Part 05

2.5K 360 28
                                    

"Kondisi Zain sudah sangat lemah Nyonya, kami harus segera mengambil tindakan untuknya, jika terlambat kecil kemungkinan nyawa Zain dapat tertolong," ucap dokter saat memeriksa kondisi Zain yang tiba-tiba drop sore ini.

Mendengar penjelasan itu seketika Calista merasa panik, pasalnya biaya operasi Zain tidak sedikit jumlahnya. Sedangkan uang simpanan yang ia miliki sudah hampir habis untuk biaya perawatan selama beberapa hari Zain dirawat di rumah sakit itu. Satu-satunya harapannya hanya Nurul, sahabatnya itu berjanji akan membantu meminjaminya uang setelah proses jual beli mobilnya selesai. Tapi masalahnya sejak kemarin ia belum mendapat kabar dari Nurul, sahabatnya itu belum memberinya kabar sejak ia kembali ke Cirebon.

"Tolong segera operasi Zain, dok. Saya janji saya akan membayar biaya operasinya secepatnya," pinta Calista seraya menangkupkan kedua telapak tangannya, berharap kali ini permohonannya dipenuhi oleh dokter itu.

"Saya bukannya tidak mau menolong, Nyonya. Tapi saya hanya berusaha menjalankan prosedur rumah sakit. Kami hanya akan melakukan tindakan jika keluarga pasien sudah memenuhi persyaratan administrasi."

Usai mengatakan jawaban itu sang dokter pun pergi disusul oleh perawat yang sejak tadi hanya menemani, sementara Calista berusaha mengejar. Ia menahan kepergian mereka.

"Dok, tolong saya. Saya mohon, saya akan mendapatkan biayanya secepatnya. Saya mohon ... tolong tangani anak saya dulu, dok," mohon Calista pantang menyerah. Ia tidak mungkin diam saja disaat Zain sudah kritis dan membutuhkan tindakan segera.

"Maaf Nyonya, tolong pahami kami juga. Jika kami menolong Anda atas dasar kemanusiaan, maka itu tidak adil bagi yang lain. Anda lihat, mereka juga berjuang untuk keluarga mereka yang sakit. Bahkan ada yang sampai menjual rumah demi kesembuhan keluarga mereka." Dokter itu menunjuk para keluarga pasien yang kini tengah duduk-duduk di deretan kursi besi yang ada lorong. "Lalu dengan mudahnya Anda merengek dan memohon seperti ini berharap anak Anda akan dispesialkan disini? Maaf Nyonya saya tidak bisa, saya hanya sedang menjalankan tugas. Permisi."

Kata-kata sang dokter memberi tamparan keras untuk Calista hingga tanpa sadar ia mematung di tempat dan tidak lagi berusaha mengejar kepergian mereka. Padahal ia tidak minta dispesialkan, ia hanya berharap mereka mau menolong anaknya yang tengah meregang nyawa. Andai ia masih memiliki sesuatu yang bisa dijual, tentu ia akan menjual apapun yang dimiliki untuk kesembuhan sang putra. Tapi sayangnya ia sudah tak memiliki apapun lagi saat ini, satu-satunya yang ia punya hanya harga diri, itu pun langsung ia gadaikan demi mendapat belas kasih dari mereka.

Calista menoleh dan langsung menundukkan wajahnya begitu menyadari dirinya tengah menjadi pusat perhatian. Ia mengusap sudut matanya yang basah, lalu buru-buru kembali keruangan anaknya. Sembari mencoba menghubungi Nurul, Calista terus menggenggam jemari Zain yang sudah terasa dingin.

"Sayang, mama mohon bertahan ya Nak. Mama nggak punya siapa-siapa lagi disini selain Zain. Jadi mama mohon, Zain harus kuat ya demi mama."

Air mata susul menyusul keluar dari netranya saat ucapannya tidak dibalas sama sekali oleh sang putra.

"Rul ayo dong, angkat teleponnya."

Sayangnya berapa kalipun Calista mencoba menghubungi sahabatnya itu, ponsel Nurul tetap tidak juga terhubung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Nurul saat ini? Tidak biasanya Nurul mematikan ponselnya seperti ini. Mengingat betapa sayangnya Nurul pada Zain, Calista merasa ada yang janggal pada Nurul yang tak menanyakan kabar Zain sejak kemarin.

Tak berselang lama, sebuah panggilan masuk ke ponselnya, Calista langsung mengangkatnya sesegera mungkin, berharap panggilan itu dari Nurul.

"Hallo ... iya benar saya sendiri. Ada apa ya?"

Calista (My You)Where stories live. Discover now