12

702 83 2
                                    

Rapat besar itu dihadiri beberapa pengacara termasuk Sherly dan Sandra yang duduk mengitari meja berbahan kayu jati mengilap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rapat besar itu dihadiri beberapa pengacara termasuk Sherly dan Sandra yang duduk mengitari meja berbahan kayu jati mengilap. Walau mesin pendingin di ruangan berkonsep futuristik di sana menyala, hawa panas masih membakar kulit Sherly kala mendengar ketua tim berbicara. Lelaki berperawakan gagah yang perutnya membuncit tampak menjelaskan terkait seorang whistleblower yang membutuhkan bantuan perlindungan hukum usai melapor adanya indikasi korupsi di sebuah perusahaan alat kesehatan terbesar se-Indonesia.

Tak dipungkiri walau sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan bagi pelapor, tetap saja belum ada jaminan yang benar-benar mengamankan mereka. Dulu pernah ada kasus whistleblower yang mengalami intimidasi jabatan pemerintahan setelah mengadu ke lembaga antikorupsi sehingga dia turun pangkat dan tidak lulus ujian kompetensi.

Selain itu, HAD Law Firm pernah mendampingi kasus salah satu whistleblower yang dianiaya orang tak dikenal saat membawa berkas-berkas kasus pencucian uang. Oleh karenanya, dia bersama LPSK bekerja sama untuk mengawal keselamatan fisik dan psikis klien.

Selama pertemuan ini berlangsung, jujur saja Sherly tidak bisa fokus lantaran ingatan masa lalu membekapnya kuat hingga kedua matanya memerah menahan amarah. Namun, ketika membaca satu nama petinggi perusahaan yang bekerja sama dengan Singapura itu, hati Sherly mendidih tak sabar menjebloskannya ke jeruji besi sekali pun nyawanya mungkin terancam akibat rasa benci yang merasuk ke dalam tulang.

"Jadi, kalian yang ada di sini akan menjadi tim penasihat hukum si whistleblower dan informasi datanya jangan sampai bocor," ungkap ketua tim dengan tegas.

"Siap, Pak!"

Selesai rapat, Sherly langsung ke ruang kerjanya untuk mendinginkan kepala yang akan meledak itu. Sandra mengekori langkah temannya terheran-heran dengan ekspresi wajah Sherly seperti karakter Hellboy yang ingin menghajar lawan tanpa ampun. Bahkan gadis berambut sebahu itu tak mengindahkan panggilan Sandra, hanya lirikan mata tajam yang menyiratkan kalau Sherly tak ingin berbicara. Akhirnya, Sandra memutuskan pergi meninggalkan Sherly seorang diri di ruangannya.

"Sherly, ini Om Gatot datang!" teriak Sarah membawa dua bungkusan plastik berisi barang belanjaan.

"Biar aku bantu bawain," kata Gatot merebut bungkusan yang terasa berat itu.

"Mama! Yey, Mama datang!" Sherly kecil berlari keluar kamar membuat dua ikatan rambutnya bergoyang-goyang. Bocah delapan tahun itu merangkul sang ibu erat lalu menyalami tangan kanan Sarah juga Gatot. "Halo, Om!"

"Pinternya," puji Gatot mengacak rambut hitam Sherly. "Om bawain es krim buat kamu sama Kak Barra," tambahnya mengeluarkan dua buah es krim rasa cokelat.

Sherly melompat-lompat kegirangan menerima hadiah pemberian lelaki baik itu lalu berlari seraya memanggil kakaknya.

Secuil memori itu kembali terbersit dan mencabik-cabik luka lama yang sudah sembuh di hati Sherly. Dia memejamkan mata menahan luapan kemurkaan yang bisa meledakkan diri. Kepalan tangannya menguat, bibirnya gemetaran, dan batu-batu dalam dadanya mendadak membesar. Belum lagi udara di ruangan ini makin menipis seolah ada mesin raksasa yang mengisap kuat oksigen untuk membunuh Sherly pelan-pelan.

"Mungkin ini saatnya," gumam gadis itu menatap nyalang dengan mata berkilat.

###

Ketika pulang ke rumah, Sherly berpapasan dengan Sarah yang sudah rapi mengenakan rok ketat selutut dengan atasan renda warna kuning. Rambut hitam yang tak terlihat memutih itu bakal banyak menipu orang kalau wanita di depannya sudah berusia lebih dari setengah abad. Sarah tersenyum menyambut anak bungsunya sambil berkata,

"Mama sama Mbak Min sudah nyiapin makanan di atas meja. Kamu makanlah, Sher. Mama mau berangkat kerja."

Sherly menaikkan alis, pandangan matanya beralih pada jemari yang dulu membelainya penuh kasih sayang. Di sana tersemat cincin berlian kebanggaan Sarah yang dibelikan Barra. Namun, di jari kanan juga ada cincin emas yang berkilau terkena cahaya senja. Kemudian, tatapan mata Sherly berpindah ke wajah sang ibu. Pulasan eyeshadow dan gincu merah terlihat memesona di mata Sherly. Kalau usia ibunya masih muda, mungkin Sherly akan memaklumi. Hanya saja, Sarah adalah wanita dari ibu dua anak yang sudah dewasa, tak sepantasnya berdandan yang tidak sesuai usia.

"Kalau Mama enggak dekat sama dia, mungkin kita enggak akan seperti ini. Ya kan?" tukas Sherly dingin.

Mendengar hal itu, Sarah terdiam seribu bahasa. Alisnya mengerut dan bibirnya menganga mendapati pernyataan dari si bungsu yang dinilai sok tahu. Entah apa yang sedang merasuki pikiran anaknya sampai membahas masalah itu lagi. Sarah saja sudah berhasil merelakan apa yang sudah terjadi dan bangga atas pencapaian untuk keluarga kecilnya. Dia berpikir apakah Sarah mendapat kasus rumit sehingga melampiaskan kekesalannya pada wanita yang sudah melahirkan sang pengacara?

"Mama lagi enggak pengen berdebat, Sher. Apalagi tentang masa lalu," balas Sarah hendak pergi.

"Apa Mama pikir Sherly seneng bahas yang dulu-dulu? Yang ada Sherly jijik, Ma!" seru Sherly emosi.

"Sherly!" bentak Sarah membalikkan badan dan mencelang tak terima. "Jangan bikin Mama marah ya!"

Sherly memutar bola matanya jengah lalu menerobos masuk begitu saja tak memedulikan teriakan Sarah yang menggema. Sementara itu, dua asisten rumah tangga mereka hanya bisa menggeleng pelan dari dapur melihat perdebatan di antara dua anak tersebut. Mereka saling melempar pandang dalam diam menyiratkan betapa tak harmonisnya kehidupan orang kaya.

Tidak semua orang berduit akan hidup sentosa, pun sebaliknya. Hanya saja, Sherly dianggap terlalu durhaka kepada orang tunggalnya itu. Dimana-mana jika hanya ibu yang tersisa di dunia, anak akan melakukan apa saja untuk bisa berbakti selagi diberi kesempatan oleh Sang Pencipta.

Sherly pernah mendapat nasihat dari pembantunya saat makan malam. Bukannya dia tidak patuh hanya saja borok dalam diri Sherly sudah terlalu besar dan busuk akibat ulah ibunya sendiri. Kehidupan mewah dan bahagia yang diimpikannya sejak kecil ternyata sebuah fatamorgana. Lantas apakah salah dia bersikap kasar pada Sarah?

Gadis bermata monolid itu membanting diri di atas kasur dengan gemuruh yang memenuhi relung dadanya. Sungguh menangani kasus yang melibatkan perusahaan besar itu menyedotnya ke dalam lubang masa lalu. Sherly membenci kehidupannya yang dulu. Jikalau ada mantra yang mampu mengurai ingatan dan menghapusnya dengan mudah seperti adegan Hermione menghilangkan memori kedua orangtuanya, Sherly siap merogoh uang berapa pun jumlahnya.

"Mama jahat!"

"Mama pembohong!"

"Buat apa Mama melakukan itu? Sherly dan Bang Barra masih mampu buat nyari uang kalau Mama takut!"

Suara-suara bentakan yang pernah dilontarkan Sherly kembali berputar di kepala. Kilasan demi kilasan di masa lalu muncul berbarengan dengan lelaki berperawakan sedikit berisi dan berkacamata tersenyum penuh kepalsuan.

Pada akhirnya, Sherly ditampar kenyataan yang begitu pedih hingga dadanya serasa dihujani ratusan anak panah. Nyeri sampai di ujung saraf mematikan akal sehatnya kalau kejadian di masa lalu bukanlah keinginannya.

"Mama mencintainya, Sher..."

"Cinta?" Sherly mengulang kata itu memandangi langit-langit kamarnya. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis yang nanar mengetahui jika Tuhan tidak pernah menghapus ingatan manusia sekali pun itu adalah hal paling buruk di dunia.

"Hanya dengannya Mama bisa hidup lagi. Kita bisa hidup seperti ini lagi."

Ucapan Sarah terngiang-ngiang sampai-sampai kristal bening dari matanya keluar. Dari isak tangis yang mengguncangkan tubuhnya berakhir menjadi sebuah teriakan memenuhi kamar besar itu.

"Bangsat!"

Hard Desire (END)Where stories live. Discover now