Part 16

2.1K 342 15
                                    

"Makanannya enak Tante, apa Tante memasaknya sendiri?" tanya Louisa dengan mulut penuh makanan.

"Telan dulu makananmu baru bicara!" ujar Daren.

"Louisa tidak bicara dengan Om," sahut Louisa seraya memasang tampang innocentnya. "Kapan-kapan nanti tolong buatkan Louisa makanan seperti ini lagi ya Tante," lanjutnya pada Calista yang dengan canggung memakan makanannya.

Sejak tinggal bersama dirumah itu, ini pertama kalinya ia dan Daren makan dimeja yang sama. Jika bukan Louisa yang memaksa, Calista lebih baik makan dikamar dibanding bersama Daren yang terus bersikap dingin kepadanya dan Zain.

"Tidak ada lain kali, kau akan diantarkan pulang malam ini. Papamu sudah menyelesaikan pekerjaannya," timpal Daren sebelum menenggak gelas minumnya.

"Tapi Louisa masih ingin main sama Zain disini. Om bilang saja ke papa, kalau Louisa akan menginap ditempat Om."

Daren menoleh kearah Zain yang sejak tadi tidak bersuara. Bocah itu buru-buru menunduk kembali saat menyadari tatapannya. "Kau pikir papamu akan mengijinkan anak kesayangannya menginap ditempat lain?"

"Kalau begitu Zain saja yang menginap di rumah Louisa, papa pasti tidak keberatan." Mata Louisa seketika membulat saat ide tersebut muncul dikepalanya.

"Tapi Om yang keberatan! Sudah jangan cerewet, cepat habiskan makananmu, lalu Om akan meminta sopir untuk mengantarmu pulang."

Louisa memberengut. Calista yang berada disebelahnya langsung mengusap kepala bocah itu. Meski tidak tahu Louisa anak siapa, tapi Calista menyukai anak itu.

"Louisa jangan sedih, nanti kapan-kapan kita pasti bisa bertemu lagi," ucap Zain.

"Kapan?" Louisa menatap Zain dengan muram.

"Zain tidak tahu," sahut Zain dengan tak kalah muramnya.

"Gimana kalau Zain sekolah di sekolah Louisa, biar kita bisa ketemu terus setiap hari?"

Zain menatap Calista sebelum menggeleng pelan. "Zain belum bisa pergi sekolah," sahutnya dengan muka sedih.

"Kenapa?" Louisa menatap Zain dengan tatapan bingungnya.

"Karena Zain masih belum sembuh benar," sahut Zain lagi.

"Tapi Zain tidak terlihat sedang sakit."

Zain terdiam, ia kembali menatap Calista.

Calista baru akan menjawab namun Daren menimpali lebih dulu.

"Sudah cepat habiskan makananmu, kau ini bawel sekali!" sentak Daren. Ia tidak suka melihat kesedihan diwajah Zain, anak itu nampaknya sedih karena tidak bisa bersekolah seperti anak lainnya.

***

"Ma, kapan Zain akan bersekolah?" tanya Zain pada Calista yang saat itu tengah membacakan cerita untuknya.

Calista tertegun sebelum memeluk putranya itu dengan erat. "Nanti kalau Zain sudah benar-benar sembuh."

"Tapi sekarang Zain sudah sembuh."

Calista tahu itu, dokter yang memeriksa Zain tadi pagi sudah mengatakan hal itu padanya. Tapi bagaimana caranya ia bisa menyekolahkan Zain disaat mereka tertawan dirumah itu?

"Dokter bilang luka bekas operasi Zain juga sudah mulai kering," lanjut bocah itu.

"Iya Sayang, sabar ya. Nanti pasti akan ada saatnya Zain pergi ke sekolah."

Sebab tak berani membantah lagi ucapan sang mama, Zain pun mengangguk pada akhirnya.

Dilain sisi, sebenarnya Calista tahu sejak lama Zain ingin bersekolah seperti anak-anak yang lain. Tapi karena penyakit yang Zain derita selama ini, membuat Calista harus menunda Zain untuk sekolah. Namun kini, saat Zain merasa dirinya sudah sembuh, anak itu menuntut haknya untuk bersekolah. Sayangnya, kali ini pun ia tak bisa langsung menuruti permintaan sang anak mengingat mereka kini tidak bisa kemana-mana. Mungkin jika ada kesempatan ia akan berbicara dengan Daren mengenai ini, berharap pria itu akan bermurah hati dengan mengijinkan Zain pergi kesekolah. Tapi apa iya?

Calista (My You)Where stories live. Discover now