Prolog

141 7 3
                                    

"Dasar anak bodoh! Masa hitung-hitungan kayak gitu aja kamu nggak bisa!" Suara bentakan menggelegar di dalam rumah.

Seorang wanita berumur dua puluhan sedang berdiri tegak di hadapan bocah berusia enam tahun. Perempuan itu berkacak pinggang dengan satu tangan. Tangan lainnya ia gunakan untuk menunjuk dan menoyor pelan kepala bocah di hadapannya.

Alvina, bocah berusia enam tahun itu hanya diam. Dia sudah terbiasa. Lagipula ini salahnya. Seharusnya ia bisa mengerjakan soal yang diberikan gurunya.

"Dasar anak nggak tau diri! Saya sekolahin kamu mahal-mahal, kamu malah jadi anak bodoh. Nyesel saya udah ngelahirin kamu!" Selesai melampiaskan amarah, Firda pergi meninggalkan anaknya.

Alvina bergegas menuju kamarnya. Dengan cepat ia berganti baju. Dia ingin segera ke taman dekat rumahnya. Sebab hanya di sanalah dia bisa melepas segala beban yang diberikan ibunya.

Sejak kecil, Alvina selalu dibiarkan bermain sendiri. Jangankan menemani, untuk menyewakan pengasuh saja orang tuanya tidak mau. Bagi mereka, menyewakan pengasuh hanya akan membuang uang. Lebih baik uangnya digunakan untuk menyenangkan diri mereka.

Alvina menaiki salah ayunan berwarna kuning dengan susah payah. Tubuhnya yang pendek dan tambun membuatnya susah dalam bergerak. Apalagi untuk menaiki ayunan.

Alvina hanya duduk diam di atas ayunan yang tidak bergerak. Untuk naik saja susah, apalagi menggerakkannya. Kakinya tidak sampai.

Baru saja merasakan ketenangan, kini tiga orang bocah seumuran Alvina menghampirinya. Alvina tau, mereka tak akan mengajaknya bermain. Mereka hanya datang untuk mengolok, kemudian pergi.

"Eh, ada anak yang nggak punya orang tua di sini." Bocah perempuan yang dikepang dua bersuara lebih dulu.

Alvina geram. Dia tidak masalah jika dihina pendek ataupun gendut. Tapi rasanya menyakitkan saat orang lain mengatainya tidak punya orang tua. Walaupun orang tuanya tidak pernah peduli padanya, setidaknya ia masih punya, kan?

Maka dari itu dengan berani Alvina menjawab, "Aku punya orang tua."

"Masa? Kok kamu nggak pernah ditemenin main? Nggak pernah dianterin sampai kelas juga kalau sekolah. Palingan diturunin di depan gerbang. Itu pun nggak pernah keliatan mama atau papamu," sangkal bocah perempuan yang memakai segala macam aksesoris mainan.

"Haha, iya. Mana ada orang tua yang biarin anaknya main sendiri. Orang tuaku aja selalu nemenin aku main kalau nggak ada temen." Bocah terakhir, seseorang yang gemar membawa boneka itu ikut mengolok-olok Alvina.

Mereka bertiga tertawa, tanpa peduli bahwa seseorang yang mereka tertawakan merasa sakit hati.

Setelah ketiga bocah tadi pergi, Alvina meluncurkan tangisnya. Dia sadar betul jika yang dikatakan mereka benar. Bahkan, terkadang dia juga mempertanyakan. Apakah benar ia punya orang tua?

Jika memang dirinya memiliki orang tua, mengapa ia selalu dibiarkan bermain sendiri? Mengapa orang tuanya tak pernah mengantarnya ke kelas seperti anak lain? Mengapa orang tuanya tak pernah mengajarinya apapun?

Tanpa Alvina sadari, seseorang mendekatinya. Seorang anak laki-laki. Dia tampak lebih tua dari Alvina.

"Hai," sapa anak laki-laki tersebut.

Alvina mendongak. Menatap anak laki-laki yang kelihatan asing di matanya. Sepertinya anak itu baru pindah. Apakah dia akan mengoloknya seperti anak lain?

"Kamu siapa?" Alvina memberanikan diri bertanya.

"Aku Andika Mahardika, panggilannya Dika. Aku baru pindah, jadi nggak punya temen. Kamu mau nggak jadi temenku?"

Bola mata Alvina membulat. Bocah cilik itu semakin terlihat menggemaskan sekarang. Membuat Dika terkekeh geli melihatnya.

"Kenapa? Kamu nggak mau temenan sama aku?" tanya Dika yang segera dibalas gelengan cepat oleh Alvina.

"Bukan gitu. Kamu kenapa mau temenan sama aku? Anak lain aja musuhin aku semua."

Ekspresi geli di wajah Dika sontak hilang. Alisnya mengkerut, menatap Alvina dari atas ke bawah. Dika tidak menemukan alasan gadis itu dijauhi.

"Memangnya kenapa mereka begitu? Kamu cantik, wangi juga. Terus baik."

Alvina menunduk. "Kata mereka aku nggak punya orang tua. Padahal aku punya, tapi mama sama papa sibuk. Jadinya nggak bisa temenin aku main dan anterin aku ke kelas."

Sebuah tepukan gadis itu terima di kepalanya. Dengan segera ia mendongak. Menatap Dika yang kini tersenyum manis kepadanya.

"Itu bukan salah kamu. Jangan sedih, ya. Gapapa kalau mereka nggak mau jadi temen kamu, biar aku aja. Okay?"

Alvina mengangguk antusias. Dia senang karena ada yang mau berteman dengannya. Setelah ini, dia tidak akan bermain sendirian lagi, kan?

"Yaudah, sekarang kita main ayunan bareng, ya!" Dika segera menaiki ayunan yang berada di samping Alvina. Akan tetapi, dia kembali turun saat menyadari sesuatu.

"Loh, kamu kenapa turun lagi?"

"Aku mau dorong ayunan kamu aja," jawab Dika.

Alvina tersenyum. Lagi-lagi, anak laki-laki itu membantunya mencapai keinginannya. Dia tidak akan pernah melupakan kebaikan anak laki-laki itu. Sampai kapanpun.

***

To Be Continued

Haii, sambil nungguin Di Balik Sebuah Imajinasi update, kalian bisa baca ceritanya Alvina dulu. Mungkin sebagian besar dari kalian ada yang kesel karena kalian penumpang kapal Dika-Lala. Tapi aku rasa cerita ini perlu banget dibuat.

Walaupun sebenernya cerita ini itu Sequel dari DBSI, aku tetep pengen kasih flashback. Karena aku percaya, anything happen for a reason. Aku juga pengen kalian tau cerita sebelumnya dari sudut pandang lain.

Tapi tenang, berhubung ini Sequel, ceritanya pasti nggak jauh dari buku sebelumnya. Maka dari itu aku sarankan buat baca Di Balik Sebuah Imajinasi dulu. Karena konflik utama di sini sebenarnya penyelesaian konflik yang belum tuntas di DBSI.

See You!

A ReasonWhere stories live. Discover now