23. The reason

1.6K 254 54
                                    

"Kelihatannya kau sangat menikmatinya ya, (Name). Kau tidak ingat hari itu?"

Hari itu?

Otak (Name) bekerja keras memikirkan hari apa yang dimaksud oleh Helio. Yah, (Name) tak akan terkejut jika pria itu menyusulnya.

Helio menunduk singkat pada putra mahkota sebagai salam yang diangguki oleh Iaros.

"Hari apa yang kau maksud?" Merasa tak mendapatkan jawaban yang dicari. (Name) memutuskan bertanya langsung pada orangnya.

Bisikan pelan ia rasa pada telinganya. Helio menunduk mendekatkan bibirnya pada telinga sang puan.

Bukannya memberi jawaban, Helio justru mengingatkan hal lain pada sang jelita.

"Saat usiamu menginjak 13 tahun dan 2 tahun setelahnya."

Seketika otak kembali memutar masa kelam yang ingin terus dikuburnya. Rasa trauma kembali bangkit, diiringi dengan jari-jari tangan yang tremor kecil. Keringat dingin lolos dari pelipisnya. Netranya bergetar, menatap kosong pada cangkir teh di hadapannya.

Pelecehan yang dilakukan rekan kerja ayahnya sendiri. Bagai mimpi buruk yang sudah terkubur lama. Sang jelita bahkan sudah lupa, namun Helio kembali mengungkitnya membuat perasaannya menjadi aneh.

Kala itu sang ayah pergi meninggalkan dirinya berdua dengan rekan kerjanya. Di dalam ruangan kerja yang terisi hanya dengan dua orang, (Name) tak menaruh curiga sedikitpun.

Lawan bicara pun sangat sopan dalam bertutur kata, hal itulah yang menjadi penyebab sang gadis tidak memiliki pikiran negatif pada rekan kerja ayahnya.

Namun, kecurigaan mulai timbul dalam benak sang gadis kala sang ayah hendak pergi meninggalkannya sebentar untuk mengurusi beberapa kendala yang ia punya. Katanya hanya sementara, nyatanya ia pergi selama berjam-jam lamanya. Tau akan hal itu, rekan kerja ayahnya memanfaatkan kesempatan tersebut.

Masih terngiang dalam otaknya lontaran perkataan cabul yang terus terulang seiring kontak fisik yang semakin intens.

"(Name) cantik sekali ya.." Raga mendekat, diiringi pujian kagum terhadap rupa yang ia puja.

Senyum kikuk gadis itu berikan. Berulang kali mendapat pujian yang sama membuatnya terkadang canggung tak tau harus membalas apa.

"Terima kasih, paman." Karena sudah dekat, (Name) tak ragu untuk memanggilnya paman layaknya saudara ayahnya sendiri. Seperti yang ia tau, bahwa hubungan ayahnya dan rekannya begitu dekat.

"Jangan panggil paman dong." Raut wajah cemberut, badan terus mendekat hingga tak ada jarak diantara keduanya.

Sebutir keringat sebesar biji jagung turun dari pipinya. Meneguk ludah gugup. (Name) mulai was-was dengan situasi yang menghampirinya.

"Terima kasih, Duke Ervin." Ralat gadis itu.

"Bukan begitu maksudku, (Name)." Tangan besarnya menggerayangi paha sang jelita yang masih tertutupi gaun bewarna navy yang dipakainya.

Netra (Name) tak lepas dari gerayangan tangan Duke Ervin yang perlahan naik.

"Terus aku harus panggil apa?" Masih menjaga sopan santun dengan harapan Duke Ervin akan berhenti melakukan aksinya. Walau tau bahwa kini diri tengah dilecehkan, namun gadis itu masih saja berpositif thinking bahwa sang duke tak suka dengan nama panggilan yang ia berikan.

Begitu naif.

Duke Ervin tertawa kecil. Hingga kini mendekatkan wajahnya pada sisian leher mulus sang gadis.

𝐏𝐇𝐀𝐍𝐓𝐀𝐒𝐌𝐀𝐆𝐎𝐑𝐈𝐂 [𝐇𝐞𝐥𝐢𝐨𝐱𝐘𝐨𝐮]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang