja. Aku tahu rasanya gak punya orang tua, aku tahu bagaimana susahnya pendam perasaan sedih sendiri. Walaupun kamu gak pernah bilang, tapi aku tahu kalau di hati kecil kamu yang paling dalam itu, kamu rindu sama keluarga kamu, kan?"

Wylan terdiam dan tertegun kala mendengar segala ucapan Riona.

"Kamu pasti kangen sama mereka, kan? Aku gak mau merasa berdosa seumur hidup karena memisahkan kamu dari keluarga kandung kamu, Mas. Aku gak mau merasa berdosa karena memisahkan anak dari ibunya. Aku juga seorang ibu dan aku gak mau nantinya akan jadi karma buat aku ketika kelak anak-anak aku menikah."

Bagi Riona, selain berdamai dengan anak-anak dan suaminya, ia juga ingin bisa mengikhlaskan orang-orang di masa lalunya. Termasuk ibu dan kakak Wylan.

Ia ingin semua orang bahagia di kehidupannya yang kedua ini, sebelum tugasnya selesai seperti apa yang dibilang oleh para Moirai.

"Sayang, aku gak apa-apa. Aku gak sedih selagi kamu dan anak-anak terus ada di sisi aku. Aku gak suka kalau kamu memaksakan diri seperti ini," ucap Wylan lagi, masih berusaha menolak.

Namun, tak bisa Wylan pungkiri bahwa dalam hatinya juga terbersit rasa rindu pada keluarganya. Pada rumahnya, pada masakan sang ibu, dan pada pelukan ibunya. Seberapa tua pun seorang anak, dia tetaplah anak kecil bagi ibunya.

"Aku gak apa-apa. Kalau aku terus menolak, kapan aku bisa menerima masa lalu? Udah, yuk. Siap-siap sana gih," pinta Riona dengan senyum lebar.

Ia melepaskan pelukannya dari pinggang Wylan, memberikan kecupan kecil di pipi Wylan. Kemudian berjalan keluar dari kamar mereka.

"Boys!" panggil Riona di tengah-tengah pintu kamar keempat anaknya.

Sontak keempat pintu kayu dengan sticker dan gantungan berbeda-beda itu terbuka dengan terburu-buru. Wajah keempat putranya dengan ekspresi berbeda-beda berhasil menggelitik perut Riona.

Azriel seperti baru bangun tidur, Zadkiel keluar dengan buku resep di tangannya, Morfeo hanya menongolkan kepalanya yang basah, sementara Casvian dengan raut datar seperti biasa.

"Ayo siap-siap. Kita bakal hadiri acara," pinta Riona.

Kening Casvian mengerut. "Acara apa, Ma? Tumben banget. Biasanya kalau cuma acara bisnis pasti Mama sama Papa doang yang datang."

"Ini acara kelulusan sepupu kalian, yang kebetulan satu angkatan sama Morfeo," jelas Riona lagi.

Sontak keempat remaja itu terkejut dibuatnya, mereka menatap Riona tak percaya. "Sepupu? Emang kita punya sepupu, ya? Baru tau."

"Ada. Nanti kenalan langsung aja," ucap Riona singkat. "Udah, sana kalian siap-siap. Kalau lama nanti Mama tinggal baru tahu rasa."

Sontak Azriel dan Morfeo mengacir masuk ke dalam kamar mereka dengan begitu rusuh. Sementara Zadkiel juga ikut masuk, tetapi tak serusuh kedua saudaranya itu.

Be a Good Mother [Terbit]Where stories live. Discover now