24. Love and Guilty

17 2 0
                                    

Rasa bersalah tak dapat dihindarkan ketika seseorang yang terkenal dengan kebaikannya tiba-tiba saja mengingkari janjinya. Begitu pula dengan Dika, lelaki itu memilih untuk menjauhi segala hal yang dapat membuatnya melupakan janji. Termasuk berhubungan dengan Lala.

Dika jelas tahu dan sadar jika ini sama sekali bukan kesalahan adik kelasnya itu. Karena itu pula Dika memilih menjauh. Dia tidak ingin Lala terlibat lebih jauh lagi.

Sudah seminggu berlalu setelah insiden kebohongannya. Namun, Dika masih belum mampu menghempas rasa bersalahnya. Putra sulung Mahardika itu merasa begitu kecewa dengan dirinya yang baru saja menambah retakan pada kaca yang sudah jelas rapuh.

Ah, sudahlah. Karena terlalu banyak pikiran, Dika jadi tidak bisa fokus. Hari ini saja lelaki itu terlambat bangun. Jangankan untuk menjemput Alvina, memastikan dirinya tidak terlambat saja ia tidak yakin.

Beruntungnya, hari ini jalanan jauh lebih lancar biasanya. Dika jadi bisa menempuh perjalanan dua kali lebih cepat. Dengan kebut-kebutan tentunya.

Dengan sedikit berlari, Dika menuju kelasnya. Pagi ini saatnya ia berjaga. Walaupun rasa malas menggerogotinya, Dika tetap harus menjalani tugasnya sebagai Ketua OSIS.

Dika sudah sedikit tenang saat sampai di kelasnya. Apalagi ketika melihat Suryo yang datang setelahnya. Jadi tak ada lagi adegan lari-lari seperti sinetron India.

"Sur, gue duluan deh ya? Nggak enak soalnya kalau lama." Dika bergegas pergi setelah mendapat anggukan dari Suryo.

Dengan langkah yang sedikit terburu, Dika pergi menuju gerbang. Akan tetapi, entah siapa yang kurang hati-hati, lelaki itu justru menabrak seorang gadis yang sedang tak fokus dalam perjalanannya. Secara reflek, Dika langsung menarik pinggang gadis itu. Sedikit memeluknya agar tak jatuh.

Dika tertegun menatap seseorang yang berada di pelukannya saat ini. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia sangat nyaman dalam posisi ini. Bahkan, dia sendiri tak dapat menyembunyikan sorot penuh rindu dari matanya.

Dika juga menyadari jika Lala menatapnya dengan tatapan yang sama. Seandainya tak ada penghalang di antara mereka, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tapi sedetik kemudian lelaki itu menggeleng. Alvina bukan penghalang, dari awal dirinya sendiri yang menawarkan pertolongan.

"Ekhm." Deheman itu membuat Dika spontan melepas pelukannya. Tapi ia sudah membantu menstabilkan posisi Lala agar tak jatuh saat ia lepas.

Dika melirik ke sekitarnya. Masih belum banyak siswa yang datang. Kemudian kepalanya menoleh ke orang yang berdehem tadi. Ia menghela napas lega saat Suryo-lah yang memergokinya.

Dika tak bisa membayangkan jika yang memergokinya adalah Joseph atau Joshua. Mereka pasti akan menginterogasinya habis-habisan, lalu mengadukannya ke Alvina. Yang sudah dipastikan masalahnya akan semakin runyam. Walaupun Suryo tetap akan meminta penjelasan, setidaknya ia bisa menjamin kejadian ini akan menjadi rahasia mereka berdua.

"Em, Kak, aku duluan ya? Maaf soal tadi,"  pamit Lala lalu melenggang pergi.

"Nanti jelasin apa hubungan lo sama dia, sekarang cepetan ke gerbang." Suryo berjalan menuju gerbang meninggalkan Dika sendirian. Dika yang melihat itu hanya menghela napas lelah dan kembali ke tujuan awalnya.

🌷🌷🌷

Dika sibuk mengipasi wajahnya yang dipenuhi buliran keringat. Sesekali kerah bajunya ia kibas-kibaskan agar udara masuk ke dalam seragamnya. Menubruk tubuh atletisnya yang kini sudah bermandikan keringat.

Entah ada apa, tapi hari ini begitu aneh. Para siswa tiba-tiba saja terlambat secara serentak. Dika jadi curiga ada sesuatu di balik hal ini, karena tadi pagi ia juga kesiangan.

Dengan terpaksa Dika harus ikut menghukum dan mengawasi para siswa yang melanggar aturan itu. Ia melewatkan beberapa jam pelajaran. Sampai istirahat tiba pun, ia masih perlu membubarkan mereka.

Seorang gadis datang membawa minuman isotonik. Satu tangannya ia pergunakan untuk memberikan minuman yang ia bawa. Satu lagi gadis itu gunakan untuk mengipasi Dika dengan kipas angin portabel miliknya.

"Capek banget gila." Dika menikmati perlakuan Alvina sembari menyandarkan punggung ke pohon. Memejamkan matanya sejenak, ternyata menghukum saja bisa se-melelahkan ini.

Alvina hanya diam. Gadis itu mengambil sapu tangan dari saku bajunya. Kemudian mengelap keringat Dika di sekitar wajah dan leher.

Dika membuka matanya. Menatap Alvina yang tampak fokus dengan kegiatannya. Dalam hati lelaki itu terus merutuk. Mendapat semua perhatian Alvina seperti ini membuatnya semakin merasa bersalah.

"Vin," panggil seseorang.

Alvina menghentikan kegiatannya dan menoleh. Begitu juga dengan Dika. Namun, lelaki itu langsung panik ketika tahu Suryo yang datang.

"Kenapa, Sur?" Bukan Alvina yang menjawab. Melainkan Dika. Lelaki itu reflek berdiri diikuti Alvina.

"Gue ada perlu sama Dika, lo bisa pergi sebentar?" usir Suryo. Alvina mengernyit, dia bukannya tidak ingin pergi. Hanya saja sedikit penasaran tentang urusan mereka hingga tak boleh ia ketahui.

"Penting banget ya?" tanya Alvina.

"Kenapa? Lo nggak mau pergi? Gue sih nggak masalah." Jawaban dari Suryo sama sekali tidak memuaskan.

"Ini penting banget kok, lo pergi dulu ya!" Dika yang panik mendorong pelan Alvina untuk pergi.

Alvina sedikit kesal. Selama hidupnya, dia belum pernah diusir seperti ini. Tapi kekesalannya hilang begitu saja saat melihat siluet seseorang yang sepertinya hendak ke kantin.

"Yaudah, kalau gitu gue pergi dulu ya!" Alvina segera berlari menyusul Joseph. Lebih baik menghabiskan waktu berdua dengan kakak kelasnya satu itu.

"Jadi?" tanya Suryo. Lelaki itu sama sekali tak ingin bertanya. Biar saja Dika yang menjelaskan.

"Lo berharap penjelasan apa? Tadi gue sama Lala cuma nggak sengaja tabrakan. Karena reflek ya gue peluk pinggangnya, biar nggak jatuh," elak Dika.

Dia tak ingin menceritakan yang sesungguhnya. Perasaannya cukup ia simpan sendiri. Jangan sampai rasa cintanya itu menjadi masalah di kemudian hari.

"Dik, lo yakin mau bohong? Seorang Dika  nggak akan sepeduli itu sama orang cuma karena nggak sengaja ngelukain orang." Lagi-lagi Suryo menjawab dengan tenang. Sepertinya, Dika memang tak bisa bercerita jika tidak dipaksa.

"Gue cuma ngerasa bersalah, Sur. Lo berharap apa? Gue harus ngebiarin dia naik bus di saat kondisinya nggak baik-baik aja? Gila kali! Ntar kalau dia kenapa-kenapa di jalan gimana?"

"Terus kenapa lo berangkat bareng dia besoknya? Apa lo sadar kalau kalian jadi pusat perhatian waktu itu? Lo bahkan berantem sama Alvina kan?"

Dika terkejut. "Lo ... kok tau?"

Suryo tak menjawab. Membuat Dika mengubah ekspresi menjadi datar. Ekspresi yang selalu ia tampilkan saat rapat OSIS. Pertanda lelaki itu sedang serius.

"Nggak perlu banyak penjelasan, Suryo. Yang harus lo tau adalah, gue sama Lala nggak ada hubungan apapun."

Ya, seperti ini mungkin lebih baik. Yang jelas, ia tidak ingin kembali menyakiti Alvina. Hanya demi kekagumannya pada seorang gadis.

***
To Be Continued

Dika itu, punya banyak beban di pundaknya. Dia denial antara milih ngelindungin sahabatnya atau memperjuangkan cintanya.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang