Part 18

2.3K 364 33
                                    

Setelah mengantarkan Louisa pulang, mereka akhirnya tiba di rumah.

"Biar aku saja yang angkat!" cegah Daren saat Calista akan menggendong Zain yang sudah terlelap di jok belakang. Bocah itu nampak kelelahan setelah seharian berjalan-jalan.

Calista meski terlihat enggan, tapi ia tidak membantah. Lagi pula ia tahu, ia tidak akan sanggup menolak keinginan Daren. Pria itu jika sudah memiliki kehendak maka siapa pun harus mematuhinya.

"Putramu ringan sekali, beratnya bahkan hanya setengahnya dari Louisa. Apa dia makan dengan benar?" ujar Daren kepada Calista yang mengikutinya dibelakang.

"Sejak awal nafsu makan Zain memang agak kurang," sahut Calista dengan kikuk.

"Besok aku akan minta dokter untuk memeriksa tumbuh kembangnya," ucap Daren sebelum membaringkan Zain diranjang.

"Uhm ... kamu tidak perlu repot-repot melakukannya," timpal Calista dengan sungkan.

Daren berbalik, menghadap wanita itu. "Aku tidak merasa repot, lagipula dokter yang memeriksanya, aku hanya tinggal membayar!" balasnya dengan nada bicara yang tidak melembut sama sekali.

"Justru karena itu aku merasa tidak enak, kau sudah banyak mengeluarkan uang untuknya." Calista meremas jemarinya.

"Rasanya bosan sekali seharian ini mendengar kalian mengucapkan kalimat itu." Daren menatap Calista dengan muak. "Jangan membuatku kesal dengan terus mengatakan kalimat itu!"

"Maafkan aku." Calista menunduk.

Sejenak hening menyelimuti. "Uhm ... terimakasih kamu sudah mengijinkan Zain bersekolah," ucap Calista setelah beberapa saat lamanya.

Tak ada jawaban, sudah dari tadi Daren tidak bersuara. Pria itu juga belum juga beranjak dari kamar Zain. Penasaran pada apa yang dilakukan Daren, Calista mengangkat pandangan dan seketika tertegun mendapati Daren yang tidak berkedip menatap Zain yang tidur.

"Apa sekarang dia sudah melupakan papanya?" tanya Daren sesaat kemudian, mengabaikan ucapan terimakasih Calista. Dengan kedua tangan berada disaku celana, ia menatap Zain dengan sendu.

"Apa?" Calista tidak mengerti.

"Apa dia sudah tidak lagi takut padaku?" Daren kembali bertanya.

"Daren...." Mendengar pertanyaan itu membuat napas Calista tercekat.

Daren mendongak seraya menarik perlahan napasnya. "Kau jahat Cal, setelah apa yang kamu lakukan padaku, kenapa kamu menghadirkan anak itu? Aku bahkan tidak bisa membencinya sekalipun kedua orang tuanya pernah menyakitiku begitu dalam." Ia tersenyum miris sebelum menghela pergi.

Kata-kata Daren menohok hati Calista. Rasa sakit yang tak tertahankan menikam dadanya saat menatap kepergian pria itu. Haruskah ia memberitahu yang sebenarnya kepada Daren?

Tapi pria itu sebentar lagi akan menikah? Dengan mengungkap status Zain kepadanya hanya akan membebani pikiran pria itu. Bagaimanapun Daren berhak melanjutkan hidupnya bersama wanita lain yang mungkin bisa membahagiakannya. Bukan dengan wanita sepertinya yang dulu pernah menjadi penyebab kehancurannya.

Pagi itu setelah mengantar Zain ke sekolah. Calista terkejut saat mendapati Nurul sudah menunggunya di rumah.

"Kejutan," ucap Nurul saat melihat Calista yang tampak terkejut.

"Nurul? Bagaimana kamu bisa kesini?"

"Coba tebak?"

Calista menggeleng, tak menunggu lama ia langsung memeluk sahabatnya itu untuk melepas rindu. "Aku kangen sama kamu."

"Aku juga Cal. Oiya Zain dimana?" tanya Nurul seraya celingukan.

"Zain sekarang sudah sekolah. Aku baru aja dari sekolahnya." Calista melepaskan Nurul dan menariknya ke salah satu sofa.

Calista (My You)Where stories live. Discover now