4. Awal Kehilangan

37 3 0
                                    

Tahun demi tahun berlalu. Kini Alvina menduduki bangku kelas enam sekolah dasar. Fase di mana dia sedang stres akibat akan menghadapi Ujian Nasional.

Iya, Alvina tahu. Mungkin saja Ujian Nasional tingkat sekolah dasar tidak sesulit itu hingga harus pusing belajar siang dan malam. Tapi yang namanya baru pertama kali, sudah pasti ada rasa gugup, kan?

Lagipula, masalahnya tidak hanya tentang rasa gugup. Masih ingat tentang Alvina yang lebih jago IPS daripada IPA? Itu masalahnya. Sekolah-sekolah di kotanya masih menganut pendaftaran dengan hasil Nilai UN, yang artinya hanya tiga mata pelajaran. Tiga pelajaran itu pula yang tidak terlalu ia kuasai. Di saat-saat seperti ini, Alvina merasa dunia begitu tidak adil.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Alvina masih sibuk berkutat dengan segala buku yang berada di meja belajarnya. Dia tidak bisa tidur sebelum menyelesaikan target hari ini.

Kondisi meja belajar Alvina saat ini sudah lebih dari acak-acakan. Buku-buku mulai dari latihan soal hingga buku paket pinjaman sekolah berserakan. Di atasnya terdapat alat tulis yang digunakannya untuk merangkum materi dan mengerjakan soal.

Tangan yang sedari tadi Alvina gunakan untuk memegang alat tulis kini berpindah ke kepalanya. Mengacak kasar rambutnya yang sudah berantakan. Matanya pun semakin sayu.

Alvina butuh istirahat. Di sekolah, dia harus berangkat lebih pagi dan pulang lebih sore karena ada kelas tambahan. Sepulang sekolah, dia dipaksa untuk belajar oleh ibunya. Dia tidak lagi bisa mencuri waktu sebab ada peraturan baru. Dilarang mengunci pintu. Ibunya itu bisa saja tiba-tiba datang saat Alvina tidur lalu menghukumnya.

Dering telepon mengganggu konsentrasi Alvina. Gadis itu berniat untuk memarahi orang yang mengganggunya, tapi urung saat melihat siapa orang itu. Alvina malah memekik kesenangan.

Dengan segera Alvina mengunci pintu kamarnya. Berjalan ke balkon agar suaranya tidak terdengar jika ada yang menguping lewat pintu. Tak lupa mengangkat telepon dari seseorang.

"Halo, Kak?" sapa Alvina saat telepon sudah tersambung.

"Halo, kenapa belum tidur?"

"Nggak bisa tidur, target belajar belum nyampe. Mama nanti marah," adu gadis kecil itu.

Di seberang sana, Dika menghela napas. Saat terbangun karena haus tadi, dia baru ingat soal Alvina. Dan seperti dugaannya, gadis itu sedang begadang untuk mengejar target.

"Maaf ya, tadi habis futsal ketiduran. Jadi nggak bisa bantu," sesal Andika. Jika saja dia membantu adik kelasnya itu, mungkin Alvina tak perlu begadang seperti ini.

"Eh, gapapa kok, Kak. Pasti capek habis futsal. Emang aku aja yang bodoh sampe susah paham kalau nggak dijelasin."

Andika ingin mengelak, tapi itu adalah fakta. Alvina tidak bisa belajar sendiri. Kalaupun bisa, pasti butuh waktu yang lama. Fakta itulah yang Andika dapat sejak sahabat perempuannya itu menginjak kelas enam sekolah dasar.

Tapi menurut Dika, hal itu bukan berarti Alvina bodoh. Cara belajar orang berbeda-beda. Begitu pula dengan mata pelajaran yang dikuasai.

"Alvina, aku harus bilang berapa kali kalau orang bodoh itu nggak ada? Yang ada itu orang malas. Buktinya kamu bisa 'kan ngerjain soal walaupun harus belajar lama? Setiap orang diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing," nasihat Dika panjang lebar.

Alvina hanya tersenyum. Nasihat dari Dika memang selalu menenangkannya. Tapi nasihat itu tidak bisa menyelesaikan masalah di hidupnya. Sebab masalah terbesarnya berasal dari seseorang yang telah banyak berjasa dalam hidupnya.

"Udah, sekarang tidur. Kalau dimarahin, bilang aja aku yang suruh. Belajarnya lanjut besok pulang sekolah di rumahku."

"Ay ay, Captain!" Sesaat kemudian, nada tanda telepon terputus berbunyi. Alvina bergegas membuka kunci pintunya. Sebab Mamanya pasti akan marah saat mengetahui dia mengunci pintu.

Tanpa membuang waktu, Alvina segera berbaring di ranjangnya. Menarik selimut lalu pergi ke alam mimpi. Dia tidak ingin Mamanya datang sebelum ia sempat memejamkan mata.

🌷🌷🌷

Seperti yang sudah Alvina duga, Mamanya akan mengeceknya pada dini hari. Saat ini masih pukul dua pagi dan Firda sudah sibuk mengomel akan target yang harus Alvina kejar. Sementara yang diomeli masih dalam keadaan setengah sadar.

"Alvina! Kamu denger mama nggak sih?!" bentak Firda. Emosi perempuan itu sudah mulai tersulut kala melihat anaknya itu bisa tidur nyenyak sebelum menyelesaikan target yang diberikannya.

"Emh, disuruh Kak Dika tidur. Katanya lanjut belajar besok di rumah dia aja," terang Alvina yang mampu meredam kemarahan Firda.

Alvina masih menutup kedua matanya. Dia sungguh mengantuk. Biar saja mamanya mengomel, Alvina tak akan peduli untuk kali ini saja. Walaupun, gadis itu yakin kalau mamanya tidak akan mengomel setelah mendengar nama Dika keluar dari mulutnya.

"Yaudah, kamu istirahat. Tapi inget, besok kamu harus tetep bimbel sepulang dari rumah Dika!" Kemudian suara pintu tertutup masuk ke dalam pendengaran Alvina.

Diam-diam, Alvina mengulum senyum. Merasa senang sebab bisa beristirahat dengan tenang. Mengapa tidak dari dulu saja ia membawa nama lelaki itu?

Alvina merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Sebelum gadis muda itu mendengar kabar yang mungkin akan mengoyak hatinya. Sebab malaikatnya kini akan jauh darinya.

"Ini kalian serius pindah?" tutur Alvina sendu.

Anak yang baru saja menginjak usia dua belas tahun itu merasa sangat kehilangan saat sahabat terdekatnya akan pindah. Dalam pikirannya, siapa yang akan menemaninya jika anak itu pergi? Alvina pasti kesepian.

"Aku pindahnya nggak jauh kok, nanti janji deh bakalan sering ke sini," hibur Dika. Lelaki itu tidak suka Alvina sedih.

"Kalau deket ngapain pindah?" Alvina mulai sesenggukan. Dia benar-benar tidak bisa menahan kesedihannya.

Sedangkan Andika meringis. Perkataan Alvina itu ada benarnya. Pada kenyataannya, dia pindah lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang walaupun masih berada di kota yang sama. Entah apa penyebab sebetulnya keluarganya harus pindah, yang pasti kata papanya agar lebih dekat dengan kantor.

"Lagian, hiks k-kalau pindah na-nanti kita nggak bisa satu sekolah." Alvina mendongak. Menampilkan mata bengkaknya yang kini menatap sendu seseorang yang paling dia sayangi saat ini.

"Dika, cepat siapkan barang-barang kamu!"

Sebelum Andika sempat membuka suara, ayahnya justru memotong pembicaraan. Dika kesal dibuatnya. Hari ini Nevan menyebalkan sekali.

Bagaimana tidak, tadi pagi tiba-tiba saja ayahnya mengabari kalau mereka akan pindah. Mendadak sekali, bukan? Ayahnya juga membuatnya ingkar terhadap janjinya semalam. Sebab Nevan terus saja menyuruhnya untuk segera bersiap.

Sebenarnya, Andika menangkap kejanggalan dari sikap ayahnya. Dari awal berkenalan dengan Alvina, Nevan seperti terlihat aneh. Sangat berbeda dengan ibunya yang menerima dengan senang hati, ayahnya justru terlihat tidak suka.

Ya sudahlah. Andika hanya mampu berharap semoga apa yang ada di pikirannya tidaklah benar.

***
To Be Continued


A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang