27. Awal Kisah Cinta

10 3 0
                                    

"Ica!" teriakan itu membuat sang empunya nama menoleh.

Menelisik dalam keramaian, Ica belum kunjung menemukan seseorang yang baru saja memanggilnya. Hingga tepukan tangan di bahunya membuatnya tersadar dari kebodohannya. Tadi suara itu berasal dari kanan, tapi ia malah menoleh ke kiri.

Ica yang masih cengengesan karena kebodohannya seketika melunturkan senyumannya kala melihat siapa yang ada di hadapannya. Omo! Ketua OSIS kini berdiri di hadapannya. Pujaan hati dari sahabatnya.

Ada keperluan apa hingga membuat laki-laki penuh wibawa itu menghampirinya? Apa jangan-jangan selama ini Dika suka padanya? Ah, plot twist sekali! Tapi ia sama sekali tidak berminat untuk menikung sahabatnya tercinta.

"Kak, gue minta maaf banget. Tapi gue nggak ada niatan buat nyakitin hati sahabat gue sendiri," ucap Ica tiba-tiba dengan serius.

Sedangkan Dika mengerutkan keningnya. Menyakiti hati temannya? Apa maksudnya?

Maka untuk menghilangkan kecanggungan, ia tertawa paksa. Menganggap yang baru saja dikatakan Ica itu lelucon. Yang padahal tawaannya justru membuat kesal gadis di hadapannya.

"Kok ketawa?! Gue nggak bercanda loh, Kak!" seru Ica kesal.

Dika semakin bingung. Jadi sebelum semuanya semakin runyam, putra sulung Mahardika itu mengutarakan niatnya.

"Gini, gue cuma mau minta tolong sama lo, boleh?"

Raut wajah kesal Ica lagi-lagi berubah menjadi serius. "Minta tolong apa?"

Dika melirik sekitarnya sejenak. Memastikan tidak ada yang sedang memperhatikan mereka. Kemudian mendekatkan kepalanya ke Ica. Membuat gadis itu refleks mundur.

"Eh, Kak, lo mau ngapain?!" pekik Ica kaget. Suara nyaring itu jelas saja menarik perhatian banyak orang. Apalagi yang menjadi pemerannya adalah sang ketua OSIS dan si jenius biologi.

Dika menggeram. Rencananya untuk berbicara tanpa menarik atensi orang lain gagal. Jika begini, ia harus mengotori tangannya lagi nanti.

"Gue minta nomornya Lala. Kirim ke Instagram gue, ya! @DikaMahar_ . Gue pergi dulu," bisik Dika sedikit keras. Dia sudah memastikan hanya mereka berdua yang bisa mendengar suaranya.

Sebelum kembali ke tempat duduknya, Dika menghampiri seorang laki-laki yang duduk diam di mejanya. Tanpa ragu Dika mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah. Diberikannya uang itu secara cuma-cuma.

"Jangan sampai ada berita tentang ini. Tolong bantu redupin gosip gue sama Ica, timpa pakai gosip lain."

🌷🌷🌷

Selama kurang lebih tiga tahun bersekolah di SMA Major, ada satu hal yang membuat Dika merasa sekolah ini tak berbeda dari yang lain. Hal itu adalah para siswa diharuskan mengisi data diri dalam formulir. Dia jadi berpikir ke mana semua data yang ia kumpulkan waktu itu.

Pernah suatu ketika Dika bertanya, untuk apa pengisian formulir terus dilakukan. Dan jawabannya sangat klise, untuk memperbarui data siswa. Padahal kalau ditilik kembali, akan lebih efisien jika data itu dimasukkan dalam sebuah website sekolah yang bisa diakses oleh siswa. Kemudian siswa dapat mengubah data dirinya dengan masuk ke sebuah akun khusus.

Kembali ke awal, Dika kini tengah mengisi formulir data dirinya. Lelaki itu menuliskan alamat lamanya pada kolom alamat. Biar saja, toh rumah itu tak dijual oleh ayahnya, pikir Dika.

Sebenarnya, Dika itu sangat menjaga privasinya. Tidak ada yang boleh mengusik area pribadinya. Seperti ruangan khusus Ketua OSIS, rumah, dan lainnya. Di rumah, orang tua bahkan adiknya tak pernah memasuki kamarnya selain untuk membangunkan atau memanggilnya.

A ReasonWhere stories live. Discover now