6

1.2K 95 16
                                    

"Bukan urusan lo!" gertak Sherly menepis tangan Eric dan menutupi lehernya dengan rambut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bukan urusan lo!" gertak Sherly menepis tangan Eric dan menutupi lehernya dengan rambut. "Lo beneran enggak move on ya sampai kepo siapa yang habis kasih cupang ke gue, tuh berkas dakwaan lo lain kali kudu lengkap!" sindirnya lagi lalu bergegas meninggalkan Eric.

"Enggak move on bukan berarti gue masih suka sama lo kali!" balas Eric menggema ruang sidang. "Dasar dada triplek!"

Jika bukan di gedung pengadilan, mungkin satu tendangan maut di pangkal paha Eric bisa membuatnya bungkam. Entah dari mana ejekan dada triplek yang disematkan mantan padahal bentuk tubuhnya saat ini sudah banyak berubah. Belum lagi pandangan orang-orang yang mendengar cibiran Eric langsung mengarah ke Sherly yang dibalas sorot tajam. Dia mendengus sambil membatin apakah perlu menaikkan kegiatan gym-nya yang semula seminggu sekali jadi dua kali? Perlukah dia menggunakan baju lebih ketat lagi agar bola mata Eric yang sipit itu bisa melihat betapa indah dirinya sampai digilai banyak pria.

"Dia aja yang buta," gumam Sherly mendekati mobil yang terparkir seraya pergi ke kantor untuk persiapan sidang perdana esok pagi terkait kasus pelecehan seksual di ojek online.

Kliennya adalah seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah umum yang menangis tersedu-sedu setiap kali mencurahkan semua kronologi kejadian. Awalnya dia tidak berani melaporkan kejadian ini kepada orang tua karena takut serta diancam pelaku yang merekam aksi pencabulan itu dan siap menyebarkannya ke media sosial. Nyatanya, pelaku tidak hanya sekali melakukan pencabulan tapi hingga beberapa kali sampai korban mengalami depresi. Orang tua korban menyadari ada yang salah dengan sikap anaknya yang berubah menjadi pendiam, akhirnya memaksa menceritakan apa yang terjadi sampai terjadilah pelaporan di kepolisian.

Selain itu, Sherly menyarankan orang tua Aurel untuk membawa putri mereka ke psikologis agar mendapat terapi pasca trauma. Mengingat dampak negatif terhadap para pelaku korban pelecehan seksual sangat besar. Sherly gemas setengah mati kalau ada lelaki yang seenak jidatnya menyentuh perempuan dan berdalih suka sama suka. Apalagi sampai mengancam yang membuat korbannya dihantui rasa ketakutan yang berefek pada masa depan.

Sepanjang perjalanan, bolak-balik dia dihadapi kemacetan yang sudah menjadi makanan sehari-hari ibukota. Dia menarik napas panjang menggeleng pelan saat suara klakson saling bersahut-sahutan tak sabar. Untungnya lokasi persidangan ke kantor tak jauh sehingga gadis itu tak perlu kehilangan kesabaran kecuali bersama Eric.

Ah, si anak mami!

"Kenapa dia bisa liat aja sih!" gerutu Sherly mengelus lehernya. "Dasar Johan sialan, untung udah gue blokir dia!"

Iphone Sherly yang membisu di handphone holder mobil tiba-tiba berdering yang memunculkan nama 'Mama' di layar. Dia memutar bola mata sambil mencebik, lantas telunjuk kanannya menggeser ikon hijau berganti suara ibunya yang terdengar memanggil.

"Sher, Mama nanti pulang agak terlambat," pamit Sarah--ibu Sherly.

"Bukannya Mama selalu pulang telat?" cibir Sherly memutar kemudi mobilnya ke jalan Rasuna Said setelah terlepas dari kemacetan di jalan Kapten Tendean. "Lagian kenapa tumben telepon?"

"Mama mau bilang kalau ada sup iga kesukaan kamu di panci, siapa tahu kamu pulang sore ini," kata Sarah.

"Oh, ya udah, Mama tinggal kirim WA kan bisa. Udah ya, Sherly lagi di jalan, bahaya kalau nyetir sambil teleponan," tukas Sherly lalu memutus sambungan telepon sebelum ibunya menimpali. "Pulang telat ya pulang telat aja, kenapa mesti ngabarin. Kayak enggak serumah aja," omel gadis itu.

###

Mobil Brio putih kesayangan Sherly berhenti di depan rumah bergaya modern dengan dua lantai itu terletak di kawasan elit Pondok Indah. Pagar menjulang tinggi berwarna kecokelatan serta pohon palem yang menambah teduh rumah bercat krem yang dihuni empat orang termasuk dua asisten rumah tangga. Sherly boleh memiliki sisa cicilan mobil yang masih kurang tiga tahun lagi, tapi untuk urusan investasi rumah, dia tidak ingin memiliki hunian yang tidak memiliki nilai jual.

Sejujurnya, Sherly ingin berpisah dan hidup seorang diri di apartemen tapi dilarang oleh kakaknya--Bara yang bekerja di pertambangan Papua. Dia memberikan amanah wajib kepada si bungsu untuk menjaga ibu dengan imbalan segepok uang satu milyar saat pembelian rumah ini. Sherly sempat adu mulut dengan sang kakak yang masih betah tinggal di ujung Indonesia itu. Sudah sekitar delapan tahunan, Bara tidak pulang kecuali ada libur besar dan cuti tahunan.

"Kenapa lo enggak pindah ke sini aja sih Bang? Sampai kapan lo di sana kalau duit lo udah banyak buat turunan lo!" protes Sherly saat menelpon kakaknya.

"Gue yang kerja kenapa lo ngatur-ngatur? Suka-suka gue lah!" ketus Bara.

"Lo enggak ada keinginan kawin dulu baru balik?" tanya Sherly. "Setidaknya biar Mama tinggal sama bini lo, Bang. Jadi, gue bebas."

"Kalau gue kawin, gue kasih lo beban jagain anak gue, Sher. Udahlah jangan ngaco, lagian Mama masih bisa mandiri bukan nenek-nenek renta di panti jompo. Lo jangan ngadi-ngadi jadi anak ya!"

"Bacot lu!"

Selama Bara tidak mengakhiri masa lajang atau tidak resign dari perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, Sherly selamanya akan terjebak satu rumah dengan orang tua tunggalnya. Dia tidak bermaksud menjadi durhaka, hanya saja satu kejadian di masa lalu yang membuatnya enggan tinggal dengan Sarah. Satu kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan dan dilupakan oleh Sherly sampai mati.

Gadis yang sudah dilingkupi rasa lelah itu disambut oleh seorang perempuan yang beberapa tahun lebih tua dari usianya. Sang asisten rumah tangga itu menyuruh Sherly agar makan sesuai dengan permintaan majikan mereka, sup iga kesukaan Sherly. Dia hanya mengiyakan seraya menaiki satu persatu anak tangga untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

Usai memutar kenop pintu, menampakkan kamar besar berdesain futuristik dengan interior yang mewah dengan ranjang ukuran queen, Sherly melempar tas Channel di atas kasur empuk dan membanting diri di sana. Dilihat langit-langit kamar berlampu gantung kemudian matanya mengitari sekitar. Dinding-dinding bercat putih dan abu-abu itu seolah menjadi saksi bisu atas apa yang ada di pikiran Sherly. Dia menghembuskan napas panjang, membuka lembar demi lembar rangkaian kejadian baik di persidangan sampai pertemuannya dengan Eric.

Awalnya dia tidak menyangka kalau lelaki itu bertugas di peradilan Jakarta Selatan yang bisa jadi Sherly akan terus bertemu muka dengannya lantaran banyak kasus masuk yang ujung-ujungnya disidang di sana. Dia mengira kalau kembali ke Jakarta adalah keputusan terbaik setelah bersembunyi di Surabaya selama lima tahun pasca wisuda. Dia juga mengira kalau hubungannya dengan Eric sudah berakhir saat itu juga bukannya bersambung tuk mencari sisa-sisa benang asmara yang terikat di antara keduanya.

Tapi, sejak berjumpa, ada sesuatu yang mulai menggerogoti Sherly dari dalam. Sebuah luka yang sudah dia tutup dan pendam dalam-dalam kini mulai mencuat terutama saat bersama Eric. Kilasan masa silam langsung menyerang benaknya, menimbulkan perasaan campur aduk yang membuat perutnya bergejolak. Mata Sherly berkaca-kaca sambil tersenyum miring memaki hidup yang tak sesuai dengan rencana.

Lantas, dia bangkit dari kasur meraih tas jinjing dan merogoh ponsel tuk membuka daftar hitam kontaknya. Sherly menekan nomor teratas yang memiliki angka belakang 84 yang berarti milik Johan. Dibuka nomor yang diblokir itu lalu menelepon si pengusaha batik dengan mata berkilat. Walau melanggar aturannya sendiri, menurutnya Johan adalah lelaki satu malam yang sepertinya cocok diajak kencan lagi terlepas dari betapa panasnya ciuman terakhir mereka.

Beberapa saat, dia mendengar suara Johan memanggilnya. Sherly tersenyum miring dan berkata, "Lo bisa nemenin gue malam ini enggak?"

Hard Desire (END)Where stories live. Discover now