28. Akhir Kisah Cinta?

11 2 0
                                    

Joseph sudah lama memikirkan hal ini. Tapi ia tak kunjung menemukan titik terang. Hingga akhirnya ia membuat keputusan terberat, mengungkapkan perasaannya.

Tentu saja ia melakukannya dengan berat hati. Sebab setelah ini, semuanya tak akan sama lagi. Jika asumsinya benar, maka tak ada lagi kesempatan untuknya berdekatan dengan Alvina.

Menyedihkan memang, tapi jika ditahan pun rasanya percuma.

Maka di sinilah kedua insan itu berada. Rooftop sekolah pada pagi hari di hari Senin. Sengaja memilih tempat dan waktu ini agar tidak ada yang mengganggu.

"Ekhem, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Joseph membuka pembicaraan.

Alvina terkekeh garing. Dia merasa sangat aneh dengan kelakuan temannya yang satu ini. "Ya ngomong aja kali, Kak. Kok keliatannya serius banget sih."

"Ini emang serius." Joseph yang tadinya menyanggakan siku ke pagar pembatas mengubah posisi menjadi berdiri tegak.

"Gue suka sama lo," lanjutnya.

Hening melanda. Joseph sangat tahu bahwa fakta ini pasti akan sangat mengejutkan Alvina. Karena itu ia tak akan mendesak Alvina untuk menjawab.

Itu rencananya, tapi kenyataannya kini ia justru merasa kesal saat tak kunjung mendapat jawaban. Sehingga ia kembali membuka suara.

"Jadi gimana?" tanya Joseph.

"Gimana apanya?"

Joseph menghela napas lelah. Dia tahu kalau sebenarnya perempuan di hadapannya ini mengerti maksudnya. Hanya saja dia berpura-pura tak tahu.

"Lo mau jadi pacar gue?"

Alvina menundukkan kepalanya. Dari getaran bahu gadis itu, Joseph dapat mengetahui dia menangis. Membuatnya tanpa sadar mengepalkan tangan.

Baru di awal saja, Joseph sudah membuat gadisnya menangis.

"Maaf, Kak. Gue nggak bisa."

Joseph tahu. Dia sadar dari awal bahwa Alvina sama sekali tak memiliki perasaan kepadanya. Tapi saat mendengarnya secara langsung membuat jantungnya serasa diremas.

"Kenapa?" Suara Joseph terdengar parau. Hal itu semakin membuat Alvina semakin merasa bersalah.

"Karena gue nggak punya perasaan lebih dari teman buat lo," jawab Alvina jujur.

"Tapi perasaan bisa muncul karena terbiasa, Vin. Kita bisa pacaran tanpa perasaan dulu. Terus nanti gue bakalan berusaha buat dapetin hati lo. Gue yakin kok kalau kita bakal saling mencintai nantinya."

Tidak. Bukan itu yang ingin Joseph ucapkan. Tapi dia tak mampu mengendalikan perasaannya hingga berakhir memaksakan kehendak.

"Iya, kita bisa. Tapi apa ada jaminan kalau gue bakal cinta sama lo nantinya? Gue cuma nggak mau nyakitin lo lebih dari ini."

Hening setelahnya. Alvina hanya menatap kosong dengan kepala menunduk. Sementara Joseph terus menatap gadis di hadapannya.

"Lo suka sama Dika, kan?"

Akhirnya kalimat itu terlontar. Membuat atensi Alvina kembali ke lelaki yang baru saja menyatakan cintanya. Mulai mempertanyakan mengapa Joseph bisa berpikir seperti itu.

Alvina sendiri tak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya merasakan kenyamanan yang berbeda saat bersama Joseph. Tapi di sisi lain, gadis itu juga merasakan ketidaknyamanan saat melihat kebersamaan antara Lala dan Dika.

Namun, Joseph tak mungkin mengambil kesimpulan begitu saja. Perilakunya selama ini mungkin saja menunjukkan perasaannya pada Dika. Pemikiran itu membuat Alvina mengepalkan tangannya juga tanpa sadar.

Sedangkan Joseph, lelaki itu terkekeh miris. Melihat reaksi Alvina, bukankah itu berarti spekulasinya benar? Tapi ia masih tidak ingin percaya sebelum mendengarnya langsung dari gadisnya.

"Jawab, Vin," pinta Joseph.

"Iya, gue cinta sama Kak Dika."

Dan hancurlah harapan yang sudah Joseph bangun. Seluruh asa yang ia pertahankan selama ini patah dengan satu kalimat itu. Ditambah dengan perginya gadis yang dicintainya.

Alvina pergi, tanpa menoleh padanya sedikit pun.

Joseph mendudukkan dirinya di sofa. Tempat yang biasa ia tempati bersama Alvina. Tempat mereka saling berpelukan dan berbagi kehangatan. Membuatnya tak menyadari jika dibalik pintu masih ada sosok yang bersandar.

Alvina memegang dada kirinya. Rasanya ... sakit sekali. Tapi ini mungkin lebih baik.

Joseph tak boleh terseret dalam kegelapan hidupnya.

🌷🌷🌷

Berakhirnya jam pelajaran adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Karena itu artinya, mereka bisa pulang dan beristirahat. Sayangnya, itu tidak berlaku kepada semua murid. OSIS contohnya.

Dika merutuki organisasinya yang mengharuskan berada di sekolah lebih lama. Ia bahkan baru saja kembali dari pertemuan di luar sekolah, tapi ia harus menghadiri sekaligus memimpin rapat. Jika bukan karena keinginannya untuk belajar menjadi pemimpin, maka sudah lelaki itu pastikan kini ia sedang berbaring menikmati kelembutan kasur di kamarnya.

Ah sudahlah, tidak ada habisnya jika terus diumpati. Lebih baik ia segera memulai dan mengakhiri rapat. Agar nanti ia bisa segera beristirahat di rumah.

Sayangnya, fokus seorang Andika Mahardika tiba-tiba saja teralihkan saat matanya menatap seorang gadis yang tengah berjalan terburu-buru. Tanpa alasan lelaki itu memutar langkahnya. Sedikit berlari untuk mengikuti seseorang itu.

"Kenapa, Kak?" Dika yang ditanyai seperti itu langsung terbatuk. Sesungguhnya dia hanya salah tingkah karena tak tahu apa alasannya menghampiri gadis bermata hitam itu.

"Lo mau kemana? Kok buru-buru?" Akhirnya Dika menjawab seperti itu setelah beberapa lama berpikir.

Lala mengerutkan kening heran, kemudian ia menjawab, "Mau pulang. Kan sekarang udah waktunya pulang."

Bodoh!

Dika merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu. Kini lelaki itu bingung meletakkan wajahnya di mana saking malunya. Entah apa yang Lala pikirkan tentangnya.

"Kak, kok diem?" ucap Lala menyadarkan Dika yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Eh? Gapapa. Kalau gitu hati-hati ya pulangnya. Gue mau rapat OSIS dulu." Kemudian Dika meninggalkan Lala begitu saja. Dia sudah tak tahan menahan malu.

Dika melangkah dengan tergesa. Tak sanggup lagi hanya untuk menoleh ke belakang. Benar-benar memalukan.

Dika memasuki ruang OSIS. Lelaki itu duduk di kursi kebanggaannya. Di ujung meja oval tempat anak OSIS biasa berdiskusi.

Seperti dugaannya, ruang OSIS masih sepi. Membuat Dika menghela napas kesal sebab harus menunggu. Tak bisakah manusia-manusia itu lebih disiplin? Ia saja yang baru kembali sudah berada dalam ruangan.

Tak lama, ketukan pintu terdengar. Diikuti tiga orang pemuda memasuki ruangan. Tentu saja itu adalah Joseph, Joshua, dan Suryo. Mereka baru kemari setelah melihat Dika kembali karena malas menunggu.

"Lah? Pada belum dateng?" Joshua mengoceh. Kiranya, mereka bertiga sudah terlambat.

Dika tak menjawab. Hanya memejamkan matanya lelah. Bingung harus bagaimana lagi mendisiplinkan anggotanya.

"Tolong kabarin lewat grup. Lima menit mereka nggak sampai sini, gue coret nama mereka dari daftar anggota OSIS," pinta Dika dengan mata yang masih terpejam. Tangannya memijit pelan pelipisnya. Juga punggungnya ia sandarkan pada kursi.

Mereka tak tahu apa yang membuat Dika seganas ini. Namun, jika sudah memberi ancaman kejam seperti itu, bisa dipastikan jika Dika berada dalam suasana hari yang tidak baik.

***

Hai, maaf ya beberapa minggu ini ngilang. Soalnya aku emang lagi sibuk, dan kebetulan draft nya abis.

See You!

A ReasonWhere stories live. Discover now