Part 19

2.3K 337 18
                                    

Sejak kejadian malam itu, Daren jarang pulang kerumah. Selama beberapa hari setelahnya, tidak ada kabar mengenai keberadaan pria itu. Calista berpikir mungkin saat ini Daren sedang sibuk menyiapkan pernikahannya dengan Maureen, bukankah jadwal pernikahan keduanya sudah dekat. Bisa jadi alasan itu yang membuat Daren tidak juga kembali.

Memikirkan hal itu membuat Calista merasa sedih. Namun ia sadar, tidak sepantasnya ia merasa sedih. Lagipula ini adalah keinginannya untuk melihat Daren bahagia saat dulu memilih melepaskan pria itu. Sudah benar ia menghilang dari kehidupan pria itu tujuh tahun ini, meski tidak pernah berhasil menghapus perasaan cintanya pada Daren. Tapi setidaknya Calista bisa melindungi hatinya dari adanya hal-hal menyakitkan seperti ini. Ia tidak perlu melihat Daren hidup berbahagia bersama wanita lain.

Tapi mengapa Tuhan begitu kejam kepadanya? Mengapa Tuhan kembali menyeretnya ke kehidupan pria itu jika hal itu hanya menyakiti masing-masing dari mereka.

Disaat sedang sibuk dengan lamunannya tiba-tiba ponselnya berbunyi. Panggilan masuk dari guru Zain di sekolah membuat Calista buru-buru mengangkatnya.

"Apa Zain membuat temannya terluka?" Calista terkejut saat mendapatkan kabar itu. "Baik bu, saya akan segera kesana." Tanpa banyak bicara, Calista segera beranjak ke sekolah sang putra.

Singkat cerita, Calista sudah tiba di sekolah Zain. Ia langsung menghadap keruangan kepala sekolah untuk menemui sang putra yang katanya sudah menunggunya disana. Begitu memasuki ruangan, Calista langsung menghampiri Zain yang duduk ketakutan disalah satu kursi yang ada di ruangan itu, sementara temannya duduk dipangku oleh wanita yang Calista yakini sebagai ibu si anak. Wanita dengan penampilan mewah itu terlihat begitu angkuh, ia menatap Calista dengan merendahkan, mungkin karena penampilan Calista yang sederhana, tidak seperti dirinya yang memakai barang branded dari ujung kaki keujung kepala.

"Zain...." Calista mendekati Zain yang menundukkan wajahnya sejak tadi.

"Anda Mamanya Zain?" tanya sang kepala sekolah.

"Iya benar Bu, saya mamanya Zain," sahut Calista yang kemudian mengulurkan tangannya pada kepala sekolah.

"Oh Anda Mamanya Zain?" sentak seorang pria berbadan gemuk yang sepertinya orang tua dari temannya Zain. "Tolong beritahu anak ibu ya, untuk tidak boleh bersikap nakal kepada anak saya!"

"Zain tidak mungkin bersikap seperti itu," sahut Calista. "Dia tidak pernah bersikap nakal selama ini."

"Alah, Anda kan mamanya ya jelas Anda membela anak Anda!" timpal ibu temannya Zain dengan sinis.

"Bapak dan Ibu tenang dulu ya, kita bicarakan ini baik-baik," timpal kepala sekolah dengan sopan. "Ayo silahkan duduk Pak, Bu."

Kedua orang itu meski terlihat kesal, tapi akhirnya menurut. Mereka duduk dihadapan meja kepala sekolah. Bersisian dengan Calista dan Zain.

"Begini Ma, tadi saat istirahat Zain sudah mendorong Vicky terjatuh yang mana hal itu membuat lutut Vicky berdarah." Kepala sekolah menerangkan kepada Calista.

Dengan reflek Calista melirik luka dilutut Vicky yang padahal menurutnya hanya luka lecet biasa, darahnya pun tidak ada.

"Tapi Ma, Vicky duluan yang nakal. Dia terus mengejek Zain," gumam Zain nyaris tidak terdengar.

"Apa buktinya jika Vicky sudah mengejekmu?" tanya ayah dari Vicky dengan tajam. Wajahnya terlihat berang saat menatap Zain. "Kau pikir alasan itu bisa membenarkan perbuatanmu kepada Vicky?"

Zain terdiam, ia kembali menundukkan wajahnya. Sementara disebelahnya, Calista merasa kesal putranya terus dipojokkan oleh mereka. "Tolong biarkan putraku untuk menjelaskan, sekalipun alasannya tidak bisa membenarkan tindakannya. Tapi paling tidak kita tahu jika Zain melakukan itu karena putra kalian dulu yang memulai."

Calista (My You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang