56. Petunjuk Pertama

15 2 0
                                    

Dika termenung di depan meja belajarnya. Beberapa hari yang lalu, dia juga duduk di sini. Meratapi perpisahannya dengan sang kekasih. Kemudian sebuah telepon mengabarinya jika Lala mengalami kecelakaan.

"Kalau aja hari itu kita nggak putus, apa sekarang lo masih hidup, La?" gumamnya.

Sejujurnya, Dika bingung. Dia tidak mengerti siapa yang harus disalahkan atas semua yang telah terjadi. Semuanya terlalu rumit.

Apa ini semua karena Alvina? Wanita itu yang pertama kali menerima perjodohan mereka. Pun yang memintanya memutuskan Lala. Tapi kalau begitu ... Dika pun patut disalahkan karena tak memiliki pendirian dan sikap yang tegas atas hubungannya.

"Seandainya waktu bisa diulang. Gue janji nggak bakal jadi pecundang."

Dika tanpa sengaja menatap sebuah amplop yang tergeletak di mejanya. Ah, Dika baru ingat jika dia belum membuka surat dari Lala.

Dengan segera Dika membuka amplop itu. Tangannya gemetaran. Menebak apa yang sebetulnya ada di dalam amplop itu.

________________

To : My Dear

Hai, Kak. Banyak hal yang aku pengen bilang ke kamu. Tapi, apa aku bisa? Rasanya waktu kita ketemu lagi nanti, mungkin bakalan canggung.

Kak, kalau nanti aku nggak banyak bicara, itu berarti aku sedang berusaha mengendalikan perasaanku. Enggak tau kenapa, aku ngerasa akan terjadi hal yang buruk besok. Kalau terjadi beneran juga gapapa sih. Seenggaknya kalau hubungan kita berakhir buruk, kamu nggak akan ngerasain sakit kayak yang aku rasain.

Terima kasih atas segalanya. Terima kasih untuk tawa bahagia juga tangis kesedihan yang kamu berikan. Aku pamit undur diri. Semoga kamu mendapat kebahagiaan yang kamu cari.

Your Princess, Lala

___________________

Surat yang Dika pegang itu perlahan basah. Lelaki itu tak sanggup menahan air matanya. Dadanya mendadak sesak saat menyadari jika Lala sudah benar-benar pergi.

"Maaf, La, maaf. Jangan tinggalin gue, tolong," isak Dika.

Andai saja Dika bisa lebih tegas dalam mengambil keputusan. Andai saja Dika tidak menuruti permintaan Alvina kala itu. Andai saja Dika bisa menjadi tempat Lala pulang, atau setidaknya berdiri melindungi gadis itu kala tengah rapuh.

Sayangnya, semua perandaian itu sama sekali tidak berguna. Perandaian itu tak akan membuat Lala kembali hidup. Kini, penyesalan lah yang tersisa.

"Gue harus apa, La? Kerja sama bareng Alvina? Dia udah jahat sama lo, dia yang nyuruh gue mutusin lo." Setelah menggumamkan hal itu, Dika baru saja menyadari sesuatu.

Apa jangan-jangan Alvina sengaja nyuruh gue mutusin Lala supaya dia makin rapuh?

Astaga, Dika tidak ingin mempercayai asumsi itu. Bagaimanapun, Alvina adalah temannya sejak kecil. Dika adalah saksi betapa baiknya seorang Alvina selama ini.

Namun ... kenapa semuanya menjadi lebih masuk akal?

Seseorang yang menjadi dalang dari semua kejadian ini sudah pasti memiliki kekuatan setara dengan Lala, Alvina contohnya. Gadis itu pun sering dianggap sebagai saingan dari Lala. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya, dia ingin menyingkirkan Lala.

"Tapi mana mungkin? Alvina nggak pernah pakai kekuatan keluarganya buat keperluan pribadi. Apalagi sampai menimbulkan masalah sebesar ini. Lagipula orang tuanya juga nggak mungkin—"

Dika terdiam kala menyadari sesuatu yang salah. Selama ini, orang tua Alvina terlihat sekali memiliki niatan untuk menjadikan dirinya sebagai menantu. Bahkan mereka tak segan untuk memanfaatkan kesusahan keluarganya untuk menjalankan niat mereka itu.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang