9. SMA Major

24 3 0
                                    

"Alvina!" Yang dipanggil menoleh. Menatap seorang remaja laki-laki yang sudah sebelas tahun menjabat menjadi sahabatnya.

"Kenapa?" tanya Alvina kala melihat Andika terengah-engah.

Andika mengangkat tangannya. Pertanda meminta waktu sejenak. Mengambil napas panjang. Menetralkan detak jantungnya setelah berlari tadi.

"Itu, temen lo. Namanya siapa?" Alvina mengernyit. Temannya yang mana?

"Emangnya gue punya temen?" bingung Alvina.

Gaya bahasa keduanya benar-benar berubah ketika Dika sudah memasuki SMA. Katanya, biar kekinian. Juga tidak ada lagi yang salah paham tentang hubungan mereka. Dika lelah menjelaskan. Sedangkan Alvina hanya mengiyakan walaupun masih bingung. Untuk apa menjelaskan? Toh, selama ini lelaki itu selalu abai.

"Anu, yang waktu itu tampil sama lo." Dika bertanya cepat. Terlihat begitu penasaran akan sosok yang ditanyakannya.

Alvina berpikir sejenak. Selama menginjak bangku sekolah menengah, dia hanya pernah tampil satu kali. Hari ketiga MPLS.

"Lala maksudnya?" Alvina memastikan.

"Nah itu dia!" seru Dika. Lelaki itu menarik kedua sudut bibirnya. Tampak begitu bersemangat ketika mendengar nama Lala.

"Kemarin gue ketemu dia. Ternyata dia satu komplek sama gue." Dika mulai menceritakan kejadian kemarin.

Namun, sepertinya ada yang salah. Mengapa raut wajah Alvina terlihat tidak senang. Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Sahabatnya itu tidak mungkin tak menyukai apa yang disukainya. Setidaknya begitulah Dika menyakinkan diri.

Sayangnya, kepercayaan Dika runtuh saat Alvina berkata, "Kak, bisa berhenti ngomong tentang LalaBelakangan ini kita jarang ketemu, tapi tiap ketemu kakak selalu ngomongin tentang Lala."

🌷🌷🌷

Waktu berlalu begitu cepat. 15 Juli 2019 telah datang. Baik Lala maupun Alvina memasuki sekolah yang sama. Sekolah yang juga dipilih oleh seorang Andika Mahardika. SMA Major.

Di hari pertama ini, masih sama seperti jenjang sebelumnya. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Diawali dengan apel pagi di halaman sekolah.

"Rania, suruh siswa baris sesuai gugus."

Lala menoleh, menatap ke arah seseorang yang tengah memberi instruksi melalui walkie talkie. Seseorang yang tampak begitu gagah walau tubuhnya tak terlalu kekar. Garis wajahnya itu, indah sekali.

Langkahnya yang tegap seakan menghipnotis Lala. Gadis itu bahkan lupa caranya berkedip. Sibuk memperhatikan lelaki yang kini berjalan ke sana - kemari.

"Itu Ketua OSIS." Lala terkejut setengah mati mendengar bisikan tiba-tiba di telinganya.

Lala menatap kesal gadis bernama lengkap Fellicia Ananda di sampingnya. Tidak bisakah temannya itu memanggilnya dulu sebelum berbicara?

Mendapat tatapan tajam dari sahabatnya, Ica menanggapi santai. "Kenapa? Lo emang kepo sama dia, kan?"

Lala terdiam. Apa yang dikatakan Ica memang benar. Dan ia yang tidak pandai berbohong, kesusahan mencari alasan untuk mengelak.

"Ciee, akhirnya bocil gue naksir orang," goda Ica.

Lala hanya diam. Kesal sekali rasanya. Dia ingin mengelak dari fakta itu. Lagipula, bagaimana bisa ia jatuh cinta dalam sekejap mata?

Apel pagi dimulai. Dipimpin oleh ketua ekstrakurikuler paskibra. Juga Kepala Sekolah sebagai pembina. Semuanya berjalan lancar, termasuk aksi Lala yang mencuri lihat seseorang yang berada di baris terdepan anggota OSIS.

Apel pagi kali ini hanya diikuti oleh siswa baru dan anggota OSIS. Sebagian anggota, ditunjuk untuk mengawasi siswa baru. Sementara sebagian lainnya mengurusi setiap acara yang ada.

Lala terkesiap kala seseorang yang sedari tadi dipandangnya membalas tatapannya. Gadis itu segera membuang pandangannya.

"Ketua OSIS ya?"

🌷🌷🌷

Setelah semua rangkaian acara yang ada, kini saatnya para siswa untuk beristirahat. Bukan hanya para siswa baru, tapi seluruh siswa SMA Major. Itu sebabnya kesempatan kali ini dimanfaatkan oleh para siswa baru melihat betapa kerennya kakak kelas mereka.

Di SMA Major, hampir seluruhnya terdiri dari manusia yang memiliki wajah rupawan. Entah dari kelas bawah, menengah, maupun atas. Tidak terlalu tampak perbedaan di antara mereka. Kecuali jika tragedi itu terulang.

Lala, Ica, dan Agatha memilih duduk di pojok kantin dekat stan makanan. Selain mudah untuk memesan, di sini juga tidak terlalu ramai. Sehingga mereka bisa makan dengan aman dan damai.

"Lo mau beli apa? Biar gue pesenin." Ica berdiri dari duduknya.

Sedari menduduki sekolah menengah, Lala hampir tidak pernah lagi merasakan antre sebelum makan. Ica dan Agatha selalu melarangnya. Katanya, mereka tidak suka hanya duduk diam menunggu makanan. Lala yang tidak suka mengantre pun hanya mengiyakan saat disuruh duduk diam dan menunggu.

Lala mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Mencoba menelisik makanan apa yang sekiranya bisa masuk ke perutnya. Sebab Lala termasuk orang yang pemilih dalam hal makanan.

Lalu, pilihan Lala tertuju kepada batagor. Makanan berbahan dasar tahu yang paling Lala sukai. Apalagi dengan limpahan bumbu kacang dan kecap. Uh, Lala tidak sabar memakannya.

"Seluruh siswa baru, mohon perhatiannya!" Seseorang yang baru memasuki kantin berteriak.

"Seperti yang kalian tau, saya adalah Zahra, wakil ketua OSIS SMA Major. Sebelumnya, saya meminta maaf karena telah mengganggu istirahat kalian. Saya ingin menyampaikan, bahwa ada tugas tambahan yang diberikan untuk kalian. Tugas ini bersifat tidak wajib dikerjakan, tapi ada hadiah tersendiri bagi pemenangnya."

"Tugasnya adalah meminta tanda tangan dari seluruh anggota maupun pengurus OSIS. Gunakan tabel yang kalian buat tadi pagi. Siapa yang paling banyak mendapat tanda tangan adalah pemenangnya. Terima kasih." Zahra berlalu begitu saja setelah menyelesaikan tugasnya.

Sebagai seseorang yang tidak terlalu suka bergerak, Lala tentu saja ingin mengabaikan tugas tambahan itu. Sayangnya, sahabatnya tidak merestui. Ica langsung menyeretnya dan Agatha untuk mengambil kertas yang berisi tabel nama-nama anggota dan pengurus OSIS di kelas.

"Ca, ngapain sih? Mending makan. Laper tau," rengek Lala.

Sungguh, Lala benar-benar tidak bisa menahan lagi keinginannya untuk memakan batagor. Membayangkan makanan berbahan dasar tahu itu dilumuri saus kacang saja sudah membuatnya ngiler. Lantas bagaimana gadis itu bisa menahan keinginannya jika semua itu bisa tergapai hanya dengan selangkah lagi?

"Duh, La. Kita tuh harus bisa jadi pemenang. Lo nggak penasaran apa hadiahnya?" Masih dengan langkah tergesa, Ica menjawab.

Lala sama sekali tak peduli dengan hadiah apapun itu. Baginya, sebuah penghargaan seperti itu tak ada arti dan manfaatnya. Dia lebih dari sekadar mampu untuk membelinya.

Melihat betapa antusiasnya Ica, Agatha pun tidak tega untuk menolak. Itu sebabnya dia memilih untuk ikut membujuk Lala.

"La, kita 'kan disuruh nyari tanda tangan OSIS. Itu berarti kita juga harus ketemu sama si Ketua OSIS. Lo yakin nggak mau ikut?"

Lala terdiam sejenak. Berpikir apakah ini adalah kesempatan yang bagus untuk memastikan perasaannya? Pada akhirnya, Lala menyerah. Membuat Ica berseru senang

Dengan begitu, mereka bertiga pun memulai perburuan.

🌷🌷🌷

Hai, aku minta maaf karena baru bisa upload tengah malem gini. Tapi aku bener-bener sibuk belakangan ini. Mulai dari legalisir ijazah, daftar ulang, nikahan sepupu, siap-siap sekolah, ngerjain tugas, dll. Aku harap kalian ngerti:(

See You!

A ReasonWhere stories live. Discover now