26

306 46 9
                                    

Gumpalan awan mendung berarak menudungi kota Jakarta disambut suara gemuruh yang menandakan hujan akan segera turun

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Gumpalan awan mendung berarak menudungi kota Jakarta disambut suara gemuruh yang menandakan hujan akan segera turun. Sherly menengadah menatap langit dengan mata berkaca-kaca ingin dipeluk sejenak oleh Sang Pencipta bahwa sejujurnya dia sudah tidak tahan dengan semua ini. Sampai-sampai dipukul dadanya sendiri dengan kepala tahan memaksa kerikil-kerikil yang memenuhi rongga paru-paru. Sesak. Teramat sesak hingga Sherly tak sanggup lagi bernapas tenang.

Tungkai yang terbalut stiletto hitam mengilap itu berjalan gontai bak mayat hidup keluar dari area lapas menuju parkiran mobil dengan pandangan kosong. Diambang rasa sedih yang menusuk sanubari, Sherly sangat butuh sebuah pelepasan diri. Tapi, seramai apa pun tempatnya berpijak, tidak dapat menyenangkan perasaan yang gundah gulana itu. Hingga tanpa sadar sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi hampir menabrak tubuh Sherly jikalau bukan seseorang menariknya dari insiden itu. 

Umpatan kasar pada si pengendara menyadarkan Sherly pada sosok jangkung yang masih setia mendekap erat. Entah dari mana lelaki berkemeja merah gelap ini datang. Dia berpaling menatap cemas ke wajah Sherly sambil mencerocos kalau gadis itu tidak memerhatikan jalanan malah sibuk melamun. Bukannya berterima kasih, Sherly justru mendaratkan sebuah tamparan keras di wajah Eric membuat lelaki itu langsung mematung. 

Jejak merah bekas gamparan di pipi kanan Eric perlahan terlihat. Panas dan nyeri tidak seberapa dibandingkan usahanya untuk membuka rahasia-rahasia yang disembunyikan oleh semua orang. Jika pukul itu berasal dari orang lain, Eric akan terima bahkan bisa membalasnya lebih kejam. Tapi saat ini, untuk melayangkan sarkasme saja, lidahnya tak mampu. Korneanya keburu memerah tiap kali menilik tiap inci detail wajah gadis yang selalu dipujanya ini. 

Rangkaian kalimat yang dirangkai dalam kepalanya juga lenyap entah di mana. Dada Eric kembang kempis, berusaha menahan diri untuk tidak meledak menumpahkan semua kekecewaan atas kenyataan yang meruntuhkan harapan setinggi langit ketujuh. Kenapa pula semua ini harus terjadi pada mereka, apakah salah dia menaruh hati pada gadis kepala batu di depannya ini? Selain itu ... inikah rasanya tidak dihargai untuk sekian kali?

Tetes air hujan mulai turun dan makin lama makin deras membasahi kota, meluruhkan semua asa yang menimpa manusia termasuk dua sejoli itu. Mereka berdiri tak mampu beranjak maupun mendekat tuk menepis jarak. Tak sanggup merangkul diri yang sudah berduri walau banyak memori indah yang pernah menghiasi. 

"Gue enggak butuh bantuan lo!" seru Sherly membuka suara yang lebih mirip seperti cicitan. "Gue enggak butuh lo, Eric! Jangan pernah datang di hidup gue! Gue pengen hidup!" 

Sherly membalikkan badan menyeret paksa kakinya untuk segera pergi dari sosok Eric sambil memendam kembali sisa perasaannya. Mengubur dalam-dalam semua kilasan indah bersama Eric agar bisa menjalani kehidupan yang jauh lebih baik tanpa bayang-bayang seorang Prasaja. Jika tak bisa menutup erat ingatan itu, dia hanya bisa berharap bahwa rinai hujan yang membasahi mampu melepaskan jejak-jejak Eric yang selalu mengikutinya. 

Hard Desire (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu