59. Penjelasan

24 3 0
                                    

"Sebenernya ini ada apaan sih? Sabotase apa? Dalang dari apa?" Ivan bertanya bingung.

Alvina dan Dika saling memandang. Sama-sama enggan untuk menjelaskan. Bagi mereka, semua yang terjadi adalah kenangan yang amat buruk. Dan menceritakan kembali kisah itu hanya akan memberi air garam pada luka.

Karena itu, Joseph yang mengambil alih. "Sepulang dari olimpiade, Lala menjadi salah satu korban bully di sekolah. Kenapa? Karena kebiasaan sekolah, kalau ada yang kalah olimpiade pasti akan dibully—"

"Lala jadi korban bully?!" potong Arya.

Arya yang awalnya duduk diam, tiba-tiba saja berdiri. Tangannya mengepal di kedua sisi. Wajah yang tadinya kalem berubah ganas.

"Lala dibully? Kenapa kalian nggak cerita dari awal?" tanya Hanif.

Tak ada yang menjawab. Namun, dalam hati ketiga remaja itu menggerutu. Tadi saja Hanif tak memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan.

"Sebenernya ada masalah apa sih? Gue bingung jadinya. Lala udah nggak ada tapi masih aja diributin, nggak bisa ya biarin Lala tenang?" Ivan mengacak-acak rambutnya kasar. Dia benar-benar merasa bersalah karena gagal menjadi kakak yang baik.

Ivan gagal melindungi Lala.

"Ceritain semua dengan jelas. Dari awal sekali. Sekalian perkenalan juga, saya nggak kenal kalian siapa. Setahu saya juga, kalian bukan temennya Lala. Dia cuma punya dua teman dari dulu. Ica dan Agatha." Cesya angkat suara.

"Lo aja yang cerita, lo ketua OSIS. Lo bertanggung jawab sama semua hal yang terjadi di sekolah. Apalagi lo cowoknya Lala, lo lebih tau tentang dia daripada gue sama Alvina," kata Joseph pada Dika.

Dika menghela napasnya. Apa yang dikatakan Joseph memang benar. Apalagi, dia juga turut andil dalam kasus ini.

"Sebelumnya perkenalkan, saya Andika Mahardika. Ketua OSIS SMA Major, sekaligus pacar dari Lala."

"Lala punya pacar?" potong Arya. Keningnya mengerut tampak tak senang.

Ivan menarik tangan Arya. "Biarin mereka jelasin dulu. Tapi kayaknya lebih enak kalau kita ke ruang tamu aja. Biar semuanya bisa duduk tenang."

Sesuai kata Ivan, kini semua orang duduk di ruang tamu. Dika, Joseph, dan Alvina duduk di sofa dengan Alvina berada di tengah. Di depan mereka, Cesya, Ivan, dan Arya duduk dengan Cesya berada di tengah. Sementara Hanif ada di sebelah kiri mereka. Duduk di sofa tunggal.

"Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, saya pacar dari Lala. Belum lama sih, hanya beberapa bulan. Saya juga sudah beberapa kali kemari, tapi rumahnya selalu sepi."

"Ngapain ke sini?!" sewot Arya. Dia benar-benar tidak suka dengan fakta jika Lala ternyata sudah memiliki kekasih.

Ivan menepuk paha Arya. "Ish, dibilangin biarin mereka jelasin dulu."

"Dih, apaan sih?!" Dika yang melihat pertikaian itu pun berdekhem. Seketika, semua atensi kembali padanya.

"Saya ke sini buat nganter dan jemput Lala sekolah."

"Balik ke topik awal. Saya minta maaf sebelumnya, karena saya adalah salah satu orang yang sudah menyakiti hati Lala. Saya mutusin hubungan kami secara sepihak, karena saya dijodohkan. Tapi saya nggak jujur dan malah bersikap seakan percaya sama rumor yang tersebar di sekolah," lanjut Dika.

"Kalau nggak niat ngejelasin, suruh aja temen lo yang jelasin. Nggak jelas amat tiba-tiba ada rumor di sekolah." Arya sekali lagi berkomentar.

Dika menghela napas. Kesal juga dengan kakak dari Lala itu. Namun, dia berusaha menjaga emosi. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa masuk jika bukan karena Arya.

"Semuanya dimulai setelah Lala pulang dari ibukota. Sebelumnya, Lala itu anak yang dipuja-puja karena prestasi dan karyanya. Setelah Lala gagal jadi juara Olimpiade Nasional, dia dibully di sekolah. Hal ini sangat normal sebenernya, karena semua orang yang gagal bawa juara di olimpiade nasional akan jadi korban bully juga." 

"Maksud lo ngebully orang itu wajar? Dasar manusia nggak beradab! Lagian budaya sekolah lo aneh banget. Gagal juara satu nasional aja dibully sampe segitunya. Padahal yang ngebully kalau ikut olimpiade belum tentu sampai ke nasional. Jangankan nasional, dia aja nggak bisa ngalahin Lala di tingkat sekolah." Kali ini Ivan tak lagi mencegah Arya untuk bersuara, sebab dia pun setuju.

"Kita juga nggak mau ada pembullyan, Kak. Sejak saya jadi Ketua OSIS, setiap pembullyan yang terjadi di sekolah selalu dibawa ke ranah hukum. Dua tahun ini, kita cuma kecolongan dua kali. Salah satunya ya kasusnya Lala ini," kata Dika.

"Lanjut masalah Lala tadi. Berdasarkan keterangan dari beberapa orang, pembullyan Lala beberapa kali pernah kepergok dan gagal dilakuin. Beberapa kali juga Lala ngelawan dan bikin lawannya takut. Oh, untuk beberapa orang yang terang-terangan ngebully Lala, mereka udah diamankan."

"Terus gunanya investigasi ini apa? Katanya dia dituduh jadi pelaku." Arya menunjuk pada Alvina.

"Kayak apa yang udah gue--"

"Yang sopan kalau ngomong! Udah bener tadi pakai saya," potong Arya.

Menghela napas, Dika kembali melanjutkan. "Seperti apa yang sudah saya katakan tadi. Ada yang nyebar rumor di mading sekolah. Waktu itu di mading sekolah, ada foto Lala yang lagi ... maaf dicium sama satu cowok dan dipegang sama dua cowok lain. Di foto lain, Lala juga keliatan intim banget sama seorang cowok, kalau dari latarnya sih keliatan ruang OSIS, tapi masih saya investigasi lebih lanjut. Sedangkan satu foto lagi adalah foto Lala yang lagi mau masuk apartemen malem-malem. Waktu itu, sekolah gempar sama tiga foto itu, tapi saya jelas nggak percaya. Saya yakin Lala adalah anak baik-baik. Sayangnya, saya malah pura-pura percaya supaya bisa putus sama Lala."

Arya tertunduk. Lidahnya benar-benar kelu. Tak sanggup mengucap sepatah kata pun.

"Walaupun Lala bilang foto itu nggak diedit tapi saya--"

"Foto itu emang bukan editan," potong Arya dingin.

Dika terkejut mendengarnya. Begitu pula Alvina, Joseph, dan kedua orang tua Lala. Hanya Ivan yang biasa saja. Kali ini dia lebih mengkhawatirkan kondisi Arya. Kematian Lala sudah memukul telak kewarisan adiknya itu. Apalagi kenyataan bahwa peristiwa lampau yang mengerikan itu menyumbangkan setitik luka lagi untuk Lala.

Ivan takut jika Arya pun turut tertekan dan merasa bersalah. Sudah cukup atas apa yang terjadi pada Lala. Ivan tidak ingin kembali kehilangan adiknya. Dia ... tidak ingin kembali menjadi kakak yang buruk.

"Jaga omongan kamu, Arya! Lala itu perempuan baik-baik." Hanif berteriak marah.

"Pa, jangan teriak ke Arya! Lala emang penah jadi korban pelecehan sesksual temennya Arya pas mereka main ke sini. Kasus itu udah lama banget, tapi dia baru berani cerita baru-baru ini. Kasusnya barusan kita selesaiin, sayangnya di hari putusan, kita malah dapet kabar buruk." Ivan memegang tangan Cesya, memintanya untuk bertukar tempat duduk.

Ivan memeluk Arya. Menepuk punggung adiknya pelan. Dia tahu pelukan dan tepukan darinya tak akan membantu banyak, tapi setidaknya Arya tidak akan merasa sendirian.

"Seandainya gue lebih peduli. Seandainya gue nggak mentingin diri sendiri. Seandainya gue bisa jadi kakak yang baik, mungkin Lala masih ada di sini, Kak," isak Arya.

Ivan berusaha untuk tegar. Walau dia pun merasa buruk. Walau hatinya pun penuh sesal. Walau otaknya pun penuh dengan perandaian. Ivan selalu berusaha terlihat baik di depan Arya, sebab adiknya itu pasti lebih terpukul.

"Nggak perlu khawatir. Kita mungkin terlambat, tapi itu lebih baik daripada enggak sama sekali. Kalau kalian beneran menyesal, tolong bantu kami dalam penyelidikan ini. Bantuan dari kalian pasti akan sangat berarti, mengingat keluarga kalian sangat berpengaruh. Setidaknya kalau kita berhasil menyelesaikan kasus ini, Lala akan pergi dengan tenang." Kali ini Alvina yang membuka suara, matanya menatap penuh tekad.

"Semua orang yang bersalah harus mendapatkan balasan yang setimpal, termasuk anak jurnalis yang pegang kunci mading."

***

TBC

A ReasonOù les histoires vivent. Découvrez maintenant