Part 12

2.2K 332 20
                                    

Calista membuka mata dan langsung disergap kecewa begitu menyadari apa yang ia alami tadi hanyalah mimpi.

Tapi mengapa rasanya begitu nyata Daren berada disini?

Calista menghela napasnya perlahan, berusaha mengusir sesak yang sulit ia jabarkan. Sedetik kemudian ia terkesiap saat menyadari ada sesuatu yang menempel dikeningnya. Pantas saja jika demamnya turun, ternyata semalam memang bukan mimpi. Mengenang Daren yang telah merawatnya semalam membuat hati Calista menghangat.

Si bodoh itu kenapa melakukan hal seperti ini untuknya, padahal ia sudah berbuat kejam padanya dimasa lalu. Sungguh Calista merasa tidak pantas mendapatkan kebaikan ini, karena kebencian Daren jauh lebih baik daripada mendapati dirinya masih saja dipedulikan oleh pria itu.

Kesadaran tersebut membuat Calista merasa sedih, ia semakin merasa berdosa pada pria itu. Ia sudah membalik tubuhnya menghadap Zain ketika menyadari putranya tidak ada disana.

Kemana Zain pergi? Ia bahkan tidak memakai kursi rodanya.

Dengan perasaan khawatir, Calista langsung melonjak bangun, menyibak selimutnya sebelum turun dari ranjang dan menghelakan langkahnya dengan terburu-buru. Tiba di pintu keluar, pandangan Calista berputar, pijakkannya limbung dan membuatnya nyaris terjatuh jika saja tubuhnya tidak ditangkap oleh Daren.

"Jika masih sakit seharusnya kau tidak turun dari ranjang!" sentak pria itu seraya menggendong Calista dan membawanya kembali kedalam kamar.

"Daren ... Zain dimana? Kemana kamu membawa putraku?" Calista menarik kemeja yang Daren pakai dan mengguncangnya dengan keras.

Daren tidak menjawab.

"Daren jawab aku, kemana kamu membawa putraku?" tanya Calista dengan ketakutan yang berpendar dibola matanya.

Usai membaringkan Calista diatas ranjang, Daren memberikan tatapan lelahnya pada wanita itu. "Putramu berada ditempat yang aman, jadi kamu tidak perlu khawatir." Ia sudah akan beranjak ketika Calista menahan lengannya.

"Kamu apakan Zain, Daren? Aku mohon jangan pernah kamu limpahkan kemarahanmu padanya, dia tidak bersalah!" ujar Calista dengan air mata yang sudah menggenangi kedua netranya.

Daren tertegun, ia baru akan menjawab ketika Zain memasuki ruangan.

"Mama...." Seru bocah itu seraya menghambur kearah Calista.

"Zain...." Calista langsung memeluk putranya itu dengan lega. "Zain habis darimana? Kenapa Zain tidak memakai kursi roda?"

"Zain sudah sembuh Ma, lihat Zain sudah bisa lari-lari sekarang," kata bocah itu seraya mengurai pelukan mereka.

"Tapi luka Zain kan masih belum sembuh benar, jadi Zain nggak boleh banyak gerak dulu." Calista menyentuh bahu Zain.

"Nanti siang akan ada dokter yang memeriksakan kondisi putramu," timbrung Daren.

"Terimakasih Om. Om baik sekali."

Jika kemarin bocah itu hanya mencium punggung tangannya, kini Zain dengan berani memeluk tubuhnya. Tindakannya itu membuat Daren membeku sesaat lamanya kala sesuatu yang menyesakkan berhasil memenuhi dadanya.

Setelah berhasil mendapat pengendalian diri, Daren pun menarik bocah itu hingga membuat pelukannya terlepas. "Aku melakukan ini semata karena tidak ingin penyakit yang kalian bawa menulariku," gumamnya sesaat usai berdeham kikuk.

"Tetap saja Zain harus bilang terimakasih sama Om. Terimakasih sudah mengijinkan Zain dan Mama tinggal disini, Mama jadi tidak perlu lagi memikirkan bayar uang sewa rumah untuk kami tinggali."

"Zain kenapa bicara seperti itu?" Calista langsung menarik Zain menjauhi Daren.

"Waktu dirumah sakit, Zain dengar Mama ditelepon sama ibu pemilik kontrakan. Mama bilang Mama belum ada uang untuk bayar karena uang Mama sudah habis untuk membayar biaya pengobatan Zain."

Calista (My You)Where stories live. Discover now