44. Ivan Aldiansyah

16 2 0
                                    

Apa yang seringkali dirasakan oleh anak sulung? Beban berat bernama tanggung jawab.

Banyak orang yang tidak menyadari jika anak sulung adalah pemegang tanggung jawab terberat setelah orang tua. Sebagai saudara yang paling dewasa, tentu saja ia bertanggungjawab untuk menafkahi dan menjaga adik-adiknya saat orang tuanya tak mampu lagi melakukannya. Bahkan, banyak dari mereka yang harus mengorbankan mimpi demi adik-adiknya.

Sebagai anak sulung dari keluarga Rabbani, Ivan jelas tahu apa kewajibannya. Dia seharusnya diam di rumah. Menjaga adik bungsunya yang belum terlalu dewasa. Gadis itu pasti kesulitan dalam menghadapi berbagai masalah di usia yang masih belia.

Sayangnya, Lala bukanlah satu-satunya anak yang terluka. Sama seperti Arya, Ivan belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa keluarganya sudah pecah. Pecahannya bahkan semakin mengecil, hingga begitu sulit untuk menyatukannya kembali.

Ivan meninggalkan kewajibannya untuk menjaga sang adik. Memilih pergi dari rumah yang penuh dengan kenangan buruk itu. Tanpa menyadari jika si bungsu masih terjebak di dalam sana. Terjebak dalam kelamnya rumah indah yang terkutuk itu.

Siang ini, Arya meneleponnya dengan kalut. Si anak tengah itu menyuruhnya ke rumah sakit tanpa memberi tahu apa yang terjadi. Tentu saja itu membuat Ivan terburu-buru datang.

Rumah sakit Phobos cukup jauh dari kawasan tempat Ivan berada. Jadi lelaki itu tanpa pikir panjang menarik gas di tangan kirinya. Meliuk-liukkan motornya hingga mendapat beberapa umpatan dari pengendara lain.

Sesampainya di rumah sakit, Ivan menjumpai hal yang sudah lama tak ia lihat, tangisan Arya. Kapan terakhir kali Arya menangis? Rasanya itu sudah lama sekali.

Saat orang tua mereka bertengkar, bahkan ketika keluarga mereka di ambang kehancuran pun, Arya tak pernah menangis. Adik laki-lakinya itu selalu memakai topeng keceriaannya. Kalau tidak salah, tangisan terakhir Arya yang Ivan tahu adalah hari di mana Lala pulang dengan luka karena jatuh di taman bermain.

Lantas, apakah hari ini ada sesuatu yang terjadi pada si bungsu sampai Arya menangis sesenggukan?

"Lala kenapa?" tanya Ivan langsung.

"Gue nggak tau. Tadi pas pulang Lala udah jatuh, berdarah semua. Ada kursi jatuh di deket dia, terus ... " Arya tak sanggup melanjutkan. Dia masih sangat terpukul dengan apa yang baru saja ia lihat.

"Terus apa? Lanjutin!" pinta Ivan menggoyang-goyangkan bahu Arya. Tak tahukah Arya bahwa dia sangat mengkhawatirkan si bungsu?

"Ada tali simpul gantung yang biasa dipakai orang bunuh diri. Tepat di atas Lala." Arya memberanikan diri untuk mendongak. Menatap kakaknya dengan mata yang memerah.

Ivan yang mendengar ucapan adiknya memundurkan langkahnya. Ia tak ingin percaya, tapi melihat betapa tertekannya Arya sudah membuktikan bahwa adiknya itu tidak berbohong. Lututnya melemas.

Ivan merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik.

🌷🌷🌷

Apakah Ivan menunggu bersama Arya di depan ruang UGD? Tentu saja tidak. Setelah menandatangani persetujuan operasi untuk menjahit luka milik Lala, lelaki itu memilih pergi ke rooftop. Hanya sendirian karena Arya memilih untuk menemani adiknya.

Apa yang dilakukan Ivan? Tentu saja sesuatu yang selalu ia lakukan bertahun-tahun ini. Melukai dirinya sendiri.

Ivan merusak hawa sunyi di atap. Membuat suara gaduh dari benturan tangannya dan dinding rumah sakit. Untungnya, tidak ada orang di sana. Jadi tidak ada yang protes.

Setiap kali merasa marah, sedih, bersalah, kecewa, dan segala emosi negatif, Ivan selalu melukai dirinya sendiri. Dia sudah kebal dengan rasa sakit. Baginya, mengetahui bahwa keluarganya berada di ambang kehancuran lebih menyakitkan.

Dibanding Arya dan Lala, Ivan tentunya lebih paham tentang permasalahan keluarga. Bukan hanya masalah ekonomi. Pergaulan, tingkah laku, egoisme, dan masih banyak lagi.

Sayangnya, masalah rumit kedua orang tuanya itu melibatkan Ivan yang saat itu masih berusia belasan tahun.

Kedua orang tua itu saling menyalahkan. Menjadikan Ivan titik tengah untuk mengeluh. Saling membongkar kekurangan masing-masing di depan sang anak. Tanpa sadar, kedua orang itu telah merusak mental anak yang mereka besarkan dengan susah payah.

Ivan kalut kala itu. Bingung ingin mengadu pada siapa. Kakek neneknya sudah lama meninggal dunia. Adiknya pun masih terlalu kecil untuk mengetahui semua masalah keluarga itu. Hingga bertahun-tahun lamanya, Ivan memendam semuanya sendirian. Membiarkan mentalnya sedikit demi sedikit terkikis layaknya batu yang ditetesi air.

Kembali ke masa kini, Ivan yang sudah merasa cukup menghukum diri, memilih turun. Bagaimana pun, dia juga mengkhawatirkan kondisi si bungsu.

Di lift, Ivan membuka ponselnya. Sudah berjam-jam sejak penandatanganan persetujuan operasi. Harusnya sang adik sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dan Arya pasti mengabarinya.

Arya
Kamar Bougenville, nomor 3

Berbekal plang hijau yang tergantung di lorong rumah sakit, Ivan menghampiri kamar yang dimaksud oleh adiknya. Sesampainya di sana, Ivan hanya termenung di depan pintu. Lelaki itu hanya menatap kedua adiknya yang sedang asik berpelukan.

Menguatkan hati, Ivan membuka pintu kamar itu. Lala dan Arya tidak menyadari ada seseorang yang masuk. Keduanya masih sibuk bercerita.

Dan di saat itulah, sebuah kenyataan menghantam Ivan dengan telak. Menyadarkan bahwa dia gagal melindungi peri kecilnya. Ivan gagal menjaga adiknya dari kejamnya dunia.

"Waktu itu aku takut banget, Kak. Aku mikir kenapa kakak biarin mereka deketin aku. Aku mikir, apa mereka bohong?"

Arya dengan rahang yang masih mengeras, memeluk adiknya semakin erat. Berbagai pengandaian muncul dalam benaknya. Sayangnya, semuanya sudah terlambat.

"Maaf, harusnya kakak cegah mereka waktu itu. Kakak kira mereka nggak serius, karena waktu itu kakak tau kalau mereka takut sama kakak. Ternyata tiga bajingan itu bener-bener deketin kamu," jelas Arya.

Berbeda dengan Arya yang masih bisa mengontrol emosinya, Ivan benar-benar hilang kendali. Dia bahkan belum memasuki kamar inap adiknya. Hanya membukanya sedikit, membiarkan suara keluar dari sana.

Kemudian, kabar buruk menerjangnya. Adiknya, peri kecilnya dilecehkan oleh tiga bajingan yang katanya adalah 'teman' dari Arya.

Jika Ivan yang disakiti, ia mungkin akan mempertimbangkan kata maaf. Tapi jika adik-adiknya yang disakiti, Ivan tidak akan mengenal kata maaf. Sudah cukup selama ini dia abai dengan kondisi kedua adiknya, kali ini Ivan ingin menjadi kakak yang berguna untuk Lala dan Arya.

Karena itu Ivan melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit. Tangannya sibuk mencari sebuah kontak yang akan ia hubungi untuk membuat janji. Seseorang yang sudah pasti akan mempermudah proses hukum adiknya.

Dengan koneksi yang diberikan orang tuanya, Ivan memastikan Lala tak akan mengalami kesulitan proses hukum.

"Halo, Om? Bisa bertemu hari ini? Ada yang saya harus bicarakan."

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang