18. Tiga Sekawan (2)

16 2 0
                                    

Pelajaran olahraga di pagi hari cukup menyenangkan. Sebab matahari belum terlalu terik. Juga stamina yang masih fit, membuat sebagian besar siswa bersemangat mengikuti pelajaran.

Meski begitu, ada beberapa anak yang tidak bersemangat dalam pelajaran olahraga, kapanpun itu. Biasanya, mereka adalah tipikal yang tidak biasa olahraga. Seperti tiga siswa perempuan X IPS - 1 yang tengah duduk di bawah pohon rindang.

Alvina, Amel, dan Annisa kini tengah berdiam diri di bawah pohon mangga. Menyejukkan diri, katanya. Padahal matahari belum begitu naik.

Bunyi peluit membuat ketiganya berdecak. Mereka terpaksa berdiri untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain. Jika tidak, sudah dipastikan hukuman akan menanti.

"Baik anak-anak, kali ini kita akan mempelajari materi bola basket," terang seorang guru di depan sana setelah anak didiknya berkumpul.

Sejujurnya, ada satu hal yang Alvina bingungkan selama menempuh pendidikan. Mengapa basket dan sepak bola selalu menjadi pilihan pertama saat pelajaran olahraga? Sudah begitu, setiap ulangan jarang sekali yang bisa mendapat nilai sempurna, padahal materinya selalu sama dari tahun ke tahun.

"Sebelum memulai olahraga, kita akan melakukan pemanasan terlebih dahulu." Sang guru tak langsung memulai, ia mengedarkan pandangan entah untuk apa.

"Nah, Alvina dan Annisa. Kalian ambil bola basket di gudang olahraga ya!" pinta sang guru.

Kedua siswa yang ditunjuk itu seketika berbunga-bunga. Namun keduanya memilih tak menunjukkan. Sedangkan satu temannya yang lain mendengkus kesal.

"Pak, saya ikut ya?" tawar Amel dengan senyum yang merekah.

Amel sama sekali tidak keberatan harus mencari bola basket yang biasanya terletak di pojok gudang olahraga. Lebih baik berseteru dengan debu daripada panas matahari. Melelahkan.

Sayangnya, senyuman manis gadis itu hilang begitu saja saat gurunya menggeleng. Berakhir dengan Alvina yang menarik Annisa dengan kikikan geli. Juga Annisa yang tersenyum tipis. Menjadikan Amel semakin kesal dibuatnya.

Gudang olahraga lumayan terpencil hingga harus melewati markas para biang onar. Sekumpulan laki-laki yang berasal dari keluarga kaya hingga tak dikeluarkan walau sudah menyumbang begitu banyak skandal.

Seperti biasa, gerombolan itu tengah membolos. Kini mereka duduk di depan salah satu kelas yang sudah lama dibiarkan kosong. Mulai melirik kala ada dua orang gadis yang hendak lewat.

"Godain! Godain!" seru mereka yang sama sekali tak dihiraukan keduanya.

Selama ini, Alvina tak pernah takut kepada hal-hal seperti itu. Dika selalu ada untuknya, melindunginya. Bahkan, Dika pernah hampir dipenjara karena melindunginya dari seorang laki-laki berandalan. Untungnya, anak sulung keluarga Mahardika itu dinyatakan tak bersalah karena hanya membela diri.

"Cantik, mau ke mana nih?" Siulan-siulan mulai terdengar. Sayangnya, baik Alvina maupun Annisa tak ada yang peduli.

Mereka tak menyerah. Lima orang yang tengah duduk itu kemudian berdiri dan mulai semakin kurang ajar. Maka dengan segera Annisa hentakkan tangan-tangan kotor itu dari lengannya. Begitu pula Alvina, mana sudi ia dipegang-pegang oleh para berandal itu.

"Nggak usah pegang-pegang," bentak Annisa yang membuat kelimanya tertawa.

Biasanya, para gadis akan ketakutan ketika digoda. Mereka pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menyentuh area-area terlarang. Lantas membebaskan si gadis dengan ancaman untuk tidak melapor kepada siapapun. Tapi kali ini sepertinya berbeda. Dan perlawanan ini membuat mereka semakin tertarik.

Maka dengan segera mereka bekerja sama menangkap si gadis. Dua orang mengurus Alvina, sedang tiga orang lagi mengurus Annisa. Mereka berdua diseret ke gudang penyimpanan yang letaknya lebih terpencil.

Keduanya sudah berteriak, tapi siapa yang mendengar jika lokasi mereka saat ini pun terpencil? Mereka juga sudah memberontak. Sayangnya tenaga perempuan tentunya kalah dengan laki-laki, apalagi mereka kalah jumlah.

Annisa terbatuk sesaat sampai di gudang. Berbeda dengan Alvina yang biasa saja. Ia sudah terbiasa.

Tanpa basa-basi, Annisa yang merasa cekalan mereka melemah kembali memberontak. Memanfaatkan ilmu karate yang selama ini ia pelajari untuk menghajar para lelaki kurang ajar itu satu persatu.

Melihat temannya melawan, Alvina tak tinggal diam. Ia membawa lengan yang mencekal tangan kanannya itu ke mulut lalu menggigitnya. Setelah lepas, ia arahkan lututnya menendang alat vital lelaki di sebelah kirinya. Beruntung sekali saat ini Alvina dan Annisa sedang menggunakan seragam olahraga.

Kelima pria itu terkapar. Tapi tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bangkit. Membuat Alvina segera mengambil tindakan. Walaupun berhasil lepas, bukan berarti ia dan temannya sekuat itu. Tadi mereka hanya beruntung karena para lelaki itu sedang lengah.

"Kalian nggak tau siapa gue?" tanya Alvina dengan suara yang coba ia tahan getarannya.

Salah satu dari mereka menyeringai. "Siapapun lo, itu nggak penting. Lo cantik, badan lo juga seksi, cocok jadi mangsa kita."

Alvina dibuat geram setengah mati. Pemikiran manusia-manusia rendahan itu memang menyusahkan. Mereka hidup hanya untuk memenuhi bumi.

"Gue Alvina. Alvina Alya Alexandrina, putri tunggal keluarga Alexander juga sahabat dari anak sulung Mahardika. Kalian tau 'kan kalau dua keluarga itu pengaruhnya bukan main? Jadi kalau lo nyentuh kita sedikit aja, gue jamin kalian nggak akan pernah lagi ngerasain rasanya bernapas."

Ungkapan Alvina membuat kelima lelaki di hadapannya terdiam. Walaupun sama-sama berasal dari keluarga kelas atas, Alexander dan Mahardika termasuk dalam golongan 'elit'. Apalagi posisi mereka sekarang sudah jelas kesalahannya.

Dengan segera kelima anak berandalan itu mengambil langkah seribu. Tak ada yang siap mengambil resiko untuk melawan keluarga Mahardika maupun Alexander. Karena dengan kedudukan yang sama, tak ada lagi yang namanya suap-menyuap.

Alvina menghembuskan napas lega kala merasa aman. Tapi kelegaannya berakhir begitu saja saat melihat Annisa yang tersengal. Gadis itu tampak kesusahan bernapas.

"Nisa, tenang. Calm down! Kita aman sekarang. Tarik napas pelan, terus hembuskan," pinta Alvina.

Annisa berusaha menenangkan dirinya dalam rengkuhan Alvina. Mencoba mencari rasa aman yang Alvina katakan. Lalu mengikuti instruksi temannya itu.

"Vin, takut. Mereka ... " Annisa tak sanggup melanjutkan perkataannya. Sekujur tubuhnya sungguh lemas.

Alvina menggeleng pelan. Melihat kondisi temannya, membuat ia berspekulasi buruk. Dan Alvina berharap bahwa asumsinya salah.

"Annisa ... lo kenapa?" lirih Alvina.

Dia benar-benar ingin menangis sekarang. Bukan karena ketakutan dengan para lelaki berandal. Tapi melihat kondisi Annisa saat ini, Alvina bahkan tak sanggup untuk berdiri.

Maka tak ada pilihan lain. Alvina mengambil telepon genggamnya di saku celana. Menelepon seseorang agar segera datang.

"Kak ... tolong." Dika di seberang sana dibuat panik setengah mati mendengar lirihan Alvina.

"Kenapa? Lo kenapa, Vin. Jangan bikin gue khawatir."

Terdengar suara grusak-grusuk di sana. Sepertinya Andika berlari keluar kelas.

"Gudang."

Hanya satu kata. Kemudian sambungan terputus begitu saja.

***
To Be Continued

"Semua yang terlihat baik, tidak selalu benar-benar baik." —Alvina Alya Alexandrina

A ReasonDove le storie prendono vita. Scoprilo ora