7. Awal Mula Kehancuran

23 3 0
                                    

Alvina sudah menuruni panggung. Saat ini, ia duduk di samping sahabat laki-lakinya. Dika menyambutnya dengan semangat.

"Kamu keren banget! Hebat!" Andika memeluk Alvina, perempuan yang begitu ia sayangi. Sama halnya dengan ia menyayangi Nadiva.

Melihat penampilan memukau dari sahabatnya itu, tentu saja menimbulkan perasaan bangga tersendiri baginya. Hingga tak ada kata lain yang dapat mengekspresikan kekagumannya selain sempurna. Juga, ada hal lain yang sebenarnya ingin dia sampaikan.

"Aqila juga, dia keren banget. Suaranya gila," terangnya menggebu-gebu.

Seketika senyum Alvina luntur dan hal itu disadari oleh Andika. Namun, lelaki itu tidak ambil pusing. Masih sibuk berceloteh mengenai kekagumannya kepada Lala.

Sedangkan Alvina sedang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tidak enak muncul dari dalam hatinya. Seperti takut dan cemburu.

Alvina tidak mengerti, mengapa ia justru merasa tidak suka saat mendengar pujian dari sahabat laki-lakinya untuk Lala? Padahal ini bukan pertama kalinya Andika memuji perempuan lain di hadapannya. Namun, responnya selalu bagus.

Dan seharusnya saat ini juga begitu. Seharusnya ia dengan bangga memperkenalkan Lala sebagai temannya. Seperti apa yang biasa ia lakukan dari dulu. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

Di sisi lain, perasaan tidak enak itu semakin menyeruak. Alvina merasa takut jika saja harus kehilangan. Setelah melihat bagaimana Lala melupakannya sesudah mengenal Ica, Alvina sama sekali tak ingin mempercayai gadis itu lagi.

Bagaimana jika kejadian yang lalu terulang kembali? Bagaimana jika nantinya Lala akan mendekatinya hanya untuk mendapat perhatian dari Dika? Tidak, Alvina tidak akan membiarkan itu terjadi.

Walaupun dulu ia sempat berpikir bahwa dia akan baik-baik saja saat Dika menemukan perempuan yang cocok menjadi pasangannya, kenyataannya tidak demikian. Alvina tiba-tiba saja ingin merutuki dirinya di masa lalu yang terlalu naif.

Alvina tidak akan kalah. Dia akan membentengi seluruh perbatasan antara Dika dan perempuan selain dirinya dan keluarga sahabatnya itu. Memastikan bahwa Andika akan selalu bersamanya. Menjadi miliknya.

🌷🌷🌷

Hari keempat sekolah. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah telah usai. Saat ini, hasil pemetaan kelas keluar. Siswa baru tak lagi memiliki kelas sesuai gugus, melainkan sesuai kelas masing-masing yang sudah dibagi melalui tes beberapa hari yang lalu.

Alvina bersama murid yang lain berbondong-bondong mendatangi mading. Hal yang Alvina hampiri adalah dua kertas yang ditempel berbeda tempat dengan yang lainnya. Dua kertas itu adalah pengumuman siswa yang memasuki kelas C dan D. Dua kelas yang merupakan kelas unggulan.

Kelas unggulan, atau yang biasa disebut bilingual class adalah salah satu hal yang diidamkan seluruh siswa. Walaupun mereka diwajibkan untuk belajar Matematika dan IPA dengan dua bahasa, fasilitas yang diberikan tidak main-main. Kelas ber-AC, ada loker di kelas, hingga dispenser panas dingin yang sudah disiapkan khusus dua kelas bilingual itu.

Alvina mengarahkan kedua matanya menyusuri kertas pertama. Berisikan murid-murid yang berhasil memasuki kelas C. Diurutkan berdasarkan peringkat nilai dalam tes beberapa waktu lalu.

Alvina sedikit gusar kala tidak menemukan namanya di kertas pertama. Gadis itu bergeser. Meneliti kertas satunya yang berisikan siswa kelas D. Berharap namanya terukir di sana. Tak peduli peringkat akhir pun.

Namun, harapan hanya tinggal harapan. Alvina tidak menemukan namanya dalam kedua kertas yang ditempel terpisah itu. Mencoba tak percaya, Alvina kembali membaca kertas kelas C. Sekali lagi berharap namanya ada di sana.

Tak menemukannya, Alvina berpindah ke kertas satunya. Terus begitu hingga seseorang yang juga ingin melihat pengumuman menegur.

"Woi, itu yang udah minggir. Jangan ngehalangin. Kalau nama lo nggak ada yaudah, jangan maksa sampe mondar-mandir."

Alvina kelabakan. Dengan segera ia menyingkir. Dia sadar jika yang orang itu tegur adalah dirinya.

Alvina beralih menuju sembilan kertas yang ditempel berdekatan. Pengumuman kelas A sampai K—tanpa C dan D tentunya. Kelihatan biasa saja, tapi dalam hati ia gelisah setengah mati.

Alvina mulai menelusuri kertas yang berisikan siswa yang memasuki kelas A. Untungnya, dia menemukannya di urutan pertama.

Kelas selain unggulan, menggunakan sistem peringkat untuk pembagiannya. Sebab itu, kelas A selalu dianggap setara dengan kelas unggulan dan kelas K dianggap yang paling bodoh. Setidaknya hal itulah yang Alvina syukuri.

Alvina melangkahkan kaki menuju kelasnya yang baru. Sembari mengutuk dirinya sendiri karena bisa-bisanya kalah dari peringkat terakhir kelas unggulan. Apalagi dengan selisih nilai yang hanya setengah poin.

Sesampainya di kelas, Alvina memilih bangku paling depan. Baris kedua dari kiri. Tepat di depan papan tulis. Dia sadar dirinya tidak terlalu pintar. Maka tempat seperti ini akan sangat membantu.

Dalam hati gadis berusia tiga belas tahun itu mencoba menenangkan diri. Sebab ia tahu, sebentar lagi akan ada bencana yang menyambutnya. Apalagi setelah melihat nama seorang Aqila Azzahra di peringkat satu kelas C tadi.

🌷🌷🌷

Seperti yang sudah gadis itu prediksi di sekolah. Saat ini Alvina tengah berdiri di hadapan ibunya. Kepalanya menunduk, sama sekali tak berani menatap mata yang kini menatapnya tajam.

"Tau kesalahan kamu apa?" tanya Firda to the point.

"Nggak masuk kelas unggulan," cicit Alvina.

Sejujurnya, Alvina sama sekali tidak merasa masuk kelas biasa adalah kesalahan. Toh dia masuk kelas A dengan peringkat pertama. Kemampuannya tak beda jauh dengan anak kelas unggulan.

Lagipula, Alvina akan semakin tersiksa jika masuk kelas unggulan. Dia tidak pintar matematika ataupun IPA. Padahal dua mata pelajaran itulah yang menjadi kunci utama masuk kelas unggulan. Alvina benar-benar sadar di mana batas kemampuannya. Dia tidak ingin memaksakan.

"Bagus! Harusnya kamu tuh belajar bukannya main terus. Liat kan sekarang apa akibatnya?"

Alvina masih diam. Membiarkan ibunya berceloteh panjang lebar. Mengenai sesuatu yang sebetulnya tak pernah ia lakukan.

Alvina membiarkan. Sebab melawan pun rasanya percuma. Tak akan ada yang mengerti dirinya selain seorang Andika Mahardika. Oleh karena itu, Alvina tak ingin kehilangan sahabatnya itu.

"Harusnya kamu contoh tuh Lala! Dia peringkat satu kelas unggulan. Katanya kamu temenan sama dia, harusnya kamu belajar dari dia dong."

Kepala yang sedari tertunduk seketika mendongak. Menatap ibunya tidak percaya.

Selama ini, ibunya tidak pernah memuji temannya. Firda selalu membandingkan Alvina dengan anak temannya yang wujudnya tidak pernah gadis itu lihat. Sebab itu, anak tunggal keluarga Alexander itu tidak pernah menganggap serius. Berpikir bahwa ibunya mengatakan hal itu hanya karena kekesalan semata.

Tapi kali ini, ibunya memuji Lala. Seseorang yang sudah ia lihat jelas wujudnya. Seseorang yang Alvina takuti akan menjadi saingannya.

Seseorang yang lebih dari mampu untuk merebut segala yang ia punya.

***
To Be Continued

Holaaa, kalian lagi libur juga nggak? Seneng banget euy, istirahat setelah pusing mikirin sekolah.

See You!

A ReasonWhere stories live. Discover now