23. Triangle or Quadrangle Love?

16 2 0
                                    

Berbeda dengan pagi sebelumnya, kini Dika tengah mematut dirinya di cermin. Tangannya bergerak merapikan kerah bajunya. Rambutnya ia sisir dengan rapi. Penampilannya begitu cocok dengan jabatannya sebagai Ketua OSIS.

Dika turun dari kamarnya dengan semangat. Membuat Monica mengernyit heran. Tumben sekali anaknya itu. Biasanya, putra sulungnya itu baru mau turun setelah ia memanggil.

"Tumben kamu udah turun. Ada angin apa?" Monica bertanya heran.

Satu orang lain yang berada di meja makan masih menyeruput kopinya dengan tenang. Tampak tak acuh pada interaksi ibu dan anak itu.

"Ada deh, mama kepo aja." Dika duduk dengan tenang di sebelah Nevan. Menunggu adiknya turun.

Nadiva turun dari kamarnya dengan sedikit berlari. Membuat Dika yang panik bergegas menghampirinya. Tak lupa dengan seruan paniknya.

"Nanad, jangan lari-lari!" Dika menarik Nadiva ke dalam pelukannya.

Mereka masih berada di pertengahan tangga. Dengan posisi Dika yang membelakangi lantai bawah. Serta Nadiva yang berada dalam dekapannya

"Ih, Abang, jangan peluk-peluk! Nanti baju Nanad kusut," rengek Nadiva.

Dika melepas pelukan. Kedua tangannya beralih menangkup pipi adiknya. Pancaran matanya jelas sekali kekhawatiran di dalamnya.

"Makanya Nanad nggak boleh lari-lari, Sayang. Abang takut kamu jatuh tau!" kesal Dika.

Monica tersenyum melihat interaksi kedua anaknya. Dia sangat bangga karena berhasil menjadi ibu yang baik. Buktinya, kedua anaknya dapat saling menyayangi satu sama lain tanpa ada rasa iri di dalamnya.

Dika menggandeng adiknya untuk turun ke meja makan. Dengan perlahan tentunya. Dia tidak ingin adiknya lecet sedikit pun. Dasar over protektif!

Nadiva yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam. Bagaimanapun, gadis kecil itu tahu jika abangnya melakukan ini untuk kebaikannya. Jadi selama itu tidak merugikannya, Nadiva tak akan menolak perintah Dika.

"Abang kok tumben udah turun? Biasanya harus diteriakin sama mama dulu." Nadiva akhirnya mengutarakan keheranannya.

"Mau jemput seseorang," jawab Dika. Tangannya mulai mengambil satu persatu makanan yang ada di meja.

Monica yang duduk di samping Nadiva mendengkus kesal. Tadi ia melontarkan pertanyaan yang sama, tapi putra sulungnya itu tak mau menjawab. Giliran si bungsu yang tanya saja langsung dijawab.

"Mau jemput siapa sih? Alvina?" Monica kembali melontarkan pertanyaan. Namun, dia dibuat kesal saat mendengar jawaban anaknya.

"Ada deh. Rahasia pokoknya. Mama kepo banget sih dari tadi." Dika menjawab usil. Dia sangat menyadari jika ibunya itu sedang dirundung amarah.

"Terserah kamu. Awas minta uang jajan ke mama!" Monica merajuk, yang membuat tawa Dika menggelegar.

Nevan tersenyum tipis menatap keharmonisan keluarganya. Sedikit bangga sebab berhasil mempertahankan kehangatan keluarga selama belasan tahun. Semuanya berkat peraturan yang ia berlakukan.

Di keluarga Mahardika, sangat dilarang untuk makan di luar terlalu sering kecuali bersama keluarga. Pengecualian juga terjadi jika sedang sekolah atau event tertentu. Hal ini membuat mereka sering berkumpul walaupun hanya untuk makan bersama.

Nevan harap, keharmonisan ini akan bertahan seumur hidupnya. Bahkan, kalau perlu dia berharap anak sulungnya dapat meneruskan tahtanya. Membangun keluarga yang harmonis dan bahagia.

Semoga.

🌷🌷🌷

"Mau jemput siapa sih, Kak? Jangan rahasia-rahasia gitu deh. Mama nggak suka ya!" Monica terus mengomel sepanjang perjalanan dari ruang makan hingga ke depan rumah.

A ReasonWhere stories live. Discover now