24

342 46 1
                                    

Jakarta, 2005

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 2005

Suara gelak tawa area kasir yang bersebelahan dengan mini bar itu tak lantas membuat senyum di bibir berpulas merah mengembang. Perempuan yang rambutnya digerai sebahu dengan kemeja putih yang agak ketat termenung walau kepalanya berusaha untuk ikut pembicaraan mereka. Orang-orang yang keluar-masuk dari ruang-ruang khusus karaoke disambut senyum hambar. Ekor matanya mengikuti jejak-jejak mereka yang merasa dunianya begitu mudah dilalui sampai ada waktu untuk bernyanyi sampai malam. Tak luput pula, denting gelas juga terdengar pun asap-asap rokok memenuhi Karaoke Gita Malam.

Kebanyakan yang mereka bicarakan masalah bencana yang terjadi terus-menerus di bumi pertiwi. Alam seakan sudah lelah menerima perlakuan manusia yang tiada hentinya menabur dosa. Mungkin murkanya semesta hanya sebagian kecil pertanda dari Tuhan untuk mengingatkan hamba-Nya.

Sampai salah satu dari perempuan yang asyik bergosip itu menangkap gelagat gelisah Sarah. Dia berjalan mendekat dan berbisik, "Ada apa?"

"Apanya?" tanya Sarah.

"Kamu? Mukamu asem kayak kebanyakan menelan pahit kehidupan," tandas Ayu--pelayan bar sambil terkikik. "Cerita aja kalau ada masalah."

Sarah menggeleng pelan meskipun bibir berpulas lipstik merah itu ingin sekali mengatakan kalau biaya sekolah kedua anaknya menunggak sampai tiga bulan. Belum lagi buku-buku serta seragam sekolah Sherly yang luntur akibat kecerobohan Barra kemarin. Ditambah tagihan listrik dan air yang juga tertunda selama dua bulan. Sayang, semua itu hanya tertahan di dada membentuk sebuah batu besar yang menyesakkan dan menyakitkan diri.

"Bukan apa-apa, cuma ... berat aja jadi single mom. Capek," keluh Sarah menahan genangan kristal bening di pelupuk mata.

"Kalau capek kenapa enggak kawin lagi aja? Simple kan? Jadi, kamu enggak perlu kerja siang-malam kayak gini, Sar," tandas Ayu seolah pernikahan adalah jalan keluar bagi perempuan yang sudah dilanda rasa putus asa.

Sebelum menimpali ucapan Ayu yang terkesan ngawur, beberapa lelaki berjas rapi nan mewah terlihat masuk sambil tertawa seolah ada sesuatu yang menggelikan. Sarah menyambut mereka sesantun mungkin, melupakan sejenak permasalah yang menerpa keluarga kecilnya. Iris mata cokelat itu bertemu dengan lelaki berperawakan tinggi dan berkacamata tengah melempar senyum simpul.

Hati yang tadinya terasa tandus, mendadak menghijau dan bergetar kala mendengar suara tegas lelaki itu. Belum lagi tatapan teduhnya benar-benar menentramkan pikiran kalut Sarah. Namun, dia diseret paksa kembali ke kenyataan kalau pria-pria itu tidak akan pernah meliriknya. Siapa yang bakal mau dengan seorang janda dua anak yang kehidupan ekonominya sedang terpuruk?

Sarah menggeleng pelan, menepis khayalan yang bermunculan dalam benak. Lagipula dia hanyalah tamu, sementara Sarah seorang kasir hiburan malam yang seringkali mendapat stigma negatif dari tetangga. Namun, hati kecilnya sering kali berkusu-kusu apa boleh dia mencintai pria lagi? Apa boleh dia menaruh harapan di pundak orang yang mau mencintainya suatu hari nanti? Bahkan ... apa boleh dia bermimpi kalau hidupnya akan berubah tidak seperti ini?

Lamunan sarah buyar kala pria itu memanggilnya dan menyodorkan kartu debit platinum. Sebuah kartu yang biasanya digunakan oleh mereka yang kaya raya. Malu-malu karena salah tingkah, dia menyebutkan nominal harga juga minuman dan makanan yang dipesan. Dia juga tidak berani mendongak menatap wajah pria asing memesona itu. Tapi Sarah bisa merasakan bahwa pandangan lelaki berjas abu-abu gelap ini seakan membekap tubuh walau jemarinya menekan kombinasi pin kartu debet di mesin EDC--alat penerima pembayaran yang menghubungkan antar rekening bank.

"Nanti tolong anter pesanan kami ya," pinta lelaki itu.

"Baik, Pak!" jawab Sarah menyerahkan kembali kartu debet milik si pria berkacamata.

Seperti diberi umpan, lelaki itu ikutan mencuri kesempatan untuk menyentuh kulit lembut jemari Sarah. Hanya sentuhan kecil bak kejut listrik itu saja, tubuh Sarah langsung dibuat merinding setengah mati. Wajahnya merah padam yang justru terlihat menawan di mata para pria. Ada tarikan tipis di sudut bibir lelaki itu lantas berlalu menuju ruang yang sudah dipesan untuk beberapa jam ke depan.

Ayu yang sedari tadi memerhatikan ada ketertarikan yang terpancar di antara dua manusia beda kasta, mesam-mesem sendiri kemudian menepuk bahu Sarah dan berkata, "Sekarang baru bisa senyum."

"Apaan, kan jadi kasir harus ramah," kilah Sarah malu-malu menghindari tatapan Ayu agar temannya tidak mendengar betapa hebat dentuman di dadanya.

Jujur saja, sudah lama dia tidak merasakan hal seperti ini semenjak kematian suami akibat kecelakaan kerja. Menjadi single fighter harus menghidupi dua anak yang masih duduk di bangku sekolah. Sarah menarik napas dan membuangnya melalui mulut, andai mendiang suaminya tidak meninggalkan hutang membengkak pasti kehidupannya tidak akan sesulit ini. Dia juga pasti bisa membeli rumah daripada harus berada di rumah kontrakan yang kadang meminta belas kasihan kepada kakaknya--Hartono.

Setiap hari, Sarah berjualan nasi uduk depan gedung sekolah SD di pagi hari sementara ketika malam menjadi kasir. Untungnya kedua anak Sarah bukan tipikal anak manja sekali pun Sherly kadang merajuk karena sering ditinggal pergi. Sementara Barra yang sudah mau lulus SMP mengambil alih peran sebagai orang tua di rumah.

"Itu anterin pesanan ruang 009, Sar," pinta Ayu menunjuk nampan berisi botol bir dan beberapa snack. "Siapa tahu dia beneran naksir pada pandangan pertama."

Sarah menggeleng. "Mana mungkin, Yu. Aku kan cuma janda."

"Ada apa sama janda emang? Suatu saat janda akan menjadi perempuan terdepan menaklukkan lelaki, Sar. Camkan itu, hehehehe...."

Mau tak mau Sarah menuruti temannya, mengantar nampan pesanan pria berkacamata tadi dengan hati yang kembali bertalu-talu. Namun, sisi lain dari dalam dirinya memang membenarkan ucapan Ayu kalau Sarah juga menaruh rasa ketertarikan pada pandangan pertama. Entah kenapa aura lelaki berkulit agak sawo matang itu memikat hati Sarah.

"Aduh, aku kegeeran sih!" gumamnya kemudian mengetuk pintu 009.

Tak berapa lama lelaki yang senyumnya manis itu membuka pintu, menyilakan Sarah menaruh pesanan mereka. Dia memilih menunggu di luar sambil merogoh seputung rokok. Asap keluar dari mulutnya melayang di lorong ruang karaoke. Jujur saja, dia dibuat penasaran juga tergoda oleh kecantikan si kasir sampai dadanya melompat-lompat tak karuan. Sepertinya malam ini dia harus memberanikan diri mengenal perempuan cantik itu walau hanya sebatas nama. Pria mana sih yang tidak ingin melewatkan perempuan yang mirip mantan model Donna Harun?

Tak berapa lama Sarah keluar dan terkejut mendapati pria manis itu berdiri dan seketika mengulurkan tangan kanannya.

"Hai," ucap Gatot. "Boleh kenalan?"

Hard Desire (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang